Tahun ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan turun keprabon. Menilik ke belakang, tatkala SBY mulai didapuk menjadi presiden sepuluh tahun silam, serentetan bencana alam seakan menyambutnya. Ada gempa bumi dan tsunami di Aceh, disusul gempa di Yogyakarta dan pantai Pangandaran. Kondisi yang sama terjadi ketika masa kepemimpinannya akan berakhir. Bencana-bencana yang tak kalah dahsyatnya turut mengiringi masa-masa terakhirnya sebagai presiden. Seperti biasa, presiden prihatin atas bencana yang datang. Langkah blusukan dengan turun langsung ke kantong-kantong pengungsi dilakukan untuk memberi sumbangan.
Tidak hanya presiden, langkah blusukan ke kantong-kantong pengungsi juga dilakukan oleh para calon penggantinya. Misalnya langkah yang dilakukan Gerindra. Partai ini membagikan 1,3 Miliyar pada seluruh caleg dapil yang terkena bencana. Selain Gerindra, Harry Tanoe dari Hanura pun terlihat beberapa kali memberi bantuan.
Tindakan baik tak selamanya dinilai baik. Kant dalam Critique of Pure Reason-nya mengatakan bahwa realitas dapat ditangkap secara berbeda oleh tiap manusia. Ada dua dunia yang dikenalkan oleh Kant: dunia fenomena dan nomena. Fenomena adalah peristiwa yang terjadi, sedangkan nomena adalah realitas dan makna yang ditangkap oleh pengamat.
Fenomena tokoh politik yang memberi bantuan menciptakan nomena yang berbeda-beda. Beberapa justru melihatnya sebagai bentuk kampanye terselubung. Sekalipun, maksud tokoh politik memang ingin membantu. Sebagian partai menyadari hal ini. Misalnya Partai Amanat Nasional yang melarang kadernya membawa nama partai dalam tiap penyaluran bantuan. Tapi sayangnya maksud larangan itu hanyalah isapan jempol semata. Iklan-iklan Hatta Rajasa di televisi ketika memberikan santunan disetel berulang-ulang. Masyarakat kemudian melihatnya tidak lagi secara positif. Masyarakat yang sudah akrab dengan politik uang cenderung skeptif dan menganggap bentuk sumbangsih tokoh politik hanya bentuk pencitraan semata.
Rakyat Indonesia telah merasakan dua kali pemilu legislatif dan paling tidak empat kali pemilu kepala daerah. Alhasil, politik uang yang kerap dilakukan calon pemangku jabatan membuat rakyat mulai jenuh. Ada dua hal yang bisa kita lihat disini. Pertama, rakyat menjadi sangat waspada –kalau tidak bisa disebut curiga. Rakyat telah menyadari kesalahannya dalam memilih pemimpin berpengaruh pada kebijakan politik yang akan mereka rasakan. Kedua, pandangan ini membuat rakyat menjadi lebih skeptis terhadap politik. Politik dianggap sebagai nasi bungkus busuk, yang meski diberi gratis tetap saja isinya busuk –tidak bisa dimakan.
Fenomena ini tentu mempunyai implikasi. Skeptisme perlahan berkembang menjadi apatisme. Ketika apatisme yang terjadi, sangat tidak mungkin kita mengharapkan kritisisme dari masyarakat. Rakyat menjadi apatis terhadap politik. Rakyat tidak lagi peduli pada siapa kandidat pemimpin dan wakil rakyat mereka. Mereka anggap semuanya sama saja, hanya pintar bicara di masa kampanye lantas tidak ada bukti ketika terpilih nanti. Rakyat kemudian lebih tertarik membicarakan Piala Dunia Brazil dibanding pesta Demokrasi 9 April. Lebih asyik menanyakan kabar Farhat Abbas dibanding mengkaji track record Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto.
Politic is dirty games, begitu kata banyak orang. Bagi sebagian besar masyarakat, nampaknya hal ini benar adanya. Politik kemudian dilihat masyarakat sebagai hal buruk yang mending tidak perlu diketahui. Padahal, politik mempengaruhi segala sendi kehidupannya. Mau tidak mau, kita pun harus peduli dengan urusan politik dari yang remeh-temeh hingga yang rumit sekalipun.
Jika pada akhirnya masyarakat masih tergolong dalam masyarakat parochial, maka bukan semata-mata pendidikan politik yang disalahkan. Masyarakat sendiri sudah enggan mengenal politik lebih jauh. Maka permasalahannya kemudian menjadi lebih luas. Di satu sisi pendidikan politik memang harus dilakukan. Namun di sisi lain, media harusnya tidak melulu membicarakan politik dari sisi negatifnya.
Albert Camus dalam buku Krisis Kebebasan berpendapat, pemerintah haruslah tunduk pada hukum. Bila sampai pemerintah menginjak-injak hukum, kepercayaan orang terhadap pemerintah yang bersangkutan akan dirongrong. Oleh karena itu, masyarakat setidaknya juga perlu tahu prestasi politik Indonesia. Pemberitaan haruslah berimbang sehingga akhirnya terbentuk masyarakat yang kritis dan bisa menilai baik atau buruk sebelum menentukan pilihannya.
Ganesh Cintika Putri – Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik 2012
2 komentar
tak bedek Ganesh sing nulis. tenan.
Haha