Ketika sikap apatis dan pemikiran pragmatis menjadi pilihan.
Atas nama demokrasi hampir segala hal ditentukan mengikuti suara mayoritas. Berbagai demokratisasi dalam segala aspek dilaksanakan demi mencapai tujuan. Kampus kerakyatan ini pun tidak ketinggalan turut serta memeriahkan euforia demokrasi di tanah air.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Keputusan MWA UGM nomor 12/SK/MWA/2003 tentang Anggaran Rumah Tangga UGM, diadakanlah ajang pemilihan rektor (pilrek) periode 2012-2017 pada Februari lalu. Sederet prosedur pemilihan disiapkan demi menemukan sosok pemimpin yang dapat menjadi tumpuan bagi perkembangan kehidupan kampus ke depan. Siapa saja mempunyai kesempatan mencalonkan diri ataupun dicalonkan, sesuai ketentuan dan syarat.
Proses pencarian sosok pimpinan UGM dilakukan secara bertahap mulai dari minggu kedua bulan Februari lalu dengan dilakukannya persiapan oleh Panitia Ad Hoc (PAH). Sosialisasi dilakukan seminggu setelahnya, yaitu pada minggu ketiga bulan Februari hingga awal Maret. Pada tahap ini, pendaftaran bakal calon telah dimulai dengan pengiriman berkas-berkas oleh pribadi yang bersangkutan ataupun pihak yang mencalonkan.
Pada akhir masa sosialisasi tercatat 11 bakal calon rektor dengan 8 diantaranya berasal dari staf akademisi UGM. Sampai pada titik ini pun prosedur pemilihan masih berkutat pada keputusan PAH yang bertugas menjaring lima orang. Semua bakal calon yang lulus seleksi admistrasi akan diberikan kesempatan memaparkan visi dan misi mereka di hadapan Rapat Gabungan Pleno Senat Akademik (SA) dan Majelis Guru Besar (MGB). Tiga diantaranya yang mendapatkan suara terbanyak kemudian diajukan ke MWA. Seleksi diteruskan hingga akhirnya menjaring satu rektor terpilih yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan.
Serangkaian proses pemilihan tersebut mungkin tampak sempurna, atau setidaknya memenuhi standar bentuk perwujudan demokrasi. Namun jika ditilik lebih lanjut, ada bagian yang hilang dari proses tersebut. Tidak ada partisipasi yang signifikan dari mahasiswa dalam pemilihan pemimpin nomor 1 di UGM ini.
Tata cara pemilihan yang tertera pada portal akademik UGM maupun MWA hanya menyatakan adanya keterlibatan dua orang perwakilan mahasiswa saja. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mendapat satu hak pilih sebagai perwakilan mahasiswa S1, dan seorang yang lain adalah mahasiswa S2. Permasalahannya, apakah kuota dua suara tersebut sudah cukup untuk mewakili lebih dari 20 ribu mahasiswa?
Dengan menggunakan latar belakang tersebut, tim Divisi Riset BPPM Balairung memutuskan untuk mengadakan polling mengenai pendapat mahasiswa tentang pilrek tahun ini. Hasilpolling yang kami dapatkan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa merasa memiliki hak untuk harus ikut serta dalam pilrek. Sejumlah mahasiswa menyatakan bahwa sebagai objek dari kebijakan kampus, mereka seharusnya memiliki hak untuk turut andil dalam pilrek. Senada dengan pernyataan di atas, sebagian yang lain berpendapat mahasiswa adalah elemen atau bagian dari kampus. Sementara sisanya menganggap dengan pengikutsertaan mahasiswa dalam pilrek, akan menambah kepedulian mereka akan kampus.
