Suasana di Gelanggang Mahasiswa pada Jumat (27/4) petang tampak berbeda. Puluhan kendaraan bermotor berjejer memadati halaman parkir sisi timur. Beberapa muda-mudi terlihat berjalan menuju Hall Basket. Langkah mereka sejenak terhenti oleh senyum ramah pramusaji yang berjejer di pintu masuk auditorium. Segelas secang hangat dan jajanan pasar disuguhkan kepada setiap orang yang datang. Karpet merah yang terbentang di pintu masuk pun menggiring mereka untuk duduk bersila membentuk setengah lingkaran. Seperangkat gamelan telah tersusun rapi tepat di tengah pelataran. Suara dentingan gamelan yang dimainkan secara beriringan membentuk komposisi irama yang menarik perhatian setiap pendengar. Sorot lampu remang di setiap sudut pelataran menambah suasana hangat pada malam itu.
Semua keriuhan itu adalah bagian dari peringatan Ambal Warsa, hari jadi UKM Swagayugama ke-44. Lelangen Joged Mataraman merupakan tema yang diusung dalam pagelaran kali ini. Tidak hanya menampilkan penari dari Swagayugama saja, acara ini juga menampilkan penari dari UKM UKJGS (Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta) dan UTB (Unit Tarian Bali). “Swagayugama ingin memberikan sebuah persembahan spesial untuk ambalwarsa kali ini,” ujar Yan Andreian, Ketua Panitia Pagelaran.
Membuka pagelaran, empat penari keluar dari salah satu sisi pelataran. Mereka langsung membentuk sebuah formasi segi empat dengan gerakan yang lemah gemulai mengikuti iringan musik gamelan. Harmoni gerak tari dan iringan gamelan menimbulkan impresi sakral, menambah sisi keanggunan keempat penari dalam tari “Sari Sumekar”.
Senandung merdu sinden mengiringi langkah tiga penari lain memasuki pelataran. Kali ini mereka membawakan tari “Sesanti Menghayu-hayu”. Tari ini menggambarkan wanita dewasa yang mulai mengerti akan nilai kehidupan serta telah sadar akan nikmat yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Makna tersebut disimbolkan melalui gerakan kedua tangan penari yang menengadah. “Tarian ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan oleh limpahan rahmat-Nya dalam setiap proses kreatif Swagayugama selama 44 tahun,” ujar Handarini Cintawati selaku pembawa acara.
Sebagai persembahan utama, fragmen wayang golek menak “Kelaswara Palakrama” ditampilkan dalam pentas ambalwarsa kali ini. Kisah Kelaswara Palakrama merupakan kisah percintaan antara Tyang Agung Jayengrana dengan Putri Kelaswara. Kisah ini bermula ketika Tyang Agung Jayengrana berusaha menyebarkan agama yang dianutnya ke kerajaan Kelan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Kelanjajali. Amarah Prabu Kelanjajali tersulut karena merasakan sebuah ancaman dengan kedatangan Tyang Agung Jayengrana. Maka, ia memutuskan untuk mengutus putri semata wayangnya, Dewi Kelaswara untuk menghadapi Tyang Agung Jayengrana.
Peperangan pun terjadi antara Prajurit Koparman yang dipimpin oleh Tyang Agung Jayengrana dengan prajurit Kelan yang dipimpin oleh Dewi Tasikwulan dan Dewi Setyaningsih. Namun akhirnya prajurit Kelan dapat dikalahkan oleh Prajurit Koparman. Kekalahan ini memaksa Dewi Kelaswara untuk berhadapan langsung dengan Tyang Agung Jayengrana. Namun Dewi Kelaswara justru jatuh hati ketika bertemu dengan Tyang Agung Jayengrana.
Ketika mereka memadu kasih, Dewi Ardaninggar merasa panas hati ketika menyaksikan pujaan hatinya sedang berduaan dengan wanita lain. Akibat kecemburuan Dewi Ardaninggar, terjadilah perang antara kedua putri tersebut. Dengan gerak tari dan irama yang tegas menggambarkan pertarungan yang sengit antara keduanya. Namun diakhir peperangan Dewi Kelaswara berhasil memanah Dewi Ardaninggar hingga tewas. Dewi Kelaswara dan Tyang Agung Jayengrana pun bersatu kembali.
Berita Dewi Kelaswara akan dipinang oleh Tyang Agung Jayengrana menyulut kemurkaan Prabu Kelanjajali. Prabu pun mendatangi Tyang Agung Jayengrana untuk mengadu kesaktian. Namun Prabu Kelanjajali tidak dapat mengungguli kesaktian Tyang Agung Jayengrana. Di akhir adegan, Tyang Agung Jayengrana bersatu dengan Prabu Kelanjajali yang menandakan direstuinya hubungan Tyang Agung Jayengrana dengan Dewi Kelaswara.
Wayang golek menak “Kelaswara Palakrama” yang dipentaskan dalam durasi satu jam ini ditutup dengan sorak sorai tepuk tangan penonton. Seiring berakhirnya pentas, perlahan aula tampak lengang, satu persatu penonton meninggalkan Hall Basket Gelanggang Mahasiswa. Wajah mereka tampak puas dengan pagelaran ini.
Arianne Putri, mahasiswa jurusan Biologi angkatan 2011 yang turut menyaksikan pementasan ini menuturkan, secara umum acara ini sudah cukup baik. Ia juga menambahkan, suasana etnik yang tercipta dari perhelatan malam itu membawa penonton larut ke dalam nuansa tradisional khas Jawa “Acara malam ini dapat mengobati kerinduan penonton terhadap budaya Jawa”. Lucky Krisnawati Utami selaku Ketua Umum Swagayugama turut menambahkan, “Pentas ini tidak hanya bertujuan memberikan hiburan kepada penonton, namun juga mengenalkan kekayaan kesenian Indonesia.” [Danny Izza, Farah Dinna Pratiwi, Marisa Kuncaraning Probo]