BPPM Balairung menggelar Diskusi Publik bertajuk Toleransi Keberagaman dan Hak yang Tertindas Kaum Minoritas di Fakultas Hukum UGM, Kamis (20/9). Diskusi ini merupakan satu dari dua diskusi yang diadakan dalam roadshow yang menjadi rangkaianpendaftaran terbuka awak BPPM Balairung periode 2012/2013.Upaya menghidupi keberagaman menjadi tema besar pada penerimaan awak tahun ini lantaran pemberitaan media belakangan ini banyak menyoroti konflik SARA yang terjadi di Indonesia.
Windu Wahyudi Jusuf, mahasiswa CRCS UGM, mengambil contoh kekerasan yang terjadi di Sampang, Madura dalam penjelasannya.Menurutnya,kekerasan komunal di sana terjadi lantaran faktor pengkafiran olehkelompok Islam Syiah. Polanya, pada kasus itu, keberagaman yang terjadi di masyarakat direduksi menjadi konflik, di mana beberapa pihak memobilisasi warga untuk melakukan pengkafiran. Hal ini berlanjut pada proses pengucilan warga. Pengucilan menjadi mungkin karena jarangnya pembicaraan perbedaan secara dialogis, yang dalam istilah Windu disebut Retorika SARA. “Sejak dulu kita sering menghindari pembicaraanstereotypes. Retorika dialog aktivis itujadimentah. Bagaimana mau dialog jika sudah dikafirkan?” ujarnya.
Toleransi dan dialog yang berkembang sering bukan atas dasar pemahaman, melainkan kekuasaan dan kekuatan politis. Windu juga menilai aparatus negara tidak bisa menjaga keamanan. Masyarakat minoritas menjadi pihak yang sering disalahkan. Jika tidak bisa menyesuaikan dengan mayoritas, pilihan relokasi pun mesti ditempuh. Windu menganalogikannya sebagai logic apartheid, “Polanya begitu. Mereka baru bisa berdamai kalau salah satu pindah agama atau salah satu pindah tempat.”
Sementara itu, dosen jurusan Sastra Indonesia UGM, Drs. Aprinus Salam, M. Hum., menggunakan pendekatan poskolonial dalam melihat permasalahan ini. “Perilaku rasis itu konstruksi kolonial,” ujarnya. Menurut Aprinus, hampir tidak ada informasi yang menerangkan masyarakat Indonesia intoleran.Perubahan sikap toleransi masyarakat Melayu bisa jadi disebabkan oleh intervensi penjajahan melalui politik pemecah belah.
©Nawang Wulan
Politik pemecah belah itu diterapkan secara berbeda di seluruh Indonesia. Pada zamannya, masyarakat di daerahnya memanfaatkan manipulasi agama untuk melawan penjajah. Hal ini berakibat pada bermunculannya gap tingkat intoleransi di tiap daerah dan berdampak panjang hingga sekarang. Pada rezim Soeharto, proses dialog perbedaan tersebut ditekan sedemikian. Baru setelah era ’98, masyarakat terbebas dari tekanan.“Itulah yang menyebabkan konteks konflik menjadi berbeda tahun-tahun belakangan ini,” ungkapnya.
Perilaku rasis yang berkembang pada rezim Orde Baru kemudian memonopoli peristiwa-peristiwa besar di Indonesia. Aprinus menggunakan pendekatan ‘aku dan peristiwa’. Menurutnya, hasrat akan identitas inilah yang memicu masyarakat untuk menciptakan ‘peristiwa’. Dalam melihat ini, ia menggunakan pendekatan hero lokal. “Ini berhubungan dengan konstruksi ekonomi dan politik,”pendapat Aprinus.
Dalam diskusi ini, kedua pembicara memaparkan beberapa contoh; seperti kasus Sampang, Ahmadiyah, dan pembatalan diskusi Irshad Manji di Yogyakarta. Aprinus juga mencontohkan kasus 250 penganut Islam Syiah dan 50 penganut Islam Sunni di Bali dan Lombok, di mana menurutnya mental mayoritaslah yang cenderung mengakibatkan terciptanya hero-hero lokal. sekalipun menjadi minoritas di suatu daerah, orang-orang akan merasa menjadi mayoritas bila ia tinggal di negara di mana kelompoknya menjadi mayoritas. Aprinus bahkan mengamini negara yang melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi belakangan. “Negara hanya tidak tahu resolusi konflik selain kekerasan, kekerasan menjadi outsource,” tandas Windu.[Dewi Kharisma Michellia, Nindias Nur Khalika]
BPPM Balairung menggelar Diskusi Publik bertajuk Toleransi Keberagaman dan Hak yang Tertindas Kaum Minoritas di Fakultas Hukum UGM, Kamis (20/9). Diskusi ini merupakan satu dari dua diskusi yang diadakan dalam roadshow yang menjadi rangkaianpendaftaran terbuka awak BPPM Balairung periode 2012/2013.Upaya menghidupi keberagaman menjadi tema besar pada penerimaan awak tahun ini lantaran pemberitaan media belakangan ini banyak menyoroti konflik SARA yang terjadi di Indonesia.