Mengenai kepedulian, fakta lain yang kami temukan yaitu hanya 15,6% dari jumlah responden yang mengetahui mekanisme pemilihan rektor, sedangkan sisa 84,4% menyatakan tidak. Hal ini dapat dikaitkan dengan sosialisasi pilrek yang tidak jelas cara maupun sasarannya. Walaupun jumlah mahasiswa yang menyatakan tahu tentang sosialisasi lebih banyak daripada yang tidak, tetapi toh perbedaan persentase antara keduanya tidak terlalu signifikan.
Pertanyaan seperti “Apa itu Pilrek?” bahkan sempat dilontarkan oleh beberapa mahasiswa. Hal tersebut sedikit banyak mengindikasikan ketidaktahuan atau bahkan ketidakpedulian mahasiswa akan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kampus. Bila dibiarkan terus berlarut-larut, tidak tertutup adanya kemungkinan muncul sikap apatis di kalangan mahasiswa.
Fenomena seperti ini seringkali timbul akibat tidak adanya hubungan harmonis antara mahasiswa dan rektor. Mahasiswa sering merasa aspirasinya tidak didengar dan dianggap. Berangkat dari situ lah aspek aspiratif muncul sebagai salah satu kriteria yang paling banyak diajukan menyangkut rektor ideal. Harapan agar keterlibatan mereka lebih dipertimbangkan dalam pencapaian tujuan bersama.
Dengan kata lain, dua orang perwakilan mahasiswa dalam pilrek tidak cukup untuk mewadahi segala aspirasi dan pemikiran yang dimiliki mahasiswa mengenai rektor. Para mahasiswa tentu memiliki harapan sendiri akan perwujudan rektor yang ideal yang tidak tersentuh oleh kriteria persyaratan formal dari MWA. Selain aspiratif, para mahasiswa mengharapkan munculnya sosok pemimpin yang merakyat. Seseorang yang bijaksana dan dapat mempertimbangkan setiap dampak kecil kebijakan terhadap orang-orang yang dipimpinnya.
Selama ini, kebijakan-kebijakan yang ada di kampus seolah berpusat hanya pada keputusan kalangan atas saja. Tak jarang ada kesan dan perbincangan yang muncul bahwa kebijakan diambil tanpa pertimbangan yang mendalam. Banyak pula mahasiswa yang merasa terbebani bahkan dirugikan oleh kebijakan-kebijakan yang diambil rektor terdahulunya.
Hal-hal seperti itu dijadikan alasan untuk membolehkan adanya sikap tidak peduli pada kondisi kampus. Terbukti, beberapa responden menganggap partisipasi mahasiswa dalam pilrek tidak penting. Alasannya tindakan apapun yang mereka lakukan hanyalah sia-sia. Suatu pandangan mengejutkan yang tidak seharusnya datang dari seorang mahasiswa, sebagai calon praktisi perubahan masa depan. Pesimistis adalah sebuah hambatan bagi setiap kemajuan dan perbaikan.
Maka dari itu, perlu adanya solusi bersama dalam mengentaskan masalah semacam ini. Mengenai pilrek sendiri, ada baiknya bila mahasiswa dilibatkan secara riil. Bukan berarti bahwa sistem pemilihan rektor harus dirubah menyerupai pemilihan umum yang dilakukan dengan pungutan suara. Namun, bisa diwujudkan dengan cara memperbesar porsi hak suara mahasiswa dalam proses pemilihan. Setidaknya setiap fakultas mendapatkan hak untuk mengirim satu perwakilan mahasiswa.
Proses seperti itu mungkin akan memakan waktu yang lebih panjang dan lebih rumit dalam pelaksanaannya. Tetapi, anggap saja itu sebagai sedikit pengorbanan demi terwujudnya suatu keharmonisan dalam proses demokrasi ini. Tidak selayaknya prinsip pragmatis terus-menerus menguasai yang hanya ingin cepat, hanya ingin mendapat keuntungan. Sudah saatnya langkah besar perubahan diambil demi terciptanya kampus yang lebih baik. [Anisatul Muharara, Rifki Fajar]