“Perilaku kriminal adalah ekspresi jiwa pelakunya. Tanpa disadari, pola potongan kejahatan menunjukkan kemarahan pelaku,” ujar AKBP, Drs. Arif Nur Cahyo, M.Si atau yang akrab disapa Yoyok, Psikolog Forensik Polda Metro Jaya. Ia kemudian menunjukkan potongan korban mutilasi dengan jari-jari yang dipotong kecil-kecil di layar LCD. Pelaku kasus pembunuhan tersebut adalah SR, istri korban yang juga merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya. Hal tersebut dipaparkan oleh Yoyok dalam Seminar yang diadakan Jumat (25/10) lalu di gedung G-100 Fakultas Psikologi UGM. Acara tersebut diselenggarakan oleh alumni Fakultas Psikologi ’83 dengan tema Peran Psikologi dalam Berbagai Bidang. Selain Arif, Prof. Dr. Yusti Prabawati, M.Si, Ketua Asosiasi Psikologi Forensik dan Drs. T. A. J Noegroho Yuwastoto, Psikolog TNI AU juga hadir sebagai pembicara.
Dalam acara tersebut, dikupas mengenai peran psikolog dalam kasus-kasus kriminal. Yoyok menerangkan bahwa psikolog forensik dalam kepolisian bertugas, antara lain membuat analisis profil tersangka atau korban untuk menjelaskan kasus dan motifnya. Mereka juga menerjemahkan istilah psikologi agar bisa masuk dalam bahasa hukum. “Misalnya kasus pembunuhan, bahasa hukum hanya punya pembunuhan berencana dan tidak berencana. Psikolog Forensik bertugas menerangkan dinamika, kenapa seseorang bisa melakukan kejahatan seperti itu,” terangnya.
Yusti menambahkan, dalam beberapa kasus, psikolog juga menjadi saksi ahli yang memeriksa kapasitas intelektual dan kondisi mental tersangka. Hal ini menjadi penting di ranah hukum karena dalam keadaan psikologis tertentu, seseorang tidak dapat dikenai hukuman. “Salah satu contoh jika setelah diberi tes IQ ternyata dia mengalami keterbelakangan mental, artinya dia dianggap tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya,” jelasnya.
Selain untuk melakukan analisis, pendampingan juga dilakukan oleh psikolog. Yusti memberi contoh kasus cebongan yang beberapa waktu lalu sempat hangat. Dalam kasus tersebut, saksi yang menyaksikan pembunuhan membutuhkan pendampingan agar mendapatkan data yang maksimal. “Bayangkan saja, mereka baru bangun tidur dan dipaksa melihat rekan satu sel mereka ditembak berlumuran darah. Kondisi traumatis inilah yang membutuhkan teknik pemeriksaan khusus,” tutur Yusti.
Dalam ranah militer, Noegroho menjelaskan bahwa pendampingan juga penting dilakukan kepada anggota militer. Hal ini disebabkan karena lokasi dinas seorang TNI seringkali berpindah-pindah dan terpencil. “Tempat dinas mereka seringkali merupakan tempat yang tidak ingin didatangi orang lain. Kondisi mental mereka juga dipengaruhi keterbatasan fasilitas yang dianggap tidak layak,” ujarnya.
Dari pengalaman yang ia dapatkan selama bertugas, Yoyok menerangkan bahwa pelaku beberapa tindakan kriminal memiliki kesamaan. “Biasanya mereka merasa masa kecilnya terabaikan, dalam artian tidak ada yang mengarahkan,” ujarnya. Melihat hal tersebut, Yusti menambahkan bahwa pencegahan harus kembali pada keluarga yang sehat. “Keluarga menjadi tempat untuk menggali potensi-potensi anak untuk bermasyarakat dengan matang,” imbuhnya.
Hal tersebut menjadi cukup rumit ketika bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah soal TKW yang dinilai menghasilkan devisa negara yang sangat besar. “Tapi yang tidak dipikirkan adalah semakin banyak juga anak-anak yang tidak mendapat kasih sayang ibunya,” tegas Yusti. Ia menambahkan, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya anak TKW yang kemudian menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan.
Selain dari lingkungan dan gen, perilaku kriminal juga dipengaruhi oleh peran media massa. Yusti menuturkan bahwa tahun di mana kasus Rian penjagal dari Jombang mencuat, jumlah kasus mutilasi pun meningkat. Pada kasus SR yang melakukan mutilasi pada korbannya, ia mengaku melakukan hal tersebut karena terinspirasi oleh mutilasi yang dilakukan Rian. “Ada yang disebut dengan modelling. Apa yang dilihat secara terus menerus memberikan sugesti kepada orang lain untuk melakukannya juga,” ujar Yoyok.
Selain itu, pemberitaan acara kriminal yang tayang setiap hari juga dapat menurunkan sensitivitas masyarakat pada kasus-kasus semacam itu. “Misalnya nonton berita kriminal, ada yang mati karena pembunuhan, besoknya ada lagi, ada lagi. Lama-lama akan merasa, ah, biasa, hanya satu orang mati,” terang Yusti. Ia menambahkan, akan lebih baik jika dalam pemberitaan kasus besar, bukan sisi kesadisannya yang terlalu ditonjolkan, namun bagaimana melakukan pencegahan agar kejadian tersebut tidak terulang kembali. [Shiane Anita S.]