“Musik underdog kini semakin terpuruk dalam ceruk-ceruk pinggiran,” tutur M. Taufiqurrahman, co-founder Jakartabeat. Media kita pun lebih banyak menulis tentang musik mainstream yang konon katanya lebih adiluhung dibanding musik arus pinggiran. Berangkat dari keprihatinan ini, Jakartabeat menggelar diskusi bertajuk Jurnalisme Musik pada Senin (30/5) petang. Kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh Jakartabeat untuk meluncurkan buku “Like This”, produksi mereka.
Taufik memaparkan kegelisahannya tentang masa depan musik Indonesia yang semakin kehilangan arah. Media tidak memberikan ruang yang cukup bagi musik pinggiran untuk berdialog dengan bahasa mereka sendiri. “Media kita lebih banyak merangkum ulasan tentang musik yang dipayungi industri besar,” tambahnya. Itulah sebabnya musik pinggiran yang berkualitas tinggi susah untuk berkembang. Pun jurnalisme musik jadi semakin kehilangan identitas. “Jurnalis gagal menjaga kemapanan dan kewalahan berperan sebagai arbriter,” tambahnya.
Sebagai contoh, ia menyesalkan sikap awak media Kompas yang lebih menganggap musik Andrea Bocelli lebih superior dan high class dibanding Pavement, Sting, dan Maroon 5. Padahal tak ada kaitannya strata ekonomi atau kelas sosial dengan selera musik. Seperti pernyataan yang ia kutip dari sosiolog Perancis, Pierre Bordieu, dalam buku Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. “Saya sependapat dengan Bordieu, bahwa status budaya dan prestise tidak berasal dari hubungan produksi, tapi dinegosiasikan dalam lapangan budaya estetika alternatif,” ujarnya.
Hal tersebut diamini oleh Wishnu Martha, Dosen Ilmu Komunikasi UGM. Menurutnya, bangkrutnya jurnalisme musik konvensional yang menerapkan teknik penulisan yang jujur dan komprehensif sudah jamak diterima sebagai realitas. Monopoli dan konglomerasi media yang berpadu dalam koor jurnalisme borjuasi menjadi salah satu faktor pemicunya. “Kuncinya hanya satu, media harus tegas menentukan sikap dengan menolak segala bentuk pendewaan terhadap musik tertentu”, tegasnya.
Pernyataan tersebut ditimpali oleh Risky “Summer Bee”. Ia menyesalkan sikap menye-menye media Indonesia, baik media biasa seperti Kompas, maupun media yang mengidentikkan diri sebagai media musik seperti Rolling Stone. “Mereka seperti tak serius menulis tentang para musisi.” Artinya semua tulisan mereka hanya didasarkan atas nafsu pasar. Itulah sebabnya media musik kita gagal memoderatori opini penikmat musik dengan arif. Apalagi musik hakikatnya memegang peranan yang cukup urgen sebagai wadah kritik sosial. “Pemusik pun berperan sebagai agen budaya yang bisa mendorong perubahan,” imbuhnya. Sayang, media tak membaca fakta ini.
Taufik mengiyakan ungkapan Risky. “Roh musik dan pemusik yang dikawinkan dengan para penikmatnya mampu menciptakan perubahan,” ungkapnya. Oleh sebab itu, pembelaan terhadap musik underdog ini harus menjadi sikap politik dari mereka yang mau menulis musik secara serius. “Alasannya sederhana, menulis tentang underdog akan menghindarkan jurnalis dari penulisan formal yang menyeret mereka dalam pusaran tren, gaya, dan teknik musik.” Ia menegaskan, sikap wartawan yang “menjauhkan diri” dari hingar-bingar musik arus utama menjadikan wartawan lebih cerdas membaca fenomena musik. “Media musik tak harus antipati dengan melawan mainstream, tapi cukup menjadi media alternatif,” pungkasnya.[Ayu]