Berbicara soal negara, berarti berbicara juga masalah wilayah dan kekuasaan yang tercermin dalam tatanan perundangannya. Ketika berbicara tentang eksistensi Yogyakarta pun, konteks sejarah tak bisa dilepaskan. Demikian tulis BSW. Adjikoesoemo dalam salah satu magnum opus-nya âJogja Gate: Pengkhianatan terhadap HB IX dan PA VIIIâ yang dirilis pada Juli 2012. Pria yang konon merupakan keturunan Pangeran Diponegoro ini didapuk sebagai pembicara dalam diskusi yang dihelat BPPM BALAIRUNG pada Jumat (21/9).
Selain berbicara ikhwal sejarah pertanahan di Yogyakarta, alumni Fakultas Filsafat UGM ini juga menyinggung Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan (UUK) Yogyakarta. âHukum dibuat untuk âmemenangkanâ rakyat, namun ketika hukum tersebut justru melahirkan konflik yang beragam, maka ia tidak akan panjang umur. UUK ini salah satu contoh konkretnya,â tegas Adjikoesoemo.
Pernyataan itu diamini Kus Sri Antoro, pembicara kedua yang juga merupakan peneliti di Sekolah Tinggi Pertanahan (STPN) Yogyakarta. âUUK hanya menambah daftar panjang dualisme hukum agraria,â ujarnya. Di samping itu, UUK juga overlapping dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pasal 33 ayat (3).
UUPA menghapus hubungan agraria yang bersifat kolonial dan feodal dengan nasionalisasi aset tanah dan badan usaha agraria. Selain itu UUPA juga membedakan perlakuan terhadap hubungan agraria yang bersumber pada hukum adat dan feodalisme. âNamun yang membuat saya bertanya-tanya, mengapa Kasultanan dan Pakualaman tetap  ngotot kalau tanah di Yogyakarta itu kepunyaan mereka? Padahal jelas-jelas, mereka tak lagi punya akta notaris maupun setifikat kepemilikan seperti warga Kulon Progo misalnya? Pun jika dikaji, Yogyakarta tidak bisa disebut sebagai tanah adat. Sekarang bertambah rumit dengan disahkannya UUK,â ujar Kus.
Menurut Adjikoesoemo, rupanya ada sejarah yang berusaha ditutup-tutupi kepada publik. Sejarah Kasultanan Yogyakarta bermula dari Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 yang memilah Mataram menjadi dua kerajaan baru: Surakarta dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian Giyanti yang diinisiasi Vereegnigde Oostindische Compagni (VOC) ini sekaligus memberi label vazal koninkrijk (negara bagian) di bawah payung pemerintahan penjajah. Status ini sudah melekat sejak zaman pendudukan VOC sampai VOC dibubarkan tanggal 31 Desember 1799. Selanjutnya, kekuasaan VOC diambil alih haknya oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian Hindia Perancis, India Timur/ EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda, dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang.
âKedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/ kontrak politik yang dibuat oleh negara induk bersama vazal koninkrijk,â ungkap Adjikoesoemo. Berarti bisa dipahami, secara politik status vazal koninkrijk yang melekat pada Kasultanan dan Pakualaman mempertegas bahwa Yogyakarta dulunya adalah negara bagian yang tunduk pada pemerintahan Hindia Belanda. âMakanya salah kaprah jika Sultan Hamengkubuwono X mengklaim Yogyakarta sejak dulu adalah negara merdeka, pembohong dia,â tambahnya. Menurut Adjikoesoemo, bahkan ketika Belanda berhasil ditumbangkan oleh Jepang pada tahun 1942, praktis Yogyakarta menjadi hak pemerintah kolonial Jepang dan tidak bisa dikatakan sebagai negara merdeka.
Saat proklamasi Indonesia diperdendangkan tahun 1945, Sultan Hamengkubuwono IX lantas mengumpulkan seratus tokoh masyarakat Yogyakarta untuk bermusyawarah. Hasilnya adalah, Yogyakarta akan bergabung dengan Republik Indonesia. âMenilik fakta sejarah tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan kalau pihak keraton mestinya tidak bisa mengklaim tanah Kulon Progo yang merupakan tanah negara Indonesia itu sebagai kepunyaannya,â timpal Kus. Namun sekarang yang terjadi justru sebaliknya. âKeraton yang merasa dapat angin segar setelah UUK diketok palu jadi bertingkah seenaknya sendiri. Kalau sudah begitu, apa bedanya dengan negara dalam negara?â ujar Kus gusar. Di sisi lain negara yang diharapkan punya peran besar, justru tidak terdengar gaungnya. âYa, hari ini tidak lagi ada negara. Yang ada hanya koorporasi yang menunggangi alat-alat kekuasaan,â ujar Kus.
Lantas pertanyaan besarnya kemudian, bagaimana keberpihakan kaum intelektual di tengah kemelut konflik agraria tersebut? Kalau Adjikoesoemo sudah terlanjur pesimis dengan para intelektual, lain halnya dengan Kus. Ia masih menyimpan secercah harap pada kaum intelektual. âKalau sudah jenuh dengan segala kebohongan dan bualan pihak Keraton, lekas melawan! Kalau perlu, kaum intelektual harus bunuh diri kelas,â saran Kus. Menurut alumni Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, satu-satunya solusi yang paling masuk akal bukanlah win-win solution, tapi semuanya harus melawan. âSolidaritas tanpa batas kuncinya,â tambah Kus.
Namun menurut Widodo, anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo, semua stratifikasi kelas tidak terlalu penting buat para petani. âSemua orang butuh ruang untuk hidup dan ketika ruang tersebut dirampas maka petani akan berontak. Nah, kalau ada yang mau tulus berjuang bersama dari kelas manapun, kami lapang menerima,â ujar Widodo. Ketika disinggung soal strategi politik selanjutnya, ia tidak ingin terlalu memusingkan. âYang penting bisa bertani. Kalau tanah dirampas, cangkul dan arit kami yang berbicara,â pungkas Widodo. (Purnama Ayu Rizky)