Tidak sedikit orang menggambarkan dan menyebut tahun 2014 sebagai tahun “politik”. Tentu hal ini tidak lepas dari penyelenggaraan agenda Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan dilangsungkan pada tahun ini. Selain itu, ditambah dengan emblem-emblem yang menyatakan bahwa pemilu merupakan “pesta demokrasi”, birahi berpolitik di beberapa kalangan masyarakat semakin meningkat.
Akan tetapi nampaknya akan terjadi pendangkalan demokrasi ketika memaknai begitu saja pemilu sebagai sebuah pesta demokrasi. Pendangkalan itu disebabkan oleh 2 hal. Pertama, dikarenakan sistem kampanye dan sosialisasi calon legislatif (caleg)/partai politik (parpol) pada pemilu hanya sekadar menyajikan dan melegitimasi logika transaksional dalam aktifitasnya. Seolah-olah menganggap demokrasi sebatas kegiatan transaksi jual-beli. Para caleg “menjual” setiap janji-janji dan visi misi mereka, kemudian masyarakat akan “membelinya” dengan hak suaranya. Kedua, dikarenakan pemilu hanya mempertimbangkan keunggulan kuantitas suara saja. Atau yang lebih dikenal dengan sistem voting.
Pendangkalan demokrasi semacam itu nampaknya terlihat jelas pada sektor agama. Tidak sedikit caleg/parpol yang sebenarnya tidak berbasiskan pada ideologi keagamaan, namun kemudian mencantumkan visi misi dan janji-janji yang dekat dengan nilai-nilai keagamaan. Kejadian tersebut merupakan agenda yang tidak pantas dilakukan. Terutama ketika janji-janji caleg/parpol tersebut hanya berakhir menjadi slogan saja. Dengan kata lain, nilai-nilai agama hanya dijadikan alat pasif untuk meraup suara tanpa ada realisasi.
Pendangkalan yang kedua bermula saat salah satu caleg/parpol mulai bekerja sama dengan sebuah organisasi keagamaan –representasi agama. Kerja sama tersebut didasari oleh, apa yang dikatakan F. Budi Hardiman dalam bukunya Demokrasi dalam Moncong Oligarki, bahwa agama dapat menjadi alat yang mampu “menundukan” setiap umat manusia. Begitu juga dengan organisasi keagamaan. Mereka akan mampu menggalang (menundukan) masa yang banyak demi memenuhi sebuah kepentingan yang dibelanya.
Setelah disepakatinya kerjasama, sudah barang tentu organisasi keagamaan yang menerima kerja sama tersebut akan secara aktif berusaha mendukung caleg/parpol yang bersangkutan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan penambahan basis massa secara internal.
Penambahan basis massa internal terjadi karena pemilu hanya berdasarkan sistem voting semata. Mereka hanya berlomba-lomba untuk memperbanyak basis massa demi mendulang suara yang banyak dengan cara pragmatis. Salah satu contohnya, misalnya, dengan mengadakan forum-forum kecil yang mendiskriminasi, menghina, menyinggung SARA nilai-nilai organisasi keagamaan lainnya. Agar para pengikut organisasi keagamaan itu semakin “alergi” dengan organisasi keagamaan lainnya. Juga akan menjadi daya tarik utama bagi para masyarakat yang belum menjadi pengikutnya.
Beranjak dari hal itu, akan timbul gesekan-gesekan kepentingan seperti yang disebutkan Coen Husain Pontoh, sebagai kekerasan ideologis. Yang dimaksud dengan kekerasan ideologis adalah bentuk-bentuk rasisme, penghinaan, diskriminasi, dan lain sebagainya. Serta secara tidak langsung akan memicu kemunculan kelompok-kelompok sektarian yang reaksioner dan anti dialogis.
Berbagai macam kekerasan ideologis dan kelompok sektarian tersebut terlihat jelas di lingkungan sekitar kampus kita. Beberapa organisasi keagamaan mulai mengadakan forum-forum internal yang sedikit bernada rasis serta mendiskriminasi organisasi keagamaan lainnya. Menyatakan dirinya sebagai organisasi keagamaan yang paling ideal. Tentu saja sikap-sikap tersebut sangat merusak unsur-unsur demokrasi, yaitu toleransi dan pluralisme.
Celakanya, praktek pendangkalan demokrasi pada bagian sistem kampanye dan pemungutan suara telah berhasil menciptakan sebuah celah antara agama dan demokrasi. Dikarenakan, agama hanya menjadi sebuah alat pasif sebagai pendulang suara dalam sistem pemilu yang dilekatkan dengan emblem “pesta demokrasi”. Juga organisasi keagamaan sebagai representasi sektor agama, telah gagal dalam mengakomodasi masanya untuk bertindak dan berperilaku secara demokratis. Alhasil, nilai-nilai agama seakan-akan sulit dijangkau oleh sistem demokrasi.
Ada beberapa cara yang mampu digunakan untuk menekan segala dampak buruk yang terjadi akibat pendangkalan demokrasi yang memunculkan celah tersebut. Salah satunya dengan mengadakan forum-forum terbuka yang mampu mengakomodasi, mengintegrasi, serta mengimplementasikan nalar toleransi pada setiap kepentingan dari berbagai macam kelompok keagamaan yang berkompetisi.
(Hartmantyo Pradigto Utomo, Mahasiswa Jurusan Sosiologi UGM 2011)