Jumat (8/4) pagi, Fakultas Filsafat UGM, Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM, dan Penerbit Kanisius menyelenggarakan diskusi bertajuk Pro dan Kontra Nuklir sebagai Energi Terbarukan.Acara dibuka dengan peluncuran buku berjudul Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global oleh Dr. A. Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup periode 2005-2007. Selain Sonny, acara yang bertempat di Auditorium Fakultas Filsafat UGM ini turut menghadirkan Dr. Ir. Tumiran, M.Eng. serta Prof. dr. Hari Kusnanto, Dr.PH. sebagai pembicara.
Dalam diskusi ini, ketiga pembicara sepakat bahwa diperlukan kehati-hatian, komitmen, dan tanggung jawab yang besar dari segenap masyarakat untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.
Kendati nuklir selama ini dianggap sebagai energi alternatif yang menjanjikan, perlu diingat bahwa ilmu dan teknologi bukan semata-mata persoalan teknis. “Kita harus tetap berhati-hati. Ada banyak sumber energi alternatif lain, seperti tenaga arus laut, gelombang laut, biomass,biothermal, geothermal, energi dari udara dan air, juga olahan sampah. Kenapa harus terburu-buru?” seru Sonny. Nuklir hendaknya menjadi sumber energi alternatif terakhir, setelah semua energi pembangkit listrik didayagunakan.
Dosen Filsafat Unika Atmajaya Jakarta itu berpendapat, kepanikan masyarakat terhadap pembangunan PLTN yang digagas oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) mungkin disebabkan oleh kecelakaan yang terjadi pada reaktor nuklir di Fukushima, Jepang akibat tsunami beberapa waktu lalu. “Tentu saja hal itu menjadi tamparan bagi BATAN, yang akan memengaruhi masa depan pembangunan PLTN di Indonesia,” tukas Sonny.
Sebaliknya, Tumiran justru sangat mendukung pembangunan infrastruktur PLTN. Menurutnya, jika pembangunan infrastruktur PLTN di Indonesia tidak segera diupayakan, maka bahan-bahan mentah yang dihasilkan di Indonesia akan diekspor ke luar negeri untuk diolah di sana. Oleh sebab itu, baginya, energi listrik merupakan economic driver. Pembangunan pabrik-pabrik di Indonesia sangat perlu didukung oleh energi listrik yang mencukupi. Tanpanya, industri tidak akan dapat tumbuh dengan baik sehingga akan berdampak pada kekosongan lapangan kerja bagi masyarakat. “Di luar Jawa-Bali, banyak rakyat Indonesia yang tidak dipekerjakan. Sebab, tenaga listrik dari Jawa tidak bisa sampai ke sana,” ujar Dekan Fakultas Teknik UGM itu.
Tumiran menyayangkan penolakan masyarakat terhadap implementasi PLTN di Indonesia. Ia menuturkan, kendati Indonesia memiliki kapasitas listrik sebanyak 240.000 MW, yang dipergunakan selama ini hanya 35.000 MW. Padahal, kapasitas listrik tersebut digunakan oleh 230 juta penduduk Indonesia. “Sementara itu, Jepang dengan 130 juta penduduk dapat mengalokasikan 214.000 MW bagi masyarakatnya. Perekonomian Jepang tumbuh karena infrastruktur listriknya kuat,” jelas Tumiran.
Meskipun demikian, untuk mengimplementasikan PLTN di Indonesia, masih perlu standardisasi tertentu. “Kualitas bahan nuklir, harga yang ekonomis, visi untuk mengupayakan pembangunan perekonomian—terutama dengan mendirikan industri—serta high reliability dari infrastruktur yang dibangun, menjadi bahan pertimbangan” ujar Tumiran.
Bahan pertimbangan lainnya diungkapkan Kusnanto. Dengan slogannya, ‘Kita harus memilih secara sadar’, ia memaparkan biaya yang cukup besar dalam pembangunan infrastruktur dan perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk membangun PLTN di Indonesia. “Perlu waktu yang lama dan biaya yang besar. Inggris saja membangun selama sebelas tahun,” tutur Kepala PSLH itu.
Salah seorang peserta diskusi, Isffa Laela Santito, mahasiswi Teknik Nuklir UGM angkatan 2010, setuju agar pembangunan PLTN dilakukan secepatnya. Kepada Balairung, Isffa berpendapat bahwa industri Indonesia kelak akan membutuhkan sumber energi yang dapat mengimbangi energi geothermal. “Pembangunan PLTN di Indonesia adalah harga mati. Karena mau tidak mau, kelak Indonesia akan menjadi negara industri. Persiapannya akan membutuhkan waktu lama. Apa mau menunggu sampai kehabisan energi, baru menggunakan nuklir?” Isffa mengingatkan. [Michellia]