Windu Wahyudi Jusuf, mahasiswa CRCS UGM, mengambil contoh kekerasan yang terjadi di Sampang, Madura dalam penjelasannya.Menurutnya,kekerasan komunal di sana terjadi lantaran faktor pengkafiran olehkelompok Islam Syiah. Polanya, pada kasus itu, keberagaman yang terjadi di masyarakat direduksi menjadi konflik, di mana beberapa pihak memobilisasi warga untuk melakukan pengkafiran. Hal ini berlanjut pada proses pengucilan warga. Pengucilan menjadi mungkin karena jarangnya pembicaraan perbedaan secara dialogis, yang dalam istilah Windu disebut Retorika SARA. “Sejak dulu kita sering menghindari pembicaraanstereotypes. Retorika dialog aktivis itujadimentah. Bagaimana mau dialog jika sudah dikafirkan?” ujarnya.
Toleransi dan dialog yang berkembang sering bukan atas dasar pemahaman, melainkan kekuasaan dan kekuatan politis. Windu juga menilai aparatus negara tidak bisa menjaga keamanan. Masyarakat minoritas menjadi pihak yang sering disalahkan. Jika tidak bisa menyesuaikan dengan mayoritas, pilihan relokasi pun mesti ditempuh. Windu menganalogikannya sebagai logic apartheid, “Polanya begitu. Mereka baru bisa berdamai kalau salah satu pindah agama atau salah satu pindah tempat.”
Sementara itu, dosen jurusan Sastra Indonesia UGM, Drs. Aprinus Salam, M. Hum., menggunakan pendekatan poskolonial dalam melihat permasalahan ini. “Perilaku rasis itu konstruksi kolonial,” ujarnya. Menurut Aprinus, hampir tidak ada informasi yang menerangkan masyarakat Indonesia intoleran.Perubahan sikap toleransi masyarakat Melayu bisa jadi disebabkan oleh intervensi penjajahan melalui politik pemecah belah.
Politik pemecah belah itu diterapkan secara berbeda di seluruh Indonesia. Pada zamannya, masyarakat di daerahnya memanfaatkan manipulasi agama untuk melawan penjajah. Hal ini berakibat pada bermunculannya gap tingkat intoleransi di tiap daerah dan berdampak panjang hingga sekarang. Pada rezim Soeharto, proses dialog perbedaan tersebut ditekan sedemikian. Baru setelah era ’98, masyarakat terbebas dari tekanan.“Itulah yang menyebabkan konteks konflik menjadi berbeda tahun-tahun belakangan ini,” ungkapnya.
Perilaku rasis yang berkembang pada rezim Orde Baru kemudian memonopoli peristiwa-peristiwa besar di Indonesia. Aprinus menggunakan pendekatan ‘aku dan peristiwa’. Menurutnya, hasrat akan identitas inilah yang memicu masyarakat untuk menciptakan ‘peristiwa’. Dalam melihat ini, ia menggunakan pendekatan hero lokal. “Ini berhubungan dengan konstruksi ekonomi dan politik,”pendapat Aprinus.
Dalam diskusi ini, kedua pembicara memaparkan beberapa contoh; seperti kasus Sampang, Ahmadiyah, dan pembatalan diskusi Irshad Manji di Yogyakarta. Aprinus juga mencontohkan kasus 250 penganut Islam Syiah dan 50 penganut Islam Sunni di Bali dan Lombok, di mana menurutnya mental mayoritaslah yang cenderung mengakibatkan terciptanya hero-hero lokal. sekalipun menjadi minoritas di suatu daerah, orang-orang akan merasa menjadi mayoritas bila ia tinggal di negara di mana kelompoknya menjadi mayoritas. Aprinus bahkan mengamini negara yang melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi belakangan. “Negara hanya tidak tahu resolusi konflik selain kekerasan, kekerasan menjadi outsource,” tandas Windu.[Dewi Kharisma Michellia, Nindias Nur Khalika]
BPPM Balairung menggelar Diskusi Publik bertajuk Toleransi Keberagaman dan Hak yang Tertindas Kaum Minoritas di Fakultas Hukum UGM, Kamis (20/9). Diskusi ini merupakan satu dari dua diskusi yang diadakan dalam roadshow yang menjadi rangkaianpendaftaran terbuka awak BPPM Balairung periode 2012/2013.Upaya menghidupi keberagaman menjadi tema besar pada penerimaan awak tahun ini lantaran pemberitaan media belakangan ini banyak menyoroti konflik SARA yang terjadi di Indonesia.
