Sekelompok mahasiswa Institut Teknologi Bandung mementaskan rentetan realitas republik. Lewat perpaduan bentuk musikal, koreografi, dan seni akting, beragam masalah keindonesiaan aktual tampil dalam impresi satire nan menyentil.
Sekali waktu di Republik ini, rakyat dan penguasanya tengah menderita. Penyakit yang belum pasti namanya, namun menorehkan gejala dengan beragam rupa. Di sudut sebuah kedai kopi, sambil membaca surat kabar, dua mahasiswa membincangkan Indonesia hari ini. Keduanya sangat kesal dan jenuh dengan isi berita yang miring melulu. Sejenak kemudian mereka bercakap dengan pelayan kedai, Neng Alda. Dari situ muncul tuturan bernas.
“Zaman sekarang semua orang pada sakit. Udah bagus gak ada acara bunuh diri masal. Dijajahkok ya gak beres-beres,” Neng Alda mengeluh.
“Lho, jadi menurut Teteh kita masih dijajah? Belum merdeka?” mahasiswa heran.
Secuplik adegan itu tak urung memancing perhatian ratusan penonton dalam Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat (Dago Tea House), Minggu malam, 27 Mei 2012 lalu. Teater Epik, grup seni pertunjukan yang digiatkan mahasiswa Institut Teknologi Bandung, malam itu mementaskan lakon bertajuk Mendiang Republik.
Mula-mula, Epik merupakan perkumpulan mahasiswa yang berkreasi menerbitkan majalah. Selanjutnya, usaha mereka merambah seni pertunjukan. Seperti pementasan tahun-tahun sebelumnya, Teater Epik menawarkan sebuah pertunjukan reflektif sekaligus menghibur. Selain itu, pentas ini bermaksud mempromosikan Majalah Epik kepada khalayak. Maka selain menyaksikan pertunjukan teater, hadirin juga memperoleh majalah yang disertakan denganbooklet pementasan.
Salah satu penulis naskah Mendiang Republik, Tri Adhi Pasha, mengungkapkan, ide cerita dipilih merespons kondisi sosial-politik Indonesia belakangan. Dilatari kesukaannya membaca biografi tokoh sejarah, Tri, yang juga mahasiswa Prodi Manajemen ITB 2009 ini, suatu kali tergelitik oleh sebuah lukisan jalan di Jalan Braga, Kota Bandung. Relevan dengan situasi politik yang riuh diberitakan, sosok Bapak Proklamator di lukisan itu tergambar berkata, “Apakah Anda ingin aku kembali?”
Bersama Sutansyah Marahakim, rekan satu prodinya, Tri menyusun naskah Mendiang Republik. Sejak Maret 2012 dimulailah persiapan pementasan yang didukung puluhan mahasiswa ITB dari beberapa fakultas. Melalui pengembangan ide cerita, pentas ini menyertakan unsur hiburan khas anak muda. “Kami mengumpulkan orang-orang yang meminati teater dan mengemasnya lebih modern,” kata Adryan Hafizh, Produser Mendiang Republik.
Di awal, penonton disajikan kemeriahan gerak tari dalam nyanyian pembuka yang dikombinasi lagu daerah “Manuk Dadali”. Selama satu setengah jam, kita lalu diajak mengikuti jejak dinamika Indonesia dari perjuangan mencapai kemerdekaan, reformasi, hingga sekarang. Melalui penghadiran tokoh Kakek sebagai personifikasi Republik Indonesia, kesadaran kita diketuk untuk menilik—alih-alih merawat—Tanah Air dan negara yang sedang sakit. Dengan pengaturan babak sedemikan rupa, kita seperti menonton sebuah narasi besar bangsa dengan tapak-tapak perjalanannya.
Sepanjang rentetan alur cerita, perasaan kita diguncang untuk memaknai kembali teks sejarah dan falsafah bangsa. Pada penampilan manusia-manusia dengan tali menggantung di leher, misalnya, kita tertegun menyaksikan mereka mengucap Sumpah Pemuda dalam keadaan tercekik dan suara tercekat. Dalam intonasi keras, seorang tokoh pun menyerukan ikrar itu sambil merintih dan tertatih.
Tersirat sindiran di situ. Kennya Rizki Rinonce, Sutradara Mendiang Republik, menjelaskan bahwa jiwa Sumpah Pemuda seakan nihil di masa kini. “Bahwa bahasa yang satu bahasa Indonesia! Bahasa Indonesia aja sekarang ujian akhir nasional pada hancur, yang bagus bahasa Inggris,” ungkap Kennya miris.
Kolaborasi artistik
Dalam mengisahkan sejarah Republik Indonesia, pertunjukan ini tak tampak meniru penuh fakta sejarah. Narasi digelontorkan lewat seni akting, tata panggung, dan visualisasi dengan bermacam media. Dalam satu adegan, siluet tunggal garuda tersorong memenuhi panggung. Lihat pula saat cahaya mesin kardiograf terpantul pada ruas-ruas bambu, sementara terdengar bunyi tanda denyut jantung, “Tit, tit, tit…”
Rencana pendirian negara Indonesia oleh para Bapak Bangsa juga terwujud dalam perundingan empat karakter berseragam pejuang ’45. Di depan keempat tokoh itu menggantung bingkai-bingkai kosong. Cahaya lampu tersorot dari sisi belakang, menyembulkan bayangan wajah. Seorang dari mereka berembuk sembari menyetel radio tua. Lantas salah satu berseru, “Buku-buku sejarah nanti, akan menuliskan tujuh belas Agustus tahun empat lima! Di Papua? Sama saja!” Ingatan kita ditegur, mereka ialah Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.
