Judul Buku : Dunia Simbol Orang Jawa
Pengarang : Sindung Haryanto
Jumlah Halaman :149 Halaman
Dimensi Buku : 21cm x 15cm x 0,9 cm
Penerbit : Kepel Press
Tahun Terbit : 2013
Ilir-ilir ilir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar
Sebagian besar orang Jawa tentu sudah mengenal petikan syair tembang dolanan yang dikarang oleh sunan Kalijaga tersebut. Dulu syair itu digunakan oleh Raden Syahid (nama asli sunan kalijaga) untuk menyebarluaskan agama Islam di Tanah Jawa. Namun siapa sangka tiap kata di dalam syair tersebut merupakan simbol-simbol yang melambangkan nilai mistis teologis mendalam mengenai konsep manunggaling kawula lan gusti. Konsep teologis tersebut di dalam ajaran Islam juga dikenal sebagai wahdatul wujud. Selain contoh kecil yang telah disebutkan, terdapat simbol-simbol lain yang masih hidup di tengah kehidupan masyarakat Jawa.
Penggunaan simbol merupakan sesuatu hal yang unik karena hanya dilakukan oleh manusia. Simbol merupakan suatu bentuk komunikasi yang tidak langsung, artinya di dalam komunikasi tersebut terdapat pesan-pesan tersembunyi sehingga makna suatu simbol sangat bergantung pada interpretasi individu. Selain dapat berfungsi sebagai pedoman sosial, simbol juga dapat berfungsi sebagai alat untuk melakukan hegemoni budaya.
Filsafat dan pandangan hidup orang Jawa merupakan hasil krida, cipta, rasa, dan karsa sebagai refleksi dari realitas kehidupan (kasunyatan). Pandangan hidup orang Jawa banyak dipengaruhi oleh budaya animisme-dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam. Hal itu tercermin pada pengadaan ritual slametan yang dulunya merupakan sarana pemujaan roh-roh nenek moyang, kini lebih banyak dimasuki muatan-muatan Islam. Tujuan dari ritual ini pun sama sekali berbeda dengan ritual-ritual semacam itu sebelumnya. Selain merupakan bentuk permohonan dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME, slametan juga sarat dengan ajaran moral dan tata kelakuan (code of conduct) yang diharapkan menjadi pedoman hidup masyarakat luas. Tujuan dari itu semua tidak lain adalah untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis. Hal tersebut selaras dengan konsep memayu hayuning buwono, mangasah mingising budi, mamasuh malaning bumi (memakmurkan bumi, mengasah kepekaan batin, dan menghilangkan penyakit masyarakat).
Dalam dunia Jawa, ajaran moral yang disampaikan melalui slametan dan ritual lainnya tidak dilakukan dengan terbuka atau terus terang melainkan melalui berbagai macam simbol. Hal ini sesuai dengan karakter orang Jawa yang suka menyatakan segala sesuatu dengan tidak langsung seperti yang terungkap dalam peribahasa : wong Jawa nggone semu, sinamun ing samudana, sasadone ingadu manis. Orang Jawa cenderung bersikap semu atau terselubung, penuh simbol, dan suka menyampaikan kata-kata tersamar. Selain itu orang Jawa juga mempunyai cara yang khas dalam menciptakan simbol. Salah satu caranya adalah dengan metode pemadatan seperti kata tebu (anteping kalbu), sukun (supaya rukun), jeruk (jaba jero kudu mathuk), dan sebagainya. Hal semacam ini menjadi pokok permasalahan yang sampai sekarang dialami oleh masyarakat Jawa. Penyampaian sesuatu dengan menggunakan simbol sangat rentan mengalami salah tafsir atau distorsi makna di khalayak umum. Apalagi sampai saat ini jarang disampaikan dengan gamblang apa makna simbol-simbol yang ada sehingga masyarakat Jawa pada umumnya hanya mengikuti suatu ritual tanpa memahami inti dari ritual tersebut. Contoh sederhananya adalah pengadaan ingkung (ayam yang dimasak utuh) dalam berbagai ritual. Kata ingkung merupakan pemadatan dari kalimat ingsun tambah manekung yang mempunyai makna “aku selalu menyembah dan memohon kepada Tuhan”.
Selain terdapat pada ritual-ritual agama, simbol-simbol dalam dunia Jawa juga tersebar dalam bentuk fisik bangunan dan konsep tata ruang. Salah satu mahakarya yang menjadi perwujudan dari simbol-simbol dalam bentuk fisik bangunan dan konsep tata ruang adalah keraton Yogyakarta. Bangunan-bangunan yang ada di Keraton Yogyakarta bukan sekedar bangunan fisik yang memiliki fungsi tertentu. Bangunan-bangunan tersebut memiliki makna simbolis atau filosofis hasil perenungan atau spekulasi melalui olah nalar (creative thought), olah rasa (feelings) dan olah pikir (intention). Ada dua prinsip yang menjadi akar utama pemikiran Jawa yang disimbolisasikan dalam berbagai bangunan yang ada di keraton. Prinsip pertama yaitu sangkan paraning dumadi-Manunggaling Kawula lan Gusti, yaitu kesatuan antara penguasa dan rakyat. Kedua adalah prinsip Memayu hayuning Rat, yakni mempertahankan keseimbangan kebenaran, keindahan dan kebaikan alam (cosmic) baik mikro maupun makro. Sebagaimana telah kita ketahui, posisi keraton berada di tengah garis imajiner antara laut selatan dengan Gunung Merapi dan antara panggung krapyak dengan Tugu. Hal ini mengindikasikan bahwa keraton memegang peran sentral sebagai penjaga keseimbangan dunia baik mikro (manusia) maupun makro (alam semesta).
