Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (UU Sisdiknas Bab I, Pasal 1, Ayat 1)
Sepintas, pendidikan kewarganegaraan (PKn)bukanlah bahan pembicaraan yang menarik untuk anak muda zaman sekarang. Mungkin hanya beberapa dari mereka yang mau membahas substansi mata pelajaran ini. Padahal nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan kewarganegaraan sangat penting untuk diterapkan di kehidupan nyata. Hal-hal sepele seperti membuang sampah pada tempatnya, ajaran toleransi dan tenggang rasa merupakan dasar menuju perdamaian dan kesejahteraan. Namun pada kenyataannya, ajaran tersebut hanya bergaung saat kita masih berada di sekolah dasar. Semakin dewasa, nilai-nilai tersebut seakan terkikis oleh waktu.
PKn mempunyai tujuan mulia sejak pertama kali dimasukkan dalam kurikulum sekolah di Indonesia, yaitu untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme dan membangun karakter bangsa yang luhur. Sayangnya terdapat beberapa kondisi yang membuat tujuan ini tidak dapat dicapai dengan sempurna. Dalam penelitiannya yang berjudul Inovasi dan Tantangan Pembelajaran PKn Pada Jenjang Pendidikan Menengah dalam Rangka Menumbuhkan Jiwa Nasionalisme dan Membangun Karakter Bangsa, Heri Santoso dan Surono mengemukakan bahwa hal tersebut terjadi bukan karena substansi materi. Masalah yang sebenarnya terletak pada pola pengajaran dan cara penyampaian materi kepada para peserta didik.
Materi PKn sendiri merupakan pengaplikasian konsep Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai dasar negara, Pancasila selayaknya memang dijadikan pedoman dalam berperilaku oleh masyarakat Indonesia. Sebagai contoh dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa sila ini, masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat yang terlalu bebas dan tidak mengindahkan norma-norma agama. Belum lagi tindakan kriminal yang semakin merajalela karena masyarakat tidak percaya kuasa Tuhan. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya penanaman nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat.
Dalam penelitian ini, Heri Santoso dan Surono mengambil sampel penelitian dari peserta didik pada jenjang SMA/sederajat. Pada usia tersebut seorang remaja mulai mengembangkan ide dan pemikiran yang lebih mendalam. Mereka tidak hanya dituntut untuk menghafal materi, namun juga memahami dan mengaplikasikannya. Apabila pada masa pendidikan ini penyampaian PKn tidak dilakukan dengan semestinya, maka hasil yang diperoleh tidak dapat maksimal.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dan kuantitatif, serta mendasarkan diri pada data kepustakaan, survey, dan FGD (focus group discussion). Penelitian dilaksanakan selama dua tahun, yakni pada 2009 dan 2010. Variabel yang akan dibandingankan yaitu model inovasi pembelajaran PKn antara sekolah âunggulanâdan sekolah ânonunggulanâ. Pada 2009, objek penelitiannya berasal dari SMA berstatus âunggulanâ, sementara pada tahun 2010 objek penelitiannya berasal dari SMA berstatus ânonunggulanâ.
Berdasarkan penelitian tersebut, Â terdapat perbedaan hasil pembelajaran karena perbedaan model pembelajaran antara sekolah âunggulanâ dan ânonunggulanâ. Metode yang digunakan oleh guru dari sekolah âunggulanâ cenderung menarik. Contohnya dengan melibatkan siswa dalam sebuah studi lapangan. Sementara metode yang digunakan oleh guru dari sekolah ânonunggulanâ cenderung kurang variatif dengan hanya memberikan materi di kelas.
Metode dari guru sekolah âunggulanâ terbukti dapat membuat siswa antusias terhadap mata pelajaran PKn. Penyebabnya siswa  tidak sekedar dijejali teori, namun juga dibawa untuk melihat praktek penerapan ilmu tersebut diberbagai lembaga pemerintah, misalnya di pengadilan negeri.
Selanjutnya selain karena metode pembelajaran, masalah yang membuat pendidikan kewarganegaraan termarginalkan adalah posisinya yang tidak jelas. Memang PKn merupakan salah satu di antara mata pelajaran wajib pada pendidikan dasar dan menengah. Namun dalam kebijakan kementrian pendidikan nasional, pendidikan kewarganegaraan tidak diujikan secara nasional. Sebagai akibatnya pendidikan kewarganegaraan sering kali dianggap sebagai pelajaran yang kurang penting.
Disinilah tantangan para guru untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam mengemas pendidikan kewarganegaraan menjadi bahasan yang menarik bagi siswa. Sebenarnya seandainya para guru benar-benar memahami substansi mata pelajaran ini, pendidikan kewarganegaraan dapat dikemas secara menarik. Materi pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya adalah Pancasila. Pancasila sebagai ideologi negara memiliki sifat fleksibel, sehingga pancasila bukan hanya âbarang kunoâ yang tidak dapat digunakan seiring bertambahnya zaman. Pancasila mampu menjadi solusi bagi masalah-masalah yang berkembang saat ini. Walaupun begitu ia tidak akan kehilangan esensi dasarnya karena sifatnya tersebut. Itulah mengapa begitu mudah sebenarnya untuk menyampaikan materi pendidikan kewarganegaraan dengan menarik. Banyak contoh disekitar kita yang patut untuk ditelaah dengan nilai-nilai Pancasila. Misalnya makin maraknya kasus korupsi padahal sila ke lima jelas-jelas menjelaskan mengenai keadilan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Penelitian ini menekankan pentingnya pendidikan kewarganegaraan bagi kita supaya bangsa ini tidak kehilangan identitas. Ironisnya, saat ini telah terjadi reduksi habis-habisan dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan dilepaskan dari nilai-nilai kebudayaan dan kemudian menjadi sekadar pengajaran dan pembelajaran. Belum cukup, ia juga direduksi didalam institusi persekolahan. Sekolah hanya berfungsi untuk mengajarkan kurikulum tertentu. Kurikulum pun hanya menjadi acuan bahan pembelajaran dan mata pelajaran. Hal ini diperparah dengan dipersempitnya kurikulum menjadi bahan yang diujikan. Model ujian pun kian dipersempit menjadi ujian kognitif dan pilihan ganda. Akhirnya ujian ini pun juga Cuma sebuah formalitas belaka.
Menyedihkan ketika pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum sekolah terkesan hanya seperti tempelan. Kajian ini hendaknya dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pihak terkait untuk mengembangkan pola pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang baik dikemudian hari. Selain itu, akan lebih baik lagi apabila penelitian ini dilanjutkan dengan objek yang lebih tinggi dari sekolah menengah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah pola pembelajaran yang diterima oleh mahasiswa sudah sesuai dengan posisi mereka sebagai individu yang harus menekankan praktek daripada sekadar teori. [Errina Puspitasari]