Mahasiswa sekarang banyak yang heran ketika masih harus mengambil mata kuliah Pancasila di bangku perkuliahan. Sila Pancasila satu persatu dipereteli.
“Dari SD sampai kuliah, masih aja ada Pancasila,” ungkap Djoko Pitoyo, peneliti Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM yang juga dosen Pancasila, menirukan mahasiswanya mengeluhkan kuliah Pancasila. Hal itu diungkapkan dalam Diskusi Kebangsaan bertajuk Impian Pemuda Indonesia, Jumat (21/01) siang di ruangan baru PSP Bhinneka Tunggal Ika. Djoko menambahkan, banyak permasalahan mendasar kebangsaan yang menjadi tantangan pemuda, seperti menjauhnya nilai-nilai Pancasila dari kehidupan pemuda itu sendiri.
Selain Djoko Pitoyo, diskusi yang diselenggarakan oleh PSP bekerja sama dengan Paguyupan Kebangsaan Jakarta juga menghadirkan Drs. Pitoyo, M. A. dari Paguyupan Kebangsaan Jakarta, perwakilan BEM KM UGM, dan Bintar Lulus Pradipta dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) sebagai pemantik. Senada dengan Djoko, Drs. Pitoyo menambahkan, sila-sila Pancasila memang sedang dipereteli satu persatu. “Dari sila keempat, permusyawaratan, lalu sila ketiga semangat persatuan,” ungkap Drs. Pitoyo.
Semangat permusyawaratan digerus oleh demokrasi liberal a la Barat (pemilihan langsung) yang menghasilkan politik uang di berbagai level pemilihan pemimpin. Sementara semangat persatuan dilibas oleh kepentingan yang cenderung bersifat individual.
Bintar mengungkapkan, impian pemuda sekarang juga lebih mengedepankan individualistik. “Mengalahkan impian persatuan-kebangsaan,” katanya. Menyanggah pandangan perwakilan BEM KM yang menilai impian pemuda Indonesia tidak konkret sebagaimana impian negara-negara maju yang berorientasi industrialisasi, Bintar mengungkapkan bahwa sejatinya impian Indonesia itu konkret, yakni sila kelima Pancasila: semangat keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, sebagaimana diungkapkan Drs. Pitoyo, impian tersebut lantas kabur setelah sila keempat dan ketiga Pancasila diingkari.
Secara tidak langsung, peserta diskusi Elias dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Yogyakarta mengungkapkan bahwa semangat persatuan masih terhalang oleh kepentingan identitas kedaerahaan yang mengalahkan semangat intelektualitas. “Mari kita tanggalkan identitas Ambon, Irian, Jawa dalam membangun impian kebangsaan,” tuturnya.
Terlepas dari itu semua, meskipun terinterupsi oleh gemuruh petir dibarengi guyuran hujan deras, ruang Bhinneka Tunggal Ika yang berukuran kira-kira 4×8 meter dipenuhi oleh puluhan peserta pemuda lintas generasi dari berbagai organisasi, seperti Paguyupan Kebangsaan Jakarta, Resimen Mahasiswa, Keluarga Mahasiswa Buddhis, Senat Mahasiswa Stipper AMPTA, GMKI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Forum Pemuda Nusantara, Asrama Mahasiswa Sulawesi Selatan, dan Pemuda Pelopor Yogyakarta. Membeludaknya peserta diskusi terbatas ini mengyisyaratkan bahwa pemuda Indonesia masih bersemangat untuk membangun mimpi bersama di tengah derasnya arus glolabisasi. [Udin]