Judul : Republik Rimba
Penulis : Ryan Sugiarto
Penerbit : Komunitas Kembang Merak
Tebal : xiv + 145 Halaman
Jika rimba adalah republik kita, di sana semua peristiwa merosot dalam derajat hukum binatang. Mereka yang berkuasa di republik ini adalah kaum yang kuat, memiliki harta melimpah, dan kroni-kroni yang solid. Pencitraan yang sempurna juga menjadi senjata.
Novel Republik Rimba bercerita tentang bagaimana ruwetnya laju kehidupan para binatang hutan. Sang Singa Raja telah lama berkuasa, tapi ia masih ingin melanggengkan tahtanya. Maka dimulailah cerita-cerita yang mengerangkai perjalanan kuasa sang Singa. Kaum kadal diberi kuasa untuk mengatur mekanisme pemilihan raja baru. Meskipun kerja mereka banyak diprotes rakyat rimba, teriakan itu dianggap angin lalu.
Para rubah, diwakili oleh Anfox dan Rifox, merancang kampanye untuk singa. Keluarga beruang siap menjadi penyokong dana. Hewan-hewan teliksandi, burung-burung pewarta, dan binatang-binatang bromocorah , semua siap memuluskan jalan Sang Singa untuk berkuasa kembali.
Di tengah hiruk pikuk politik rimba, ada juga burung-burung manyar yang sibuk mengasah ilmu dan ideologi. Mereka diajari untuk memegang teguh prinsip “Apa guna ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli. Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu”(hlm.36). Mereka mencerca anak-anak rimba yang suka berhura-hura, konsumtif, dan berpikiran pragmatis. Seperti ditelan angin, tidak ada yang mau mendengar suara mereka.
Singa Raja berhasil duduk kembali di tampuk kuasa. Jabatan dibagi-bagikan kepada hewan-hewan yang berjasa memenangkan sang Singa. Sementara itu binatang pelajar di padepokanmalah berkhianat pada idealisme mereka. Sikap mereka menjadi pragmatis dan individualis. Setelah lulus dari pendidikan, mereka mendekati penguasa. Mereka ikut menjalankan pemerintahan Sang Singa yang korup.
Politik di Republik Rimba layaknya polah politisi kita. Mereka saling tipu, saling sikut, dan gemar menciptakan pencitraan semu. Penulis berusaha membawa kita melihat miripnya pemerintah kita dengan binatang hutan.
Novel setebal 145 halaman ini dimaksudkan untuk memotret kehidupan para elite di bangsa ini. Pembaca akan menemukan cerita-cerita soal bagaimana laku seorang pemimpin rimba, kroninya, dan intrik-intrik kekuasaan. Tapi hanya ada beberapa fragmen kecil soal bagaimana nasib kelas bawah rimba. Hanya ada empat bab, yakni Burung Prenjak, Pecoblosan, Yang Terlupakan, Lumpur, Kemelaratan Rakyat Rimba di antara 33 bab, yang mengisahkan rakyat kecil di Republik Rimba.
Bicara soal proses kreatif, Ryan berusaha membuat “dokumen fiksi” atas kejadian-kejadian fenomenal pada saat novel ini ditulis. Cara penuturannya terasa seperti dengan mengganti nama-nama asli dari para aktor sosial-politik di negeri ini dengan nama binatang yang terasa dekat dengan nama itu. Nama Singa Raja untuk presiden, Beruang untuk par kapitalis lokal,Fox untuk juru kampanye, dan seterusnya.
Justru sepertinya hal inilah yang diinginkan si penulis. Ia berusaha membuat rekam-jejak dinamika sosial politik di negeri ini. Genre fabel dipilih untuk fungsi sarkastis dan menjangkau sebanyak mungkin pembaca. Jalan kritik ilmiah dan melalui kanal media massa tidak lagi ampuh. Sebab media akhirnya juga tunduk pada penguasa. Sementara itu tulisan ilmiah dibaca oleh segelintir orang. Cerita dunia binatang memang pas untuk menggambarkan betapa para pemimpin negeri kita tidak lagi mengagungkan adat kemanusiaan. Adat kebinatangan lah yang mereka pegang.
Seperti yang dituturkan Ryan, “Naskah itu saya tulis untuk ‘pengingat’ bahwa negara ini mempunyai peristiwa besar yang sempat fenomenal, tetapi karena bangsa kita bangsa pelupa, dan media begitu larut dalam hingar bingar peritistiwa, maka bagi saya penting untuk menuliskannya. Karena setiap berita ‘besar’ selalu akan tertutup oleh berita ‘besar’ yang baru juga. Akhirnya sebagian kita lupa, melupakan, dan diajak untuk lupa tentang fenomena itu.”
Meski cerita novel dengan kenyataan republik kita, karya ini memang dimaksudkan sebagai sebuah tulisan fiksi. Bila pembaca memiliki pretensi bahwa fabel ini mewakili kenyataan yang ada di negeri, terserah saja. Seseorang tidak perlu terus menerus mengaitkan teks dengan penulisnya. Teks memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dirinya sendiri.
Terlepas dari segala kekurangan teknis dari buku ini, ikhtiar Ryan perlu dihormati. Dia telah memiliki keberanian untuk mengkritik tingkah-polah kaum elite negeri ini dengan karyanya. Semoga kalau buku ini terbaca oleh generasi Indonesia sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, negeri ini dijalankan berdasar hukum manusia. Bukan lagi diatur oleh tatanan rimba raya. [Muhammad Nafi’]