Perlawanan tentara rakyat vis a vis penjajah pun disajikan melalui tata gerak minus dialog. Namun tercerap kesan estetik yang menyentak saat pejuang-pejuang dengan bambu melawan prajurit bersenapan. Satu per satu tertembak. Tapi akhirnya seorang pejuang dapat mengibarkan Sang Merah Putih di antara barisan ruas-ruas bambu yang melatari panggung. Sebaris lalu, proklamasi dinyatakan perlahan.
Lewat penyusunan alur yang teratur, Teater Epik menggubah suasana kontemplatif tanpa selalu harus menyepi. Proporsi cukup imbang antara monolog Kakek dan visualisasi dinamika republik mampu menarik perasaan penonton masuk dalam realitas negeri. Kita juga segera mengerti kapan suatu babak berpindah dengan konteks situasi politik yang berbeda-beda berkat penyisipan kehadiran Kakek.
Namun sebagai sebuah pertunjukan, sebenarnya akting dan pemanggungan cukup memadai menggambarkan persoalan bangsa. Pemunculan Kakek yang agak berlebihan pada beberapa adegan terasa menjemukan. Berikan penonton kebebasan menyerap pesan tanpa harus terganggu tuturan Kakek yang lebih berkesan sebagai curahan hatinya.
Meski demikian, tak jarang kita tersentil oleh ujaran Kakek yang usil. “Sudah semestinya kita banyak bersyukur bahwa Bapak Proklamator kita bernama Ahmad Sukarno, jadi republik kita namanya Republik Indonesia. Coba kalau Ahmad Dhani, mesti jadi Republik Cinta, tha?” Kakek berseloroh. Tawa dan riuh penonton pun spontan terlontar.
Seperti Republik yang tampil dalam karakter Kakek, tokoh-tokoh bersejarah hadir secara imajinatif. Sosok Sukarno, misalnya, ditampikan lewat dialog kuat tanpa memperlihatkan raut muka. “Kita enggak pengen menghadirkan Sukarno di sini, tapi menghadirkan ide Sukarno. Banyak kontroversinya kalau sosok Sukarno yang kita hadirkan,” tegas Tri.
Relevansi Pancasila sebagai buah pemikiran Sukarno, misalnya, tersaji secara kritis dan menggugah. Kita terhenyak melihat adegan anak sekolah dasar yang nyaring menirukan gurunya menyebutkan Pancasila. Tapi, pada sila keempat ia terbata, “Kerakyatan yang dipimpin… oleh hik-mat…keb…” Dengan tempo lebih cepat, keduanya lalu serempak mengucapkan kelima sila. Adapun bermacam representasi penduduk—pekerja kantor, penyanyi dangdut, penjual warung, hingga petani—menjerit-jerit di sekitarnya. Terlukiskan bahwa beratnya penderitaan rakyat kecil ternyata berseberangan dengan semangat Pancasila yang bermimpi “rakyat adil makmur sentosa”.
Alih-alih berhenti pada kritik atas kondisi bangsa, Teater Epik menyodorkan pula refleksi kondisi bangsa dalam konteks kekinian. Keberagaman masyarakat yang diwakili penjual warung, mahasiswa, anak gaul, ustadz, dan hansip tersatukan dalam kedai Neng Alda. Dari situ, kita diminta berempati pada melonjaknya harga cabai sampai kisruh kenaikan BBM yang membuat nasib rakyat kecil menggantung seperti bandul. Kealpaan pemerintah dalam mengayomi warga pun tak ayal mengakibatkan keguncangan sosial. Tampak kesatuan dalam kebinekaan lahir dalam rupa baru: walau berbeda-beda latar sosial, budaya, dan ekonomi, rakyat bersama-sama mendambakan kemerdekaan hidup.
Pentas ini kemudian diakhiri dalam suasana mengharu lewat sosok Ibu Pertiwi yang lirih menggumamkan lantunan “Gugur Bunga”. Walau agak tergesa-gesa memungkasi pentas, pendar lilin-lilin di tengah panggung turut menyembulkan efek perenungan yang sunyi. Kita bertanya: Di manakah negara? Mengapa seolah rakyat berjuang sendirian menghidupi diri? Lantas, sudah merdekakah kita?
Kita pun nampaknya patut mempertanyakan makna kemerdekaan di hari ini, dengan tidak berdiam diri apalagi mendiamkan Tanah Air. Seperti terungkap dalam nyanyian di akhir pementasan, “Walau hidup sudah merdeka, tetap hidup dengan sekuat tenaga. Karena hari esok masih rencana, rencana orang bebas merdeka…” [Robertus Rony Setiawan]