Simbolisasi nilai-nilai tidak hanya pada bentuk dan lokasi keraton, orang-orang yang berada di dalamnya seperti raja dan abdi dalem pun memiliki simbol-simbol khusus yang melekat. Seorang sultan di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati ing Alaga, Abdurahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Gelar yang diberikan atau melekat pada diri sultan bukan sekedar gelar atau rangkaian kata-kata indah melainkan sarat makna yang juga memiliki konsekuensi dan implikasi yang besar/berat. Gelar khalifatullah menuntut Sultan untuk mempertanggungjawabkan kekuasaannya tidak hanya kepada manusia melainkan kepada Allah. Konsekuensi berat lainnya ada pada gelar Hamengku Buwono yang di dalamnya mengandung konsep hamangku, hamengku, dan hamengkoni. Ketiganya mensyaratkan bahwa sultan harus mampu mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya, merengkuh semua pihak termasuk yang tidak menyukainya, dan juga harus menjadi tali pengikat (suh = ikat sapu lidi) bagi seluruh rakyatnya.
Seorang abdi dalem merupakan salah satu unsur penting di dalam struktur keraton Yogyagarta. Mereka mempunyai pakaian khusus (baju pranakan) yang identik dan melambangkan simbol-simbol tertentu. Baju pranakan bagi abdi dalem merupakan baju khusus yang sudah ditentukan karakteristiknya. Warna dasar dari baju pranakan adalah biru tua (donker) dengan garis lurik berjumlah tiga pasang atau enam buah. Karakteristik lain dari baju ini adalah penggunaan lengan panjang dengan memberikan belahan di ujungnya (belahan banten). Sebagai pelengkap, baju ini disertai dengan kancing berjumlah lima buah untuk masing-masing lengan. Semua unsur-unsur tadi memiliki makna simbolik. Warna pakaian biru tua bermakna dalam atau serius dalam arti tidak dapat dianggap sepele atau remeh. Kancing baju di lengan yang berjumlah lima melambangkan rukun islam (shahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji). Kancing baju di leher yang berjumlah enam melambangkan rukun iman (yakni kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, utusan Allah, hari kiamat, qadla dan takdir). Jumlah lurik berjajar tiga dan empat mempunyai makna kewelu minangka perpat artinya direngkuh menjadi saudara. Abdi dalem dianggap sebagai saudara yang dekat dengan raja/sultan.
Secara umum, buku mengenai simbol-simbol yang ada dalam dunia orang Jawa ini sangat menarik.. Penyampaian yang lugas dengan disertai contoh-contoh yang terjadi di masyarakat mendorong pembaca untuk memahami maksud dan tujuan penulis dengan lebih nyata. Buku ini diperkaya dengan bagan-bagan dan gambar-gambar yang memudahkan pembaca untuk memahami isi yang terkandung dalamnya. Terakhir, buku ini juga diperkuat oleh pendapat para ahli yang telah lama melakukan kajian mendalam di tanah Jawa, sehingga pembahasan yang ada menjadi lebih komprhensif dan mendalam.
Ada beberapa hal yang mungkin menjadi masukan untuk buku ini. Penulis banyak mencantumkan istilah-istilah bahasa Jawa di dalam tulisannya namun tidak dilengkapi dengan glosarium. Hal ini menyulitkan pembaca yang belum mengenal Bahasa Jawa dengan baik. atau yang belum mengenal betul istilah-istilah Bahasa Jawa untuk memahami isi buku. Pemilihan judul buku ini dirasa masih terlalu umum. Padahal buku ini lebih banyak membahas simbol-simbol dalam lingkup keraton Yogyakarta. Ilustrasi pada sampul kurang bisa merepresentasikan secara ringkas isi buku dan kurang memberikan daya tarik khususnya bagi pembaca. Namun terlepas dari itu semua buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh para pecinta budaya yang ingin mengenal lebih jauh tentang budaya Jawa dan simbol-simbolnya.[Tohir Mustofa]
1 komentar
orang jawa bersahabat dengan alam
orang jawa pandai cosmologi sekitarnya
yang melimpah ke sosial, alam, keluarga, tata kelola, dan sehari-hari
orang jawa pandai menangkap pertanda-pertanda yang berusaha dikabarkan oleh alam
oleh kreasi Sang Hyang Widi yang menitipkan
orang jawa dalam pemikirannya tidak cepat marah,
ora gampang grusa-grusu
orang jawa bersahabat dengan siapa saja.
memayu hayuning bawana…