Sabtu (30/11) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan workshop bertema “Listening by Looking”. Workshop tersebut diselenggarakan dalam rangka peringatan Dies Natalis Fakultas Psikologi ke-49 yang bertempat di gedung G100 Fakultas Psikologi UGM. Workshop ini membahas tentang cara berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Pada workshop “Listening by Looking” para peserta diajarkan bagaimana menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat yang diajarkan mulai dari isyarat huruf-huruf sampai dengan kosakata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kegiatan ini, Haidar Buldan, selaku ketua panitia berharap masyarakat awam tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan penyandang tuna rungu. “Harapan saya, kita dapat berkomunikasi dengan penyandang tuna rungu tanpa hambatan, sehingga kita semua bisa lebih dekat dan akrab,” ungkapnya.
Untuk mencapai tujuannya, Buldan bekerjasama dengan Deaf Art Community Yogyakarta. Deaf Art Community Yogyakarta merupakan suatu komunitas yang di dalamnya terdiri dari kaum penyandang tuna rungu di Yogyakarta. Anggota Deaf Art Community langsung turun tangan untuk mengajari bahasa isyarat kepada peserta. Gerakan-gerakan yang diajarkan menggunakan satu tangan dan dua tangan. Misalnya, untuk menggambarkan seorang bapak, mereka meletakkan telunjuk dibawah hidung, yang seakan-akan menggambarkan kumis. Selain itu, salah seorang pemateri juga mengajarkan bagaimana menggunakan mimik wajah ketika ingin mengatakan sesuatu. Selama pemateri memberi contoh gerakan didepan, semua peserta menirukan gerakan-gerakan yang diajarkan.
Workshop ini berhasil menarik antusiasme masyarakat. Buktinya, sebanyak 43 peserta dari berbagai kampus di Yogyakarta dan sekitarnya hadir memenuhi ruangan workshop. “Ada juga lho peserta yang jauh-jauh datang dari Semarang untuk menghadiri workshop ini,” jelas Elvina selaku koordinator acara. Salah satu peserta mengemukakan alasannya tertarik untuk mengikuti acara ini, “Awalnya penasaran, kemudian jadi ingin tahu seperti apa workshop bahasa isyarat itu,” papar Femi seorang mahasiswa S2 Psikologi UGM.
Selain untuk mendekatkan masyarakat dengan penyandang tuna rungu, acara ini juga sebagai bekal bagi peserta lomba bahasa isyarat yang dilaksanakan Minggu (1/12). Lomba ini juga diadakan agar masyarakat bisa berinteraksi secara nyata dengan kaum difabel. Broto Wijayanto sebagai pendiri Deaf Art Community Yogyakarta berharap dengan acara seperti ini masyarakat mampu menerima penyandang tuna rungu apa adanya. “Saya berharap masyarakat bisa menganggap mereka seperti teman sendiri, seperti saya menganggap mereka sebagai teman saya.” (Hidayatmi, Erny Kurniawati, Rizky Wahyuni)