Kisruh penetapan SPMA bagi mahasiswa baru UGM angkatan 2011/2012 beberapa waktu lalu masih menyisakan rasa tidak puas masyarakat. Anggapan sebagian besar masyarakat bahwa jalur  SNMPTN adalah jalur murah meriah untuk pendidikan hancur sudah. Hal ini terjadi karena tingginya biaya SPMA yang dipatok oleh UGM. Menurut artikel balairung press, 5 Juli 2011, penetapan biaya SPMA ini juga dinilai kurang masuk akal. Besarnya biaya SPMA  hanya ditentukan berdasarkan jumlah gaji kedua orangtua calon mahasiswa. Sementara itu, pengeluaran dan tanggungan orangtua calon mahasiswa tidak dipertimbangkan sama sekali.
Banyak diantara orangtua calon mahasiswa UGM merasa keberatan dan kecewa dengan kebijakan tersebut. Media online kompas.com  bahkan melansir beberapa  berita mengenai tanggapan orangtua calon mahasiswa pada pihak universitas terkait kebijakan SPMA. Salah satunya adalah berita yang diturunkan pada tanggal 1 Juli 2011, memuat kekecewaan salah satu orangtua calon mahasiswa UGM fakultas ekonomi yang diharuskan membayar SPMA sebesar Rp 40 juta. Beban biaya yang harus dibayarkan terasa bertambah berat ketika beliau mengetahui singkatnya tenggat waktu yang diberikan oleh universitas untuk melunasi biaya tersebut.
Sebenarnya pihak universitas sendiri menerima pengajuan permohonan keringanan pembayaran bagi calon mahasiswa yang merasa keberatan . Namun sayangnya hal ini tidak dipublikasikan secara langsung oleh pihak universitas. Untuk memperjuangkan keringanan pembayaran biaya masuk UGM ini, orangtua calon mahasiswa bahkan harus mendatangi pihak universitas secara langsung. Sementara beberapa lainnya memperjuangkannya melalui forum advokasi BEM-KM UGM. Pihak BEM-KM sendiri terpaksa harus mensosialisasikan adanya kemungkinan keringanan biaya ini melalui jejaring sosial dan dari mulut-ke-mulut. Karena baik di website UGM maupun website DAA tidak tercantum  adanya program tersebut.
Menanggapi kebijakan baru cara penentuan biaya SPMA (Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik) mahasiswa baru tahun 2011, Divisi Riset BPPM Balairung mengadakan polling terhitung mulai tanggal 2 sampai 30 Juli 2011. Kami menggunakan metode non-propability sampling, yang berarti setiap orang berhak menjadi responden. Pertanyaan yang kami ajukan adalah: âMenurut anda, apakah cara penentuan biaya SPMA UGM adil?â polling ini berhasil menjaring 100 voter. Hasilnya, sebanyak 91% menjawab tidak adil, dan sebanyak 9% menjawab adil.
Berita yang sudah kami (BPPM Balairung) informasikan dan hasil polling tentang biaya SPMA, merepresentatifkan bahwa meskipun range gaji orang tua dengan biaya SPMA yang dibayarkan terlihat seimbang atau adil, tetapi jika tidak hanya melihat aspek gaji orang tua dapat menimbulkan ketidakadilan. Dengan demikian, sudah seharusnya pihak âempu kebijakanâ sadar, bahwa kebijakan baru tentang cara penentuan biaya SPMA, tidak adil dari yang dibayangkan dan bertentangan dengan status UGM sebagai Universitas Kerakyatan.
Kami tidak memungkiri bahwa untuk meningkatkan mutu akademik mahasiswa, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Tetapi, peningkatan mutu tidak sama dengan membuang keadilan. Peningkatan mutu juga tidak sama dengan âmerampas makanan orang-orang kelaparanâ.
Peningkatan mutu adalah mempergunakan biaya untuk menambah koleksi buku studi, bukan untuk kenyang perut sendiri apalagi untuk rekreasi. Semoga hasil polling ini dapat menjadi salah satu bukti bahwa kebijakan baru cara penentuan biaya SPMA, tidak adil. Oleh karena itu, harus ada perubahan kebijakan dan ada keikutsertaan mahasiswa dalam proses perumusan kebijakan, agar tercipta kebijakan yang tidak menguntungkan satu pihak dan sesuai dengan keadaan sosiologis mahasiswa. Jika berbicara lagi tentang keadilan, meminjam kalimat yang sering diagungkan mahasiswa Fakultas Hukum, bahwa keadilan tidak dicari, tapi diciptakan.[Errina Puspita Sari dan Dewi Pertiwi]