“Klik! Klik, Klik!” suara kamera menangkap gambar-gambar Beringharjo pada masa lampau. Sosok pembuat suara itu adalah pria bertubuh tambun dan mengenakan rompi hijau lusuh. Ia memotret bak jurnalis profesional dengan kamera imajiner. Lelaki itu berlari kesana kemari mengambil gambar dari berbagai sudut. Jalanan Malioboro ramai dengan becak dan andong ditambah sedikit kendaraan bermotor. Masih banyak pedagang yang berjualan dengan barang yang dipanggul. Gambar terakhir menampilkan sudut Beringharjo dengan lampu jalan yang memberikan cahaya temaram. Pertunjukan pantomim ini dimulai.
Di bawah lampu jalan itu, seorang pedagang pasar sibuk menata dagangannya. Dialah Emak, seorang wanita yang menjual pakaian bekas. Tokoh ini diperankan oleh laki-laki untuk memunculkan rasa humor. Wajahnya cerah seolah tak repot memikirkan dagangannya yang sepi dari pembeli. Sembari menggendong Thole, anak semata wayangnya, Emak telaten menata pakaian bekas di lapaknya. Jualannya sepi dari pembeli.
Begitulah nasib Emak, banyak pakaian baru yang dijual di Beringharjo dengan harga yang jauh lebih murah. Meski kualitas tidak sebanding, namun pembeli lebih tertarik membeli pakaian baru daripada bekas. Memakai pakaian bekas sudah tidak lagi menarik bagi para pembeli kini. Apalagi harga kedua jenis pakaian tersebut tidak terpaut jauh. Persaingan para penjual Beringharjo tak terelakkan. Emak dan barang dagangannya harus siap teringgirkan. Penghasilan pas-pasan menjadi nasib yang harus diterima oleh Emak. Thole pun terpaksa menjadi pencuri dan berkejaran dengan para pedagang pasar yang menjadi sasarannya. Ia rela melakukan ini demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keluarga kecil ini pun tetap bertahan hidup dimanapun mereka berada. Mereka siap menahan malu demi mendapat ruang untuk menjajakan pakaian bekasnya.
Lima pria tegap mengenakan jas dan dasi secara tiba–tiba muncul dengan angkuh. Mereka datang menyisir seluruh Beringharjo, tak lain untuk memastikan semua bersih dari “yang tidak diinginkan”. Termasuk Emak yang langsung diciduk ke dalam mobil patroli. Merekapun tertawa puas melihat keramaian Beringharjo yang bersih dari orang-orang seperti Emak dan Thole. Bagi para penguasa, mereka harus “disingkirkan” karena dianggap tidak menguntungkan pemilik modal dan hanya menjadi sampah masyarakat. Baik pendatang atau bukan, siapapun asal memiliki modal dapat menguasai Beringharjo. Beringharjo bukan tempat yang ramah bagi orang-orang kecil seperti Emak dan Thole.
Kisah ini mencapai klimaks, ketika Sang Emak tiba-tiba digaruk oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tanpa sepengetahuan Thole, Emak dibawa ke kantor polisi dan dikurung dalam penjara. Kelima pria itu begitu bahagia setelah menangkap Emak. Tidak lagi ada yang mengganggu ketenangan Beringharjo. Tanpa rasa iba, mereka terus menggusur pedagang-pedagang kecil yang tidak memiliki izin sesuai aturan penguasa. Meskipun Emak dan Thole sudah sejak lama lahir dan tinggal di Beringharjo, namun mereka tetap dibuang begitu saja. Kisah Emak dan Thole merupakan sebagian kecil dari kehidupan Pasar Beringharjo.
Teater tersebut dipentaskan dalam “Gelar Pantomim Jogja 2014” (12/4), di concert hall Taman Budaya Yogyakarta. Setelah sukses mementaskan “Trotoar” pada 2013 lalu, sang sutradara, Deddy Ratmoyo, kini sengaja menggabungkan lima komunitas tarian, pantomim, dan teater. Kelima komunitas itu adalah Malmime-Ja, Riza Mime Community (RMC), Bengkel Mime Theatre (BMT), Deaf Art Community (DAC), dan Yud’s Ballroom Dancesport (YBD).
Acara yang dimulai sejak pukul 19.00 WIB itu memberikan kesan yang berbeda dari kesenian pada umumnya. Uniknya, DAC yang beranggotakan tunarungu dan non tunarungu dapat menampilkan tarian dengan harmonis, tanpa ada yang dikesampingkan. Dramatisasi teater diperkuat dengan latar suara para pemain beat box yang lincah bersuara menyesuaikan gerakan para pemain di atas panggung.
Melalui gelar pantomim ini, dialog verbal dapat digantikan dengan dialog gestur dan kelincahan pemain tanpa suara. Penonton yang puas dengan pementasannya, langsung mengangkat tangan melakukan isyarat tepuk tangan. Wajar saja, karena banyak dari pemain teater tersebut tunarungu.
Lantas bagaimana nasib Thole? Thole mencari Sang Emak kesana kemari, berlari di keramaian Beringharjo berharap bertemu dengan Emak. Namun apalah daya, Thole hanyalah anak kecil tak berdaya yang tak memiliki apa-apa selain Emaknya. Ia pun menyerah, menangis tersedu-sedu dibawah temaram lampu. Tak lagi memedulikan keramaian sekitar. Penguasa Baringharjo, Satpol PP dan pedagang saingan Emaknya yang suka mengejek, tak juga ia pedulikan. Hanya satu yang ia inginkan saat itu, kehadiran Sang Emak. [Hanna Nurhaqiqi]