Jurnalisme menjadi topik seru dalam diskusi dan bedah buku yang diadakan Lembaga Pers Mahasiswa Keadilan, Selasa (8/3) lalu.Antologi A9ama Saya Adalah Jurnalismedipilih sebagai stimulus utama diskusi. Acara yang bertema Membedah Persoalan Mutu Jurnalisme di Indonesia ini merupakan bagian dari rangkaian agenda Keadilan Fair. Sang penulis buku, Andreas Harsono, dipatok sebagai pendedah utama. Puluhan pengunjung dari berbagai kalangan hadir dalam helatan di Ruang Audiovisual Lantai III Fakultas Hukum UII pagi itu.
Pemaparan terkait isi buku A9ama Saya Adalah Jurnalisme oleh Andreas menjadi topik awal obrolan. Columbia Graduate School of Journalism, seperti kata Andreas, menjadi patokan pembagian bab-bab dalam bukunya. Secara berurutan: laku wartawan, penulisan, dinamika ruang redaksi, dan peliputan yang merupakan standar dasar pembelajaran jurnalisme, tercantum dalam antologinya. Saat pembahasan menyentuh kepenulisan Andreas menegaskan pentingnya penulisan yang indah dan tepat. “Tugas jurnalisme adalah membuat berita yang relevan jadi memikat dan hal yang memikat menjadi relevan,” ujar Andreas.
Perbincangan tentang arus informasi di dunia maya menjadi pokok bahasan selanjutnya. Menyitir perkataan Bill Kovach, Andreas menyatakan bahwa cara orang sekarang mendapatkan informasi sudah berubah dari lean back ke lean forward. Orang tidak lagi mengonsumsi informasi lewat layar televisi melainkan layar komputer. “Kita sekarang cenderung lebih sering mendapatkan informasi dari wall Facebook teman kita, daripada berita dari koran maupun televisi,” tambah Andreas.
Derasnya arus informasi pun disinggung Andreas. Dunia maya, kata Andreas, memungkinkan kita untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen informasi. ”Buku ini (A9ama Saya Adalah Jurnalisme) saja adalah antologi yang berisi 34 artikel dari 600 postingsaya di mailing list PANTAU,” paparnya.
Selepas uraian singkat tentang A9ama Saya Adalah Jurnalisme sesi berikutnya diisi tanya jawab. Salah satu pertanyaan yang menyoal objektifitas dan independensi dijawab Andreas, dengan lantang. “Pakailah background (suku, agama, ras, dll.) untuk memperkaya liputan kau, yang tidak boleh adalah, ketika background itu mendikte kau,” pungkas jurnalis berkacamata Prada ini. [Ape]