Judul : Natsir dan Dakwah Islam di Indonesia
Penulis : H. Mas’oed Abidin
Penerbit : Gre Publishing
Tahun terbit : 2012
Tebal : 468
Tidak seharusnya seorang pemberontak mendapat stigma negatif dari masyarakat. Begitulah yang terjadi pada sosoknya, Mohammad Natsir.
Mohammad Natsir atau yang sering dijuluki Hati Nurani dan Pemandu Umat adalah seorang pendakwah, politisi-negarawan, ulama, tokoh pendidik, pemikir, dan pembela islam. Dalam kiprahnya di Indonesia, Beliau memiliki pengalaman yang beragam. Natsir pernah menjadi Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia, pemimpin fraksi partai politik Masyumi, sampai menjadi seorang pemberontak di negaranya sendiri.
Natsir menjadi seorang pemberontak pada tahun 1960-an . Pemberontakan itu dikarenakan ketergabungan beliau dengan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) bersama Sjafroeddin Prawiranegara. Sjafroeddin adalah bekas pemimpin PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) tahun 1948. Natsir memutuskan bergabung dengan PRRI karena adanya perang ideologi dengan Soekarno. Awalnya, di antara mereka terjadi perbedaan pendapat ketika menentukan kebijakan permasalahan Irian Barat. Soekarno memilih jalan paksa untuk merebut Irian Barat, sedangkan Natsir lebih memilih jalan diplomasi di KMB (Konferensi Meja Bundar).Dalam buku ini diceritakan pula bahwa PRRI dapat menyebabkan terjadinya perang saudara. Sebab, mereka memiliki angkatan bersenjata yang sewaktu-waktu dapat turun tangan jika proses musyawarah tidak menghasilkan jalan keluar.
Perbedaan pendapat mengenai penyelesaian Irian Barat membuat Soekarno merasa diremehkan. Permainan politik untuk menjatuhkan kabinet Natsir akhirnya diluncurkan oleh Soekarno. Bersama PNI dan PKI, Soekarno mengintimidasi Natsir agar turun dari jabatannya. Akhirnya, Kabinet Natsir yang berumur 7 bulan jatuh pada tanggal 21 Maret 1951. Perbedaan pendapat kembali memuncak ketika Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin dan “mengubur” semua partai yang ada. Natsir melihat ini merupakan bias dari gelagat PKI yang ingin mengendalikan semua partai, mengingat bahwa Soekarno memiliki hubungan erat dengan PKI.
Gerakan PRRI sangat berpengaruh kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat Sumatera Barat karena wilayahnya menjadi pusat pergerakan. Oleh karena pemberontakan itu, Sumatera Barat terlihat menjadi sebuah kota mati. Ranah Minang (Sumatera Barat) menjadi lengang. Ulama, cerdik pandai, para pengusaha, bahkan pemuda pergi jauh merantau membawa perasaan galau. Mereka yang masih bertahan memikul beban mental dalam berbagai bentuk tekanan. Mereka merasa takut jika perang saudara terulang kembali.
Harusnya sosok seperti Mohammad Natsir sudah dikecam habis-habisan oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi kenyataan berkata lain, penghormatan kepada seorang Mohammad Natsir tidak berkurang sedikitpun baik di mata masyarakat Indonesia maupun dunia Internasional. Masyarakat seakan-akan lupa dengan pemberontakan yang dilakukan Natsir. Buktinya, setiap Natsir mengunjungi suatu daerah di Nusantara, beliau selalu disambut hangat oleh penduduk setempat. Begitu pula di luar negeri, Mantan Perdana Menteri Jepang (Takeo Fukuda) sangat menghormati Natsir atas jasa-jasanya dalam menciptakan diplomasi yang kuat antara Indonesia dan Jepang.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan Natsir tidak dibenci oleh masyarakat. Pertama, Natsir memiliki “Nawaitu” atau niat yang baik. Contohnya, PRRI dijadikan sebagai sebuah alat untuk melawan keotoriteran demokrasi terpimpin. Bagi Natsir “Selama demokrasi masih ada, selama itu pula partai-partai terus ada. Selama masih ada kebebasan partai, selama itu demokrasi ditegakkan. Kalau partai-partai dikubur, demokrasi pun otomatis akan terkubur, dan di atas kuburan ini hanya diktator yang akan memerintah.“ (Halaman 388)
Alasan kedua ialah karena pengabdiannya kepada masyarakat. Pengabdian tersebut terlihat dalam sebuah badan baru yang beliau bentuk sebagai pengganti Partai Masyumi selaku wadah dakwah yang lama. Badan baru itu diberi nama Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan tanggal 26 Februari 1967. Tujuan utama Dewan Da’wah ialah untuk menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah Islamiyah di Indonesia, serta menjaga dan gigih mempertahankan akidah umat dari masalah-masalah seperti pemurtadan, pendangkalan akidah, dan penyebaran paham agama yang menjauhkan umat dari ajaran Islam. Gerakan Dewan Da’wah menggunakan cara pendekatan terjun langsung ke lapangan. Pendakwah-pendakwah gerakan ini menyebar sampai ke pelosok nusantara untuk mengunjungi dan mengabdi pada masyarakatnya. Selain itu, Dewan Da’wah juga membantu pembangunan daerah, baik pembangunan fasilitas umum maupun pembangunan sumber daya manusianya. Pembangunan fasilitas umum yang digerakkan Dewan Da’wah seperti pembangunan masjid, madrasah atau sekolah, sampai membangun rumah sakit seperti Rumah Sakit Islam di Sumatera Barat. Pembangunan sumberdaya manusia dilakukan dengan membentuk kegiatan-kegiatan seperti pelatihan dan pembinaan kepada mahasiswa dan cendikiawan, melalui pembinaan masjid kampus dan Islamic center.
Buku “Natsir dan Dakwah Islam di Indonesia” juga menyuguhkan beberapa pembelajaran kepada kita terkait cara menjadi seorang pemimpin dan penggerak badan yang luar biasa seperti Mohammad Natsir. Gerakan Dewan Da’wah dapat berkembang cepat karena adanya upaya untuk memanajemen tindakan dan waktu. Upaya tersebut dibuktikan atas dasar prinsip “Yang mudah kita kerjakan sekarang. Yang sulit kita kerjakan besok. Yang mustahil kita kerjakan kemudian.”
Kita juga dapat belajar bagaimana cara Natsir dalam mengelola sebuah badan yang sampai saat ini punya pengaruh besar dalam perkembangan islam di Indonesia. Sebagai seorang pemimpin, regenerasi menjadi salah satu aspek yang ia fokuskan, agar Dewan Dakwah mampu berjalan baik kedepannya. Tentu sikap Natsir yang menempatkan persiapan regenerasi menjadi salah satu bagian yang penting, dapat kita terapkan juga di sistem kepemimpinan Indonesia.
Buku “Natsir dan Dakwah Islam di Indonesia” karya H. Mas’oed Abidin memiliki kekurangan. Kurangnya data periodisasi peristiwa sejarah yang melibatkan Natsir, membuat buku ini seakan-akan melupakan konteks “waktu” peristiwa sejarah tersebut. Sebab dalam perspektif sejarah sendiri pemahaman akan periodisasi sangat dibutuhkan untuk mengetahui rentang waktu peristiwa. Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini sangat menarik untuk kita baca. Banyak wawasan dan pengetahuan yang bisa kita dapatkan dari buku ini. Penulisnya pun juga piawai dalam menyusun logika dalam menyampaikan ide dari bukunya. [Aji Maulana]
1 komentar
review ditulis dengan baik sekali. terima kasih