Deretan payung berwarna pelangi terlihat sepanjang garis pantai. Menjadi peneduh bagi pengunjung yang mencoba bersembunyi dari teriknya matahari. Setiap hari keramaian pantai diwarnai oleh pengunjung yang bermain layang-layang, mencari ikan kecil, bermain air atau sekadar berfoto-foto. Pantai yang terletak di timur Pantai Sundak, Dusun Ngasem, Desa Tepus, Wonosari, Gunung Kidul ini dikenal masyarakat sebagai Pantai Indrayati.
Pantai Indrayanti dibatasi oleh dua tebing karang besar di sisi timur dan barat. Kumpulan karang-karang kecil menjadi batas antara laut lepas dan pasir pantai. Memecah ombak yang bergemuruh menjadi aliran air yang tenang. Binatang-binatang kecil seperti ikan, kepiting, bintang laut juga bulu babi menjadikan karang tersebut sebagai tempat tinggal.
Sepanjang pantai berjajar gazebo berbentuk hanoi dan berkanopi putih. Terlihat pula penjual jaring kecil, penjual layang-layang yang menerbangkan dagangannya, serta penyewaan payung. Selain itu, tampak pula penginapan pengunjung serta pos penjaga di bibir pantai. Meski padat dengan bangunan, pantai ini masih terlihat hijau dengan adanya pohon-pohon pandan yang menjulang tinggi. Seolah berusaha memayungi seluruh pengunjung pantai dari teriknya sinar matahari.
Nama Indrayanti diambil dari nama restoran dan kafe pertama yang berdiri. Namun sebenarnya, nama yang diberikan pemerintah untuk pantai ini bukanlah Indrayanti, melainkan Pantai Pulang Syawal. Pantai ini masih berada dalam kawasan Sultan Ground yaitu tanah milik Sultan yang dibeli dari masyarakat dimana mereka diberi wewenang untuk memanfaatkannya. Namun karena kafe dan restoran Indrayanti memiliki papan nama yang cukup besar dan mencolok, pantai ini lebih dikenal dengan nama tersebut.
Keberadaan kafe dan restoran Indrayanti sebagai pionir ternyata membawa dampak positif. Karena semenjak kafe tersebut berdiri, popularitas pantai meningkat dan mulai diperhitungkan sebagai salah satu objek wisata. Terlebih dengan munculnya usaha-usaha rumah makan dan penyewaan payung, Pantai Indrayanti menjadi lahan bisnis yang cukup menjanjikan. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Dwi Haryanto selaku pengusaha rumah makan. “Dulu pantai ini diabaikan, bahkan dilirik pun tidak,” ungkapnya.
Seiring dengan naiknya popularitas pantai, jumlah orang yang berkunjung pun meningkat. Hampir setiap hari mereka memadati pantai dengan berbagai aktivitas. Ditengah kepadatan tersebut, terlihat beberapa orang mengenakan seragam berwarna kuning dengan lengan kombinasi biru. Salah satunya Kasno. Ia adalah salah satu warga yang menawarkan jasa penyewaan payung serta penjualan jaring. Saat hari libur sekolah, terkadang ia juga ditemani anak lelakinya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. Sebelumnya, Kasno bekerja sebagai seorang petani. Ia beralih profesi karena pendapatan yang diperoleh dari bertani tidak stabil. Hal ini dikarenakan tanah yang kurang subur sehingga panen tidak maksimal. “Bertani pun biasanya hanya saat musim hujan. Kalau musim kemarau ya nganggur,” tuturnya. Kini, setelah bekerja di pantai, ia mengaku lebih tercukupi kebutuhannya. “Pendapatan sehari-hari sekitar Rp. 20.000 – Rp. 40.000, tapi kalau hari libur bisa sampai Rp. 240.000,” tambah Kasno.
Meskipun saat ini dalam segi finansial lebih sejahtera, Kasno juga menuturkan bahwa terkadang masih ada kendala dalam menjalankan usahanya. Salah satunya adalah beberapa pengunjung yang tidak mau membayar setelah memakai jasanya. “Kadang ada beberapa orang yang memakai payung tapi nggak mau bayar,” keluhnya.
