Sumbangan buruh terhadap Product Domestic Bruto sangat besar. Sayangnya kesejahteraan mereka kurang diperhatikan pemerintah dan perusahaan. “Berdasarkan survey Perhimpunan Solidaritas Buruh (PSB), biaya hidup layak di Bantul dan Sleman sebesar Rp 1.400.000,00, tetapi UMR yang diterima pekerja hanya Rp 800.000,00,” ungkap Julie N Nugroho, Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Serikat Buruh (PSB) dalam diskusi publik “Buruh dan Keadilan Dalam Perspektif Pancasila”. Acara ini diadakan Persekutuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) di Wisma Mahasiswa Katholik, Sabtu (5/3).
Lebih lanjut Julie menjelaskan negara harus memperhatikan realitas pekerja. “Kesejahteraan pekerja telah termaktub dalam pembukaan UUD 45 dan Pancasila sila 5,” tambah alumni Universitas Islam Indonesia ini. Sedangkan menurut Rudi HB Daman dari Serikat Buruh Independen, payung regulasi yang ada tidak bisa menjamin kesejahteraan buruh. Terlihat dari revisi UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang terlalu memihak pemilik modal. Dalam revisi itu turut berperan kalangan intelektual antara lain dari UGM, UI, Universitas Brawijaya, dan Universitas Hasannudin. “Kaum intelektual menjadi corong penguasa,” jelasnya.
Rudi juga berpesan kepada mahasiswa agar mempunyai konsep-konsep ilmiah yang berpihak kepada rakyat. Untuk itu mahasiswa harus memahami pokok-pokok permasalahan sosial. “Juga harus berani bersatu untuk melepaskan diri dari jerat penguasa dan kapitalis,” imbuhnya.
Sebenarnya negara mempunyai peran besar dalam mediasi buruh dan industri. “Dalam Hubungan Industrial Pancasila (HIP), buruh dan industri adalah mitra,” jelas Ari Hernawan, Dosen Fakultas Hukum UGM. Untuk menerapkan HIP dibutuhkan peran serta negara sebagai mediator. Namun hal ini sulit diterapkan karena negara juga mempunyai kepentingan dalam mengelola hubungan industrial. Ari memaparkan, Indonesia saat ini masih berparadigmadevelopmentalism, dengan pertumbuhan ekonomi sebagai basis utama. Sedangkan dunia industri paling kontributif terhadap perkembangan ekonomi. “Jadi wajar bila regulasi yang ada tidak memihak kaum buruh,” imbuhnya. Melalui regulasi tersebut, buruh dibutakan secara politis. Agar tidak terjadi gejolak sosial, karena buruh juga merupakan agen perubahan.
Diskusi ini berjalan menarik. Peserta dengan antusias menanggapi dan bertanya kepada pembicara. Salah satu tanggapan menarik diutarakan oleh Guntur Naraya. Menurutnya, perusahaan tidak hanya pelit menggaji pekerja, tetapi juga membohongi publik dengan program Corporate Social Responsibility (CSR). Keuntungan perusahaan yang dialokasikan untuk CSR hanya 2,5 %. Sedangkan citra perusahaan dapat terangkat secara signifikan. “Ironisnya para pegiat CSR kebanyakan alumni UGM yang notabene kampus kerakyatan,” tukasnya.
Ketua PMKRI cabang Yogyakarta, Luciana Bintang Siregar mengharapkan, acara ini dapat menggugah kesadaran mahasiswa terhadap realitas sosial. Menurutnya mahasiswa saat ini lebih banyak yang memilih bersikap pragmatis dan apatis. “Padahal kita (mahasiswa-red) adalah kaum intelektual yang sangat dinanti kontribusinya terhadap masyarakat,” ungkapnya.(Didik)