“Ruang tamu kami biasa menjadi medan debat teman-teman almarhum (Abdul Rahman Baswedan) yang pemikirannya sama sekali berbeda. Sekalipun datang sebagai tamu, mereka berdebat tanpa basa-basi politis , pun melihat batas usia,” kenang Anies Baswedan, cucu A.R. Baswedan, dalam testimoninya.
Adalah A.R. Baswedan, tokoh Indonesia keturunan Arab yang turut serta ambil bagian dalam proses sejarah politik Indonesia yang dibangun berbagai kelompok multietnis. Sebagai seorang keturunan Arab yang hidup di Indonesia dari tahun 1908 hingga 1986, A.R. Baswedan tak bisa dilepaskan dari konteks perjuangan dalam membentuk Indonesia. Banyak kiprah A.R. Baswedan yang tak bisa lepas dari kenangan sejarawan yang berdiskusi dalam acara “A.R. Baswedan: Sejarah dan Perannya dalam Merajut Ke-Indonesia-an” di University Club UGM (6/4).
Kiprah A.R. Baswedan terlihat melalui Partai Arab Indonesia(PAI). Sebagai seorang keturunan Arab, kala itu memang sangat sulit untuk melebur dengan bangsa pribumi. A.R. Baswedan merasa hal tersebut tidak tepat. Karenanya, PAI tersebut lahir dengan semangat bahwa Indonesia adalah ibu pertiwi keturunan Arab. Bersama rekan-rekan wartawan keturunan Tionghoa, A.R. Baswedan aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia atas dasar persatuan dan keberagaman.
Sebagai seorang jurnalis, ia sangat teliti. ”Idealisme yang diperjuangkannya dituangkan dalam integritas hidup dan karya-karyanya,” papar Prof. Dr. Mudji Sutrisno, keynote speaker yang merupakan Dosen STF Driyakarya Jakarta. “Pandangannya sangat luas, ia memiliki kebiasaan membaca yang begitu luar biasa,” ungkap Drs. Suratmin, pembicara yang juga penulis bukuAbdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya.
Hal itu diperkuat Anies dalam testimoninya,”Kemana pun almarhum pergi, beliau selalu membawa kamera. Setiap kali ada orang yang pernah berbicara dengannya, pasti ada fotonya. Setiap kali ada orang yang pernah berdebat dengannya, pasti beliau punya rekamannya.” Sosoknya yang rela berkorban dan menghargai perbedaan juga tak luput dari diskusi. “Bagi komunitas Arab kala itu, menikah dengan pasangan di luar komunitasnya merupakan hal yang sangat tidak biasa. Tapi beliau tetap melakukannya sebagai bentuk ‘pengorbanannya’ untuk menjadi berbeda di komunitasnya sekaligus menegaskan ke-Indonesian-nya,” papar Suratmin.
Selain itu, dalam kenangan Prof. Dr. Syafii Maarif yang turut hadir sebagai pengisi testimoni, A.R. Baswedan adalah sosok yang tak kenal basa-basi dalam berbagi pandangan. Ia menuturkan, ”Sebagai orang yang lebih senior, ia tidak sungkan untuk berdiskusi dan meminjam buku dari saya.” Hal ini juga diperkuat Anies dengan ceritanya tentang betapa terbukanya beliau untuk berdiskusi dan mendatangi kos-kosan Dr. Anhar Gonggong yang berusia jauh dibawahnya. Anies menggambarkan sosok kakeknya yang tidak melihat usia dalam berbagi perspektif. “Sangat berbeda dengan pemimpin-pemimpin saat ini,”paparnya.
Diskusi yang digelar Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM dengan Yayasan Nation Building sehubungan dengan peringatan 25 tahun wafatnya A.R. Baswedan tersebut ditutup dengan kerinduan yang digambarkan para pembicara tentang A.R. Baswedan, sosok yang sangat dibutuhkan bangsa ini. “A.R. Baswedan mungkin memang bukan anak bangsa kala itu, karena pemikirannya melampaui zaman, dan justru merupakan tuntunan untuk generasi kita kini. Ini tanda-tanda zaman,” ujar Mudji. [Gading]