Sejumlah mahasiswa dari berbagai fakultas di UGM mendatangi ruang sidang tiga Gelanggang Mahasiswa UGM. Mereka menghadiri acara dengar pendapat yang diadakan tim Ad Hoc dari mahasiswa untuk perbaikan kebijakan Kartu Identitas Kendaraan (KIK).
Acara yang diadakan pada Rabu (15/6) sore tersebut bertujuan mendiskusikan usulan dan kinerja mereka setelah dua bulan masa tugas. “Kami ingin mendengarkan pandangan dan saran teman-teman seputar rekomendasi kepada pihak rektorat,” tutur Iqbal Muharram, perwakilan BEM-KM dalam tim Ad Hoc.
Sejak resmi dibentuk 8 April lalu, tim Ad Hoc telah merumuskan solusi alternatif untuk memperbaiki kebijakan KIK. Tim yang terdiri dari 9 mahasiswa interdisipliner tersebut merekomendasikan penyaringan kendaraan di pintu masuk UGM. Selain itu, mereka juga mengusulkan pemberlakuan disinsentif tak berbayar bagi kendaraan yang masuk ke UGM tanpa KIK.
Dalam usulan tim Ad Hoc, KIK akan tetap diberlakukan tetapi tidak dengan disinsentif berbayar. Rencananya, kendaraan yang akan masuk ke wilayah UGM akan diperiksa Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) dan KIK-nya di pintu masuk. Mahasiswa yang tidak memiliki KIK akan ditahan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM)-nya untuk selanjutnya diarahkan membuat KIK. Sedangkan bagi warga dan pedagang, akan dibuatkan surat izin masuk atau KIK tamu.“Tindakan tersebut diharapkan dapat memberi efek jera bagi mereka yang tidak berkepentingan memasuki wilayah UGM dan mahasiswa yang tidak memiliki KIK,” tutur Iqbal.
Usulan tersebut mendapat tanggapan. Sebagian besar mahasiswa yang datang pada diskusi tersebut masih menyepakati KIK tidak diberlakukan secara total. Pemberlakuan KIK juga dikhawatirkan akan membuat UGM semakin menutup diri dari masyarakat. “Jangan lupa, ada Masjid Kampus (maskam) dan Rumah Sakit Gigi dan Mulut di UGM,” tutur Dede, perwakilan dari mahasiswa Fakultas Farmasi. Jika KIK masih diberlakukan, menurutnya, sama saja UGM menutup akses publik yang ada di wilayahnya.
Mekanisme pemeriksaan yang ditawarkan tim Ad Hoc juga dinilai tidak efisien. Lalu Rahadian, perwakilan dari Korps Mahasiswa Pemerintahan (KOMAP) menuturkan, pemeriksaan KIK dan STNK di gerbang masuk UGM sebenarnya tidak perlu. “Jika alasannya untuk menjaga keamanan, STNK saja saya rasa sudah cukup,” ungkapnya.
Pandangan berbeda disampaikan Wisnu Prasetya Utomo, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi ’07 yang juga aktivis Gerakan Tolak Komersialisasi Kampus (GERTAK). Menurutnya, perdebatan seputar masalah teknis semestinya tidak dilanjutkan. Pasalnya, pihak rektorat sendiri masih menggelindingkan wacana liar seputar solusi kebijakan KIK, seperti penyediaan kantung-kantung parkir, penutupan total jalan umum yang melewati UGM, dan penyediaan sepeda hijau. “Kita harus memastikan dulu apakah kebijakan KIK ini akan dilanjutkan atau tidak, sebelum membicarakan instrumen KIK sendiri,” tuturnya.
Wisnu juga berpendapat bahwa seluruh instrumen KIK tidak perlu dilanjutkan. Sebab, kebijakan rektorat memberlakukan KIK terbukti memicu masalah dan secara tidak langsung sudah diakui pihak rektorat sendiri. “Kita lihat saja saat masa Penerimaan dan Seleksi Mahasiswa Baru yang lalu. Ketika banyak kendaraan keluar masuk wilayah UGM, KIK justru tidak diberlakukan,” paparnya. Hal tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa secara tidak langsung pihak rektorat mengakui pemberlakuan KIK tidak berkorelasi positif dengan keamanan, bahkan menimbulkan masalah kemacetan. [Ibnu Hajar]