Persoalan pasca bencana erupsi Merapi 2010 memang bukan hal sepele. Hingga kini, 2600 penduduk Cangkringan masih hidup dishelter tanpa kepastian masa depan yang jelas. Paling tidak telah tercatat sembilan padukuhan yang masuk dalam kawasan rawan bencana (KRB) Merapi 3 yang riskan untuk dihuni. Lantas pemerintah pun mengusulkan untuk memfungsikan perkampungan yang masuk dalam KRB 3 menjadi hutan lindung. Rencananya warga akan direlokasi ke tempat yang aman, namun sampai saat ini daerah relokasi pun masih belum jelas.
Relokasi memang menjadi isu hangat bagi masyarakat korban bencana Merapi di Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan. Rundingan antara pemerintah dan warga pun kerap dilakukan, salah satunya oleh Meutia Hatta Swasono, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, bersama masyarakat lereng Merapi pada Jumat siang (8/7). Acara yang dihadiri oleh Musyawarah Rakyat Kawasan Merapi dan Yuni Rahayu, Wakil Bupati Sleman, ini berlangsung di Mushola Al Amin, lebih dikenal sebagai Mushola Mbah Maridjan, Dusun Kinahrejo Padukukuhan Pelemsari Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan.
Penyerapan aspirasi diawali oleh penuturan KH Abdul Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede, tentang permasalahan warga lereng Merapi. Beliau menyebutkan walaupun masyarakat lereng Merapi siap direlokasi, mereka tetap mengharapkan kepastian tentang tanah milik. Salah satu warga Pelemsari juga menegaskan bahwa tanah di sana bukanlah sultan ground dan tanah Dinas Kehutanan tetapi tanah milik warga. “Warga memang ingin mencari tempat aman dan nyaman tapi semua ingin kepastian tanah terlebih dahulu,” tambah Bambang, anggota Konsorsium Penghijauan Area Lereng Merapi (PALM).
Selain membincangkan isu relokasi masyarakat lereng Merapi Sleman, pertemuan ini juga membahas permasalahan masyarakat di Magelang. Dampak yang berbeda juga dialami oleh masyarakat sepanjang Kali Putih. Khafif, salah satu warga Jumoyo, menjelaskan bahwa persoalan tanah di daerahnya diakibatkan oleh aliran baru Kali Putih yang menuju perkampungan warga. “Warga pun kebingungan dengan status tanah yang semula pekarangan berubah menjadi aliran sungai,” ungkapnya. Bahkan warga Desa Blongkeng Kecamatan Jumoyo juga dihadapkan pada persoalan lain ketika 25 warganya didatangi oleh dept collector. Khafif mengharapkan agar pemerintah mampu menindak persoalan ini.
Hingga kini masyarakat sangat mengharapkan adanya keseriusan pemerintah dalam menangani korban bencana erupsi Merapi 2010. Saat ini masyarakat korban yang tinggal dishelter masih kebingungan untuk mengakses penghasilan, padahal bantuan untuk mereka mulai menipis. “Puasa korban erupsi Merapi ini sudah terlampau panjang dan belum ada kepastian sampai kapan perekonomian warga akan pulih,”ungkap Rendra dari Konsorsium PALM. Namun sangat disayangkan dalam pertemuan singkat ini Meutia Hatta dan Yuni Rahayu sedikit memberi pesan, padahal masyarakat masih menantikan gerak pemerintah untuk penanganan dampak bencana Merapi 2010. [Ciptaningrat Larastiti]