Judul Buku : Bandit Berdasi-Korupsi Berjamaah, Merangkai Hasil Kejahatan Pasca-Reformasi
Penulis : Suhartono W. Pranoto
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : II, 2009
Tebal : 216 Halaman
“…sama jahatnya dengan seorang perampok dan pembunuh, tetapi dengan mempegunakan cara dan metode yang lain.”(Prof. J. E. Sahetapy, hlm.108 ).
Penting untuk memahami bahwa kejahatan akan selalu ada, selain sebagai penyeimbang, juga penggerak menuju perbaikan. Berdasarkan pemahaman itulah, tindakan menyimpang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Intensitas yang tinggi dari tindakan menyimpang menandakan ada kesalahan dalam kehidupan sehari-hari. Realitas ini harus segera ditanggapi untuk menuju kehidupan yang lebih baik, dan mencegah kerusakan menjadi semakin parah.
Korupsi, sebagai bagian dari sisi jahat kehidupan manusia, dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui betapa rusaknya keadaan suatu negara. Gawatnya, pencurian oleh kaum elite sering terjadi di Indonesia. Saking seringnya, kita sebagai masyarakat Indonesia terbiasa bila dihadapkan pada wacana mengenai tindakan menyimpang ini.
Menggunakan kacamata sejarah dan budaya, Suhartono W. Pranoto dalam Bandit Berdasi-Korupsi Berjamaah, Merangkai Hasil Kejahatan Pasca-Reformasi berusaha mengubah cara pandang kita supaya melihat korupsi sebagai suatu masalah penting untuk segera diselesaikan. Untuk itu, digunakan perspektif tersebut dalam menjelaskan pencurian oleh kaum elite. Diharapkan pembaca memiliki pengetahuan baru dan tidak menganggap remeh intelectual crime ini.
Percaya atau tidak, sedari jaman nenek moyang korupsi sudah lazim dipraktekkan. Keadaannya sama dengan sekarang, hanya para elite yang dapat melakukannya. Hubunganpatron-client masih menjadi peran utama dalam menjerumuskan elite melakukan tindak kriminal ini. Atasan menekan bawahan, dan bawahan menekan bawahannya lagi. Ironisnya, akar rumput yang harus bekerja untuk memenuhi nafsu golongan atas. Tidak jauh berbeda dengan jaman sekarang dimana yang kuat menekan si lemah.
Penyebaran korupsi diperkuat dengan fase kemaruk pasca-proklamasi. Mereka yang sebelumnya tidak punya apa-apa, sekarang memiliki kesempatan untuk mengambil segalanya. Keadaan yang jauh lebih tenang, membuat para elite dapat lebih fokus untuk memikirkan cara mendapatkan harta dan kekuasaan sebanyak mereka inginkan.
Sementara itu, hukum tetap menjadi benda mati apabila dibiarkan begitu saja tanpa pelaksanaan yang baik. Undang-undang sudah banyak mengatur masalah korupsi, hanya saja penegak hukum sering tergiur bila disodori setumpuk harta. Percuma memiliki peraturan kuat, bila penegak hukum tidak bisa menjalankan kewajibannya. Banyak kasus korupsi diangkat, namun pelaku dibiarkan begitu saja melenggang dari kursi panas pengadilan. Memang tidak semua tersangka dapat meloloskan diri dari jeratan hukum. Hanya koruptor kelas kakap saja yang memiliki kemungkinan melarikan diri. Meski hanya sebagian, namun hal ini tetap saja memperburuk citra pengadilan.
Ancaman laten korupsi sangat membahayakan negara. Oleh karena itu, diperlukan ide-ide yang benar-benar solutif untuk mengatasi tindakan merugikan ini. Pendidikan, meskipun mahal dan efeknya lama baru terasa, sangat efektif dalam menanggulangi budaya korupsi. Dengan pendidikan yang baik, moral dan kesadaran generasi penerus bangsa dapat dibangun. Alhasil, budaya buruk ini dapat terkikis sedikit demi sedikit.
Pembaruan budaya atau modernisasi dianggap penulis penting untuk menghambat laju korupsi. Kebiasaan memberikan hadiah dan sejenisnya untuk mendapatkan sesuatu dipandang dapat diatasi dengan menyamakan cara hidup kita dengan orang di negara maju. Agaknya penulis lupa, bahwa setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam menghadapi persoalan. Tidak bisa lantas menyamakan setiap pemecahan masalah seperti yang dilakukan oleh masyarakat modern. Baik bila cara modern dipelajari, bukan diterapkan mentah-mentah. [Wijil]