Kasno merupakan salah satu pekerja yang tergabung dalam Komunitas Oesaha Masyarakat Pantai Kawasan Indrayati (KOMPAK). Komunitas yang memiliki 137 anggota ini berdiri pada tahun 2011 lalu. Anggota komunitas ini merupakan para penjaja barang dan jasa yang awalnya berprofesi sebagai petani dan nelayan. Barang dan jasa yang ditawarakan antara lain kaca mata, topi, jaring kecil, penyewaan payung serta usaha rumah makan. Ete Suyono, bendahara KOMPAK sekaligus penjual kaca mata dan topi, menjelaskan, “KOMPAK adalah wadah bagi masyarakat lokal yang mencari nafkah di Pantai Indrayanti.” Ia juga menerangkan bahwa tujuan dibentuknya komunitas ini adalah untuk mengatur usaha-usaha masyarakat agar tidak terjadi kisruh di antara pengusaha maupun dengan pihak luar.
Komunitas ini dibentuk agar usaha-usaha warga sekitar dapat terorganisir dengan baik serta adil. Misalnya, payung-payung yang disewakan bukanlah milik komunitas, melainkan milik pribadi. Namun jumlah payung dibatasi agar penghasilan yang didapat merata dan tidak menimbulkan kecemburuan. Selain itu, kontrol juga terlihat dari kartu anggota yang harus dimiliki oleh setiap anggota KOMPAK. Kartu tersebut berfungsi sebagai tanda pengenal dan bukti bahwa orang tersebut telah tergabung dengan komunitas.
Meski bisnis ini terbilang menjanjikan, saat ini masyarakat sudah tidak bisa mendaftar menjadi anggota. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan usaha yang ada. Haryanto, yang juga menjabat sebagai wakil ketua KOMPAK menyatakan, “Karena luas pantai yang terbatas, maka kami harus membatasi jumlah pekerja yang mendaftar.”
Pengelolaan yang baik dari pihak pengelola tidak didukung dengan tingginya kesadaran pengunjung mengenai sampah. Hal tersebut terlihat dari tumpukan sampah yang terlihat di sepanjang pantai. Sampah-sampah tersebut sebagian besar merupakan kotak-kotak kardus bekas makanan yang dibawa oleh pengunjung. “Untuk menanggulangi masalah tersebut, setiap hari Jumat seluruh anggota KOMPAK berkerja bakti membersihkan sampah-sampah di kawasan pantai,” jelas Suyono.
Haryanto membenarkan bahwa kendala utama saat ini memang sampah. Ia menuturkan bahwa tempat pembuangan memang sudah ada, namun masih terbatas. Sedangkan sampah-sampah tersebut semakin banyak dan terus menumpuk. “Pengangkut sampah memang sudah ada, tapi tempat pembuangan tetap saja kurang,” imbuhnya.
Ia melanjutkan bahwa evaluasi mingguan selalu diadakan setelah kerja bakti. Hal yang dievaluasi adalah kerja masyarakat tiap minggunya. Sedangkan pertemuan rutin dilakukan pada hari Jumat Pon. “Biasanya yang dibicarakan seputar kendala-kendala teknis maupun peraturan-peraturan yang harus dipatuhi tiap anggota,” tambahnya.
Haryanto menerangkan bahwa komunitas ini bersifat mandiri, begitu juga terkait masalah pengelolaan sampah. “Kami belum memiliki sumberdaya dan dana yang mencukupi dalam pengolahan sampah,” ungkap Haryanto. Ia juga menambahkan bahwa KOMPAK berdiri atas inisiatif warga sendiri, termasuk modal dan biaya usaha. Meskipun Pantai Indrayanti menjadi objek wisata yang berpotensi tinggi, pengembangan hanya dilakukan secara mandiri. Sejauh ini pemerintah setempat belum memberikan bantuan apapun kepada mereka. [Dian Puspita, Syarif Himada, Dani Izza]