Akhir tahun ini, tak jarang masyarakat perkotaan mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan sekadar untuk memburu sale dan diskon barang-barang dengan brandidaman. Bukan hanya pakaian atau aksesoris, potongan harga untuk segala komoditas yang membantu meningkatkan penampilan dari rambut hingga mata kaki pun kian diburu. Pada hari-hari biasa, bahkan penggunaan barang-barang dengan brand tertentu sudah latah dianggap lazim.
Khalayak (mass market) zaman ini memang begitu mudah terpancing oleh iklan besar-besaran (mass advertising) dari ragam produk yang dijual secara massal (mass product). Apresiasi berlebihan terhadap iklan ini utamanya terjadi pada kalangan remaja. Berkat iklan, penggunaan perlengkapan mandi, tata rias kecantikan, aksesoris dan gaya pakaian yang mengikuti ‘musim’ di kalangan remaja hampir selalu mewabah.
Iklan adalah bentuk komunikasi pemasaran untuk memberi kesan baik mengenai produk tertentu. Sementara itu, sebagian besar remaja (16-18 tahun) dinilai belum punya banyak pengalaman terhadap apa yang ditayangkan media. “Sekarang ini, penting untuk melihat sejauh mana masyarakat, terutama remaja Yogyakarta, mengapresiasi media,” ujar kepala Komisi Penyiaran Indonesia Daerah—DIY (KPID DIY), S. Rahmat M. Arifin, S.Si..
Bagi para remaja itu, mengikuti perkembangan zaman dengan membeli produk-produk bermerk dapat meningkatkan prestise di kalangan seusia. Dengan demikian, mereka merasa mampu mengejar cepatnya laju modernitas. Padahal, tujuan utama iklan adalah memangkas hubungan subjek-objek konsumsi. “Ketika hubungan terputus, masyarakat hanya bisa menjadi konsumen, menjadi objek, tidak bisa memproduksi, itu ciri masyarakat kosmopolitan, bukan masyarakat modern.” Ungkap panelis KPID DIY, Ahmad Ghozi Nurul Islami, S.Fil.
Menurut Ahmad, masyarakat modern menuntut ketersambungan antara subyek dengan obyek konsumsi. Seberapa banyak yang dikonsumsi semestinya sejalan dengan apa yang kemudian diproduksi. Itulah yang tidak ia temukan pada pola konsumsi masyarakat perkotaan dewasa ini. “Selama ini kita menganggap iklan adalah sesuatu yang biasa. Masak bisa iklan niaga yang semestinya cuma mendapat jatah maksimal 20% untuk ditayangkan, di bulan Ramadhan menyentuh 50%. Kan, artinya ada masyarakat yang dijarah cuma untuk kelangsungan usaha media.”
Oleh karenanya, literasi iklan, yakni kemampuan mengenali dan memahami apa yang terkandung dalam iklan, sudah barang tentu menjadi penting. Untuk itu, menurut representatif Rumah Sinema, Firly Anisa, M.A., masyarakat perlu memahami logika konstruksi iklan. Dilatarbelakangi tujuan tersebut, tim Rumah Sinema mengadakan penelitian untuk mengukur kemampuan penyerapan iklan pada murid SMA/sederajat di Yogyakarta. Tim peneliti adalah Dyna Herlina Suwarto, Kurniawan Adi Saputro, Prastowo Ragawi, dan Nurkusuma Hidayati.
Hasil penelitian didiseminasikan pada Rabu (28/12) siang, bertempat di Plaza Informasi KPID DIY, di mana tim Rumah Sinema bekerja sama dengan KPID DIY menyelenggarakan seminar bertajuk Pengembangan dan Pengujian Skala Literasi Iklan. Dalam kesempatan ini, dijelaskan mengenai tingkat literasi masyarakat Yogyakarta dan dilakukan pengenalan ‘kuesioner literasi iklan’ yang dapat digunakan kembali oleh peneliti yang berminat. Kuesioner tersebut dapat dipergunakan sebagai alat ukur untuk mengetes tingkat literasi iklan
Menurut tim peneliti, Dyna dan Prastowo, kuesioner tersebut dapat dipergunakan kembali unuk penelitian-penelitian tingkat literasi iklandi daerah lain lantaran ia berbentuk penelitian kuantitatif. “Penelitian kuantitatif lebih mudah direplikasi, jadi bisa digunakan dalam situasi berbeda,” tutur Dyna. Dia menambahkan, pembentukan kuesioner dilakukan dalam tiga tahap, yakni pengembangan kuesioner dan telaah ahli, uji coba kuesioner, dan pengujian kuesioner.