Windu Wahyudi Jusuf, mahasiswa CRCS UGM, mengambil contoh kekerasan yang terjadi di Sampang, Madura dalam penjelasannya.Menurutnya,kekerasan komunal di sana terjadi lantaran faktor pengkafiran olehkelompok Islam Syiah. Polanya, pada kasus itu, keberagaman yang terjadi di masyarakat direduksi menjadi konflik, di mana beberapa pihak memobilisasi warga untuk melakukan pengkafiran. Hal ini berlanjut pada proses pengucilan warga. Pengucilan menjadi mungkin karena jarangnya pembicaraan perbedaan secara dialogis, yang dalam istilah Windu disebut Retorika SARA. “Sejak dulu kita sering menghindari pembicaraanstereotypes. Retorika dialog aktivis itujadimentah. Bagaimana mau dialog jika sudah dikafirkan?” ujarnya.
Toleransi dan dialog yang berkembang sering bukan atas dasar pemahaman, melainkan kekuasaan dan kekuatan politis. Windu juga menilai aparatus negara tidak bisa menjaga keamanan. Masyarakat minoritas menjadi pihak yang sering disalahkan. Jika tidak bisa menyesuaikan dengan mayoritas, pilihan relokasi pun mesti ditempuh. Windu menganalogikannya sebagai logic apartheid, “Polanya begitu. Mereka baru bisa berdamai kalau salah satu pindah agama atau salah satu pindah tempat.”
Sementara itu, dosen jurusan Sastra Indonesia UGM, Drs. Aprinus Salam, M. Hum., menggunakan pendekatan poskolonial dalam melihat permasalahan ini. “Perilaku rasis itu konstruksi kolonial,” ujarnya. Menurut Aprinus, hampir tidak ada informasi yang menerangkan masyarakat Indonesia intoleran.Perubahan sikap toleransi masyarakat Melayu bisa jadi disebabkan oleh intervensi penjajahan melalui politik pemecah belah.
Politik pemecah belah itu diterapkan secara berbeda di seluruh Indonesia. Pada zamannya, masyarakat di daerahnya memanfaatkan manipulasi agama untuk melawan penjajah. Hal ini berakibat pada bermunculannya gap tingkat intoleransi di tiap daerah dan berdampak panjang hingga sekarang. Pada rezim Soeharto, proses dialog perbedaan tersebut ditekan sedemikian. Baru setelah era ’98, masyarakat terbebas dari tekanan.“Itulah yang menyebabkan konteks konflik menjadi berbeda tahun-tahun belakangan ini,” ungkapnya.
Perilaku rasis yang berkembang pada rezim Orde Baru kemudian memonopoli peristiwa-peristiwa besar di Indonesia. Aprinus menggunakan pendekatan ‘aku dan peristiwa’. Menurutnya, hasrat akan identitas inilah yang memicu masyarakat untuk menciptakan ‘peristiwa’. Dalam melihat ini, ia menggunakan pendekatan hero lokal. “Ini berhubungan dengan konstruksi ekonomi dan politik,”pendapat Aprinus.
Dalam diskusi ini, kedua pembicara memaparkan beberapa contoh; seperti kasus Sampang, Ahmadiyah, dan pembatalan diskusi Irshad Manji di Yogyakarta. Aprinus juga mencontohkan kasus 250 penganut Islam Syiah dan 50 penganut Islam Sunni di Bali dan Lombok, di mana menurutnya mental mayoritaslah yang cenderung mengakibatkan terciptanya hero-hero lokal. sekalipun menjadi minoritas di suatu daerah, orang-orang akan merasa menjadi mayoritas bila ia tinggal di negara di mana kelompoknya menjadi mayoritas. Aprinus bahkan mengamini negara yang melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi belakangan. “Negara hanya tidak tahu resolusi konflik selain kekerasan, kekerasan menjadi outsource,” tandas Windu.[Dewi Kharisma Michellia, Nindias Nur Khalika]