“Setiap disiplin ilmu tidak akan hidup di ruang hampa, artinya ia tidak akan hidup tanpa melibatkan ilmu lain,” tutur AKBP Beja, S.H Kabag Binopsnal Unit Reserse Umum Polda DIY. Hal tersebut ia sampaikan ketika menjadi pembicara acara talkshow dan launching majalah milik Badan Penerbitan Pers Mahasiswa Psikomedia. Kegiatan yang digelar Sabtu (22/3) ini bertajuk “Bedah Forensik Melalui Kacamata Psikologi”. Selain Beja, hadir pula, Idei Khurnia Swasti, M.Psi, dosen Psikologi UGM sebagai pembicara.
Talkshow diawali dengan pemaparan mengenai psikologi forensik, yaitu aplikasi ilmu psikologi dalam bidang hukum. Menurut Idei, psikologi forensik dibagi menjadi dua bagian, yaitu forensik perdata dan forensik pidana. “Kasus perdata itu seperti klaim asuransi, hak asuh anak, sementara kalau pidana itu kasus pembunuhan,” terangnya. Tugas psikolog forensik di kedua bidang tersebut sama, yaitu membuat profil psikologi dari orang-orang yang terlibat. “Profil psikologi itu untuk melihat bagaimana kondisi mental atau kecenderungan seseorang,” tambahnya.
Beja menambahkan, kolaborasi ilmu psikologi dan hukum dapat mempermudah proses penyidikan. Menurutnya, kedua ilmu tersebut sebenarnya memiliki objek yang sama, yaitu perilaku manusia. “Bedanya, hukum lebih bicara soal kerugian, hukuman, sementara psikologi mampu menggali motifnya,” ujarnya.
Lebih jauh, Beja menjelaskan soal model penyidikan. Pada awalnya, pasal yang mengatur soal penyidikan menyebutkan, proses hukum membutuhkan pengakuan tersangka bahwa ia bersalah. Oleh sebab itu, model penyidikan ini menggunakan segala cara untuk mengorek pengakuan tersangka, termasuk dengan kekerasan. Namun setelah direvisi, penentuan kasus hukum saat ini tidak lagi menunggu tersangka mengakui perbuatannya, cukup hanya keterangan. “Nah, dengan adanya profil psikologi yang dibuat, kita bisa melihat, keterangan tersangka bohong atau tidak,” ungkap Beja.
Masalah tindak kriminal juga berhubungan dengan penyebab seseorang melakukan tindak kejahatan. Beja menerangkan, profil psikologi yang mengungkapkan motif kejahatan dapat menentukan tindakan hukum yang diterapkan. “Dapat dilihat motifnya kejahatan berencana atau hanya luapan emosi sesaat. Bisa juga menentukan, apakah orang tersebut harus dihukum, atau direhabilitasi terlebih dahulu,” ujarnya.
Nimas, ketua panitia, menerangkan bahwa tema ini diusung karena melihat maraknya tindak kriminal yang dilakukan, terutama oleh remaja. Ia berharap ilmu yang didapat dari acara ini dapat membuat peserta lebih memperhatikan latar belakang seseorang yang melakukan tindak kriminal. “Kalau sudah tahu penyebabnya, kita bisa mencegah,” ujarnya. Senada dengan Nimas, Elsa, salah satu peserta, berpendapat bahwa acara tersebut mampu menjelaskan mengenai psikologi kriminal dengan baik. “Mungkin bisa dilanjutkan dengan materi lain seperti bahasa yang digunakan pelaku kriminal, agar kita bisa lebih waspada,” ujarnya. [Shiane]