Tahap pengembangan kuesioner dilandasi oleh teori dari Malmelin (2010) mengenai empat dimensi dalam variabel literasi iklan. Keempat dimensi tersebut—yakni literasi informasi, retorika, estetika, dan promosi—digunakan untuk memahami secara utuh mengapa seseorang membuat iklan dan apa yang dikandung di dalam iklan tersebut. Berlatar belakang teori Malmelin tersebut, dibuatlah 47 pertanyaan yang lantas diperiksa oleh ahli (Rahayu, S.IP, M.Si dari UGM dan Hendriyani, S.Sos, M.Si. dari UI); baru setelah diperoleh masukan, 50 pertanyaan untuk kuesioner lantas digunakan dalam tahap uji coba kuesioner.
Kuesioner diujicobakan kepada 235 siswa, pemilihan responden dilakukan secara acak dari 18 SMA. “Namun yang lengkap terisi dan dianalisis sebanyak 185,” ujar Dyna. 185 responden tersebut kemudian diklasifikan berdasarkan kelompok Media Habbit Responden yang mengukur durasi akses telvisi, internet, majalah, koran, dan bioskop para remaja di Yogyakarta tersebut dan berdasarkan kelompok Uang Saku Belanja Responden yang mengelompokan mereka ke dalam kategori uang saku dan uang belanja dengan penggunaan mínimum dan maksimum.
Untuk mendapat sampel uji yang lebih kuat, dilakukan pengujian lagi dengan metode stratified random sampling. Metode ini lebih efisien karena hanya memerlukan sedikit sampel data, asalkan peneliti mendapat frame sample yang tepat. 560 nama yang kemudian terkumpul melalui website www.yogyakarta.dapodik.org lantas diolah dengan SPSS 16. Setelah data dianalisis, maka diperolehlah tingkat literasi iklan pada pelajar SMA/sederajat kota Yogyakarta.
Menurut hasil penelitian, remaja Yogyakarta paling banyak mengonsumsi TV dan internet. Berdasarkan dimensi literasi iklan yang telah ditentukan, yakni berdasarkan retorika, promosi, informasi, estetika. Didapatkan data 40,4% pelajar SMA/sederajat Yogyakarta memiliki literasi yang tinggi, 28,5% sedang, dan 30,9% rendah.
Rendahnya literasi iklan disinyalir sebagai respon banyaknya remaja yang masih kurang memahami manipulasi visual yang terkandung dalam suatu iklan; karenanya rata-rata dimensi literasi estetika mereka sedang (40,4%) dan rendah (28,2%). Selain itu, didapatkan hasil bahwa remaja laki-laki (44,4%) memiliki tingkat literasi lebih tinggi daripada remaja perempuan (36,2%). “Mereka belum banyak memahami kalau iklan-iklan kecantikan itu dibuat dengan artisnya barangkali perlu dipingit seminggu dan di-bleeching kulit, bahkan dalam satu kali syutingnya bisa saja menghabiskan Rp 20 juta untuk make up,” ungkap Dyna.
Selain itu, menurut Ahmad, hal itu terjadi karena kebanyakan yang disasar pengiklan adalah kaum perempuan. Berdasarkan dimensi literasi retorika, iklan menyebabkan masyarakat memiliki kebutuhan palsu. Laki-laki lebih literate daripada perempuan karena target iklan memang lebih ditujukan kepada wanita. Baginya, iklan membantu wanita untuk menjajakan tubuh dengan pemanfaatan produk. Sementara itu, iklan yang ditargetkan untuk pria lebih menekankan pada kesadaran diri (kejantanan dan ketangkasan). “Perlu dilihat bagaimana logika media semacam ini. Untuk menghindari, perlu ada kesadaran literasi, pengetahuan atas konten media dan durasi, serta kesadaran atas media.” Ahmad memberi solusi.
Senada dengan Ahmad, Dyna merekomendasikan agar hasil penelitian dapat digunakan untuk mendorong meneruskan penelitian dan pengembangan program literasi iklan, terutama menyoal determinan dan konsekuensi dari literasi iklan. Selain itu, sekolah-sekolah yang sudah pernah menjadi target uji coba diharapkan dapat menyelenggarakan program tandingan. “Bisa membuat program literasi iklan di sekolah dengan mendatangkan pembuat iklan, bisa dengan menjelaskan manipulasi apa yang mereka lakukan, datangkan dua orang yakni copywriter danvisual,” pungkasnya.
[Dewi Kharisma Michellia]