Judul : Sebelas Patriot
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Tahun terbit : Juni 2011
Tebal : 101 halaman
Nasionalisme tak harus selalu ditunjukkan dengan mengorbankan nyawa. Ia memberi pilihan, bahkan melalui bentuk paling sederhana, sepak bola.
Andrea Hirata kembali dengan novel barunya yang bertema sepak bola. Sebelas Patriot, seperti karya-karya Andrea sebelumnya, lahir dari penggalan-penggalan kisah perjalanan hidup Ikal. Tokoh yang disebut-sebut sebagai penggambaran sosok Andrea Hirata kecil ini diceritakan sedang berusaha mewujudkan ambisinya menjadi seorang pemain sepak bola.
Novel ini menceritakan tentang Ikal yang tergila-gila pada sepak bola setelah menemukan sebuah realita tentang ayahnya. Dahulu pada masa penjajahan Belanda, ayahnya dikenal sebagai seorang pemain bola yang tersohor di kampung mereka. Bersama dua saudaranya, paman-paman Ikal, ia menjadi pahlawan lapangan bagi para kuli penambang timah.
Kisah bermula saat Ikal menemukan selembar foto yang telah usang. Pada awalnya ia tidak mengenali sosok yang ada di dalam foto tersebut. Namun rasa ingin tahunya yang tinggi membuatnya mencari tahu tentang kisah yang terjadi di balik itu. Lelaki remaja yang ada di dalam foto tersebut, yang berpose sembari memegang sebuah piala dan sebuah bola di kakinya, adalah ayahnya sendiri.
Ayah Ikal adalah seorang kuli tambang timah di Belitong. Ia menjadi kuli tambang bersama dua orang kakaknya sejak usia 13 tahun. Mereka dipaksa bekerja di sana oleh para koloni Belanda sebagai pengganti ayah mereka yang sebelumnya juga dipaksa bekerja di tempat yang sama.
Pada masa itu setiap tahunnya diadakan kompetisi olah raga Piala District Beheerder. Acara tersebut diadakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun Ratu Victoria yang notabene adalah ratu Belanda pada saat itu. Orang-orang Belitong keturunan Melayu dipaksa untuk ikut turut berpartisipasi, pribumi bertanding melawan pribumi atau orang Belanda melawan pribumi.
Ayah Ikal dan kedua kakaknya bergabung memperkuat tim sepak bola kuli parit tambang dan tak ayal mereka menjadi pemain andalan tim tersebut. Permainan ketiga saudara yang spektakuler ini berhasil memukau para penonton dan membuat nama mereka menjadi tersohor ke berbagai penjurur Belitong. Mereka seperti magnet yang menarik orang-orang untuk datang menyaksikan pertandingan. Juga seperti magnet yang selalu menarik kemenangan bagi tim kuli parit tambang.
Hal ini membuat Van Holden, gubernur wilayah yang ditunjuk Belanda untuk Belitong pada saat itu, cemas dan geram. Baginya, permainan tiga bersaudara itu mengancam kemenangan tim Belanda, yang juga berarti mengancam kedudukan politik Belanda di Indonesia. Hingga akhirnya ia mengambil tindakan melarang Amin, pelatih tim kuli parit tambang, menurunkan ketiga pemain hebat itu dalam sebuah pertandingan. Dengan berat hati, pelatih Aminmembangkucadangankan mereka, mengakibatkan tim kuli parit tambang menderita kekalahan dalam pertandingan-pertandingan berikutnya.
Namun semangat dan kecintaan ketiga saudara itu terhadap bola membuat mereka tidak gentar terhadap ancaman-ancaman yang dilayangkan Belanda. Mereka nekat ikut bertanding kembali, karena bagi mereka sepak bola adalah kegembiraan dan bentuk perjuangan melawan penjajahan. Mereka berhasil memenangkan pertandingan tersebut, namun sebagai konsekuensinya ketiga saudara itu bersama pelatih Amin diseret ke tangsi oleh tentara Belanda. Keesokan harinya mereka keluar darisanadalam keadaan babak belur setelah disiksa dan dipukuli. Pelatih Amin dilarang terlibat dengan sepak bola. Dua saudara tertua dibuang ke sebuah pulau untuk kerja paksa membangun dermaga. Sementara saudara ketiga kembali bekerja rodi di tambang timah.
Tahun-tahun berlalu, dua saudara tertua kembali pulang ke kampung mereka dengan selamat. Pelatih Amin masih dilarang untuk berhubungan dengan sepak bola, sementara si bungsu sudah beberapa kali keluar-masuk tangsi karena menolak bermain memperkuat tim Belanda. Masa itu sudah dekat dengan tahun 1945, di mana kedudukan Belanda semakin melemah sementara perjuangan rakyatIndonesiadiserukan dari berbagai penjuru.
