Senin (4/4), lima hari setelah BEM se-UGM berdemonstrasi menolak KIK, Drs. Haryanto, M.si, Direktur Kemahasiswaan UGM menerima sepucuk surat. Surat bernomor 2111/P/Set.R/2011 tersebut berisi instruksi: Ketua BEM KM UGM, Luthfi Hamzah Husin wajib menyerahkan daftar peserta aksi hari Rabu, 30 Maret 2011, sejumlah 110 mahasiswa.
Lebih lanjut juga disebutkan, dukungan rektorat terhadap BEM KM 2011 ditunda sebelum 110 nama diserahkan. “Ini ancaman,” ujar Luthfi menanggapi isi surat itu. Di sisi lain, ia menganggap terbitnya surat itu sebagai gertakan biasa.
Diwawancarai di tempat berbeda, Pandhuri Jayadi, Ketua BEM MIPA menganggap surat tersebut salah alamat. “Harusnya tidak hanya ditujukan ke BEM KM, karena aksi 30 Maret itu tanggung jawab bersama BEM se-UGM,” tegasnya. Menurut Pandhuri, dimintanya nama 110 peserta aksi oleh rektorat ini tak lazim. “Selama ini, rektorat belum pernah meminta nama-nama demonstran,” jelasnya.
Menurut Haryanto, yang dipermasalahkan rektorat bukan demonstrasinya, melainkan caranya. “Kok bicara sama orang tua seperti itu, seperti bukan didikan kami saja,” ujar Haryanto. Haryanto menjelaskan, 110 mahasiswa yang terkumpul dalam daftar akan diikutkan pencerahan lewat kuliah umum. “Tidak ada sanksi akademis apalagi drop out,” kata Haryanto. Ia pun melanjutkan, sanksi terhadap BEM KM dengan menghentikan dukungan dana itu biasa. “Wajar kan kalau ada anak nakal lalu tidak diberi uang saku oleh orang tuanya,” ujar Haryanto.
Luthfi menegaskan, pihaknya tidak akan menyerahkan nama 110 mahasiswa yang diminta rektorat. “Istana negara saja tak pernah minta daftar nama demonstran,” tutur Luthfi yang beberapa kali berdemo di depan istana negara. Ia menganggap sanksi terhadap BEM KM merupakan bentuk pembekuan secara politik dan pencederaan kebebasan berpendapat di UGM. Isi surat dari rektorat, menurut Luthfi, dapat membelokkan duduk perkara semula. “Tidak substansial. Permasalahan kita bukan 110 mahasiswa yang berdemo, tapi KIK” tandasnya. [Ay, Azhar, Fitria, Ibnu]