
Dalam salah satu bagian film, Mbah Aman terlihat kuat meski sudah lanjut usia.
Rokok bukan menjadi faktor utama penyebab kematian. Ada konsep lain yang mempengaruhi umur dan hidup mati seseorang. Demikian penuturan Darwin Nugroho dalam acara diskusi dan pemutaran film bertajuk “Narasi Lokal tentang Panjang Umur” di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta. Diskusi ini digelar sebagai bagian dari roadshow buku dan film dokumenter berjudul “Mereka yang Melampaui Waktu” pada Rabu (15/1). Dalam film tersebut, Darwin mengisahkan pengalaman hidup para perokok lansia yang masih produktif meski sudah lanjut usia.
Mengawali diskusi, Darwin berpendapat bahwa argumen yang dipakai pemerintah untuk melarang peredaran rokok tidak tepat. Menurutnya, regulasi yang diterapkan selama ini hanya berdasarkan pada pertimbangan kesehatan saja. “Bahkan dalam iklan rokok, himbauan tentang bahaya rokok dengan ancaman dapat membunuh seseorang sudah semakin tegas,” jelasnya. Padahal, tambah Darwin, ada faktor sosial lain yang mungkin dapat menjadi penyebab orang cepat mati. “Misalnya gaya hidup dan pola makan yang tidak teratur,” terangnya. Faktor-faktor inilah yang sering luput diperhatikan pemerintah. “Film ini coba membantah logika itu, kami menghadirkan narasi lain sebagai pembanding,” jelas Darwin.
Hairus Salim, Peneliti LKiS, sependapat dengan penuturan Darwin. Menurutnya, panjangnya usia para lansia itu sangat bergantung pada konsep hidup yang mereka anut. “Ada kearifan lokal yang mereka terapkan,” ujarnya. Ia kemudian mencontohkan kisah Mbah Aman, salah satu narasumber dalam film tersebut. Meski ia perokok berat, janda yang tinggal di Gunung Kidul itu masih sehat bugar menjalankan aktivitas sehari-hari sebagai petani dan menghidupi ternaknya. Mbah Aman sendiri yang mencangkul lahan, memanen singkong, hingga mengangkutnya ke lumbung. “Ia sudah menganggap proses itu sebagai kegiatan menyenangkan dan kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan,” ujarnya. Walau demikian, lanjut Salim, bukan berarti karena merokok orang-orang itu bisa panjang umur.
Di sisi lain, Lono Simatupang, Dosen Antropologi UGM, coba mengkritik film ini. Menurutnya, seluruh fakta-fakta yang terdapat di dalam buku tidak diwujudkan dalam bentuk audio visual. Misalnya, dari 22 narasumber yang dituliskan, hanya enam yang masuk dalam alur cerita. “Padahal ada bagian-bagian menarik dalam tulisan yang dapat divisualkan,” ujarnya. Selain itu, ia memberi saran agar film ini tidak hanya menggambarkan cerita sukses hidup sang tokoh. Tetapi juga perjuangan orang itu bergelut dengan rokoknya. “Proses menampilkan hal biasa menjadi luar biasa inilah yang menjadi nyawa film ini,” tegasnya. [Khairul Arifin]