Sebuah pertandingan sepak bola kembali diadakan, dan ketiga bersaudara bersama pelatih Amin nekat ikut serta walaupun pihak Belanda telah mewanti-wanti mereka. Keputusan mereka mendapat sambutan meriah dari para penambang timah. Mereka sangat antusias untuk melihat kembali permainan memukau dari sebelas patriot tim kuli parit tambang.
Perjuangan mereka berbuah manis, mengantarkan mereka pada kemenangan gilang-gemilang atas tim sepak bola Belanda. Si bungsu―ayah Ikal―meneriakkan Indonesia berkali-kali ke udara sebagai wujud suka cita telah mengalahkan Belanda yang baginya juga berarti telah berjuang untukIndonesia. Sebagai akibatnya, ketiga saudara dan pelatih Amin kembali diseret ke tangsi, dikurung selama seminggu dan dikeluarkan dalam keadaan tragis, tulang tempurung lutut kiri si bungsu hancur.
Sejak mengetahui kisah tragis ayahnya, Ikal memutuskan untuk belajar sepak bola. Ia ingin mewujudkan cita-cita ayahnya menjadi pemain sepak bola. Kemuudian, Ia bergabung dengan klub bola kecil di kampungnya. milik seorang pelatih bernama Toharun yang merupakan anak dari Pelatih Amin. Ikal mendedikasikan hampir seluruh waktunya bagi sepak bola, berjuang demi mewujudkan mimpi ayahnya yang terhenti karena kekejaman Belanda. Ia yakin, bahwa suatu hari nanti ia dapat bergabung dengan Tim Nasional Indonesia.
Ia berlatih keras, mengikuti berbagai macam seleksi di berbagai macam tingkatan demi cita-cita luhurnya untuk membuat sang ayah bangga. Tak sia-sia, usaha demi usaha yang ia lakukan mengantarkan ia semakin dekat pada mimpinya. Namun sayang, ia terdepak pada proses seleksi terakhir. Keinginannya bergabung dengan Tim Nasional Indonesia harus ia simpan selamanya.
Sebelas Patriot, layaknya novel khas Andrea Hirata, menyajikan tentang mimpi, harapan, serta pencapaian yang selalu bisa diraih dengan perjuangan dan keyakinan. Andrea menunjukkan pada pembaca bahwa tidak ada yang mustahil dan tidak memiliki nilai guna di dunia ini. Meskipun hal tersebut adalah sebuah kegagalan.
Di dalam novel ini ia juga menyajikan perspektif baru tentang sepak bola. Bahwa sepak bola tidak hanya sekadar permainan berebut bola, soal gol atau menang-kalah saja. Tetapi, terdapat filosofi tentang cinta dan nasionalisme didalamnya. Lebih jauh ia menekankan bahwa sepak bola adalah bentuk representatif dari psikologi, seni, politik, bisnis, keikhlasan, agama, perjuangan, budaya, sejarah, nasionalisme, patriotisme, dan cinta. Seperti yang ia tulis, “Menggemari tim sepak bola negeri sendiri adalah 10% mencintai sepak bola dan 90% mencintai tanah air”. Seolah Andrea ingin menyampaikan bahwa mendukung timnas adalah suatu bentuk perjuangan yang melambangkan nasionalisme rakyat Indonesia. Bahwa mencintai timnas sama hakikatnya dengan mencintai tanah air Indonesia.
Terlepas dari semua hal-hal positif di atas, kelemahan dari novel ini adalah alur penyajian ceritanya yang sedikit datar, ditambah kenyataan bahwa kisah ini tidak memiliki konflik apapun di dalamnya. Andrea Hirata terkesan kehilangan kemampuannya untuk membawa pembaca meresapi masa lalunya secara emotif, sedikit kemerosotan dibandingkan karya-karya sebelumnya. Pemilihan judul yang dipakai juga kurang koheren dengan isi novel secara keseluruhan, sehingga terkesan hanya untuk komersialitas. Selain itu, setiap kejadian digambarkan begitu singkat dan sangat sederhana serta kurang terperinci, memberikan kesan seolah-olah Andrea buru-buru dalam mengerjakannya.
Novel ini cukup layak untuk dibaca oleh semua kalangan. Memang tidak akan sememukau karya-karya awal Andrea, namun masih banyak pelajaran serta pemikiran yang bisa dipetik. Kisah di dalamnya mungkin akan merubah cara pandang Anda terhadap sepak bola, memberi Anda salah satu alternatif nasionalisme yang sederhana. [Rara, Ninis]