Kamis (22/3) siang, bertempat di Smart Room Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Komunitas Kembang Merak menyelenggarakan diskusi buku mengenai kaum Rastafarian. Melalui buku teranyarnya, Agama Rastafarian: Tuhan, Ganja, Rambut Gimbal, dan Perlawanan, Rehan Sapto Rosada bak meramalkan masa depan agama kaum Rasta. Perdebatan atas status Rastafarianâapakah ia adalah agama ataukah jalan hidupâpun mewarnai diskusi buku siang itu.
Rehan memulai acara dengan menjelaskan ihwal gerakan Rastafarian yang bermula di Jamaika pada 1930. Menurutnya, leksem Rastafarian berasal dari nama Kaisar Afrika, Haile Selassie I, yang lebih dikenal luas dengan julukan Ras TĂ€fĂ€ri. Inti ajarannya adalah kembali ke tanah perjanjian (kaum Rasta menyebutnya âSionâ), Afrika, dan mengajak masyarakat ras negroid Afrika untuk hidup menyatu dengan alam.
Bahkan, untuk menentang diskriminasi atas perbedaan warna kulit, ras, dan agama, pada 1963, Haile Selassie I memberikan war speech. âDalam pidatonya, ia menginginkan agar tidak ada bangsa inferior dan superior. Bila itu dipermasalahkan, akan selalu ada perang di seluruh dunia,â jelas Wobal Kincai, pelaku reggae Yogyakarta dan pemerhati rastafarian.
Gerakan Rastafarian kemudian berkembang terutama setelah Marcus Garvey menganjurkan agar mereka lepas dari jajahan masyarakat kulit putih. âDalam sejarah, ada satu hal yang tetap, yaitu penindasan,â ungkap panelis, Jimmy Jeniarto. Menurutnya, penindasan ekonomi politik menggiring pada perlawanan, baik itu perlawanan dalam bentuk agama, budaya, ataupun ideologi sekuler.
Bermula sebagai the way of life, Rastafarian terkenal dengan enam ciri utama: konsumsi ganja,dreadlocks, makanan ital, empat warna bendera, simbol heksagram, dan jubah bergambar Lion of Judah. Rehan memaparkan keenamnya sebagai wujud ritual kaum Rastafarian. âRastafarian bisa dianggap mengarah berubah menjadi agama budaya karena sudah dianut begitu banyak orang dan punya ritual,â ujar Rehan.
Menurut Rehan, kaum Rasta mengonsumsi ganja sebagai bentuk penghormatan pada ajaran Tuhan dalam kitab mereka. Bahkan, untuk mengolok-olok penindasan yang dilakukan masyarakat kulit putih, kaum Rasta menyesap ganja sembari membaca injil kaum Kristiani. Dengan dreadlocks (bentuk rambut gimbal), mereka mengunci rasa takut dari perintah Tuhan dan menggunakannya sebagai reaksi penolakan atas kapitalisme.
Sementara itu, Rehan menambahkan, untuk hidup, kaum Rasta sepenuhnya bergantung pada alam, mereka menyebutnya ital foods, yang berakar dari kata âvitalâ. Mereka punâdengan musik reggae-nya yang populerâidentik dengan warna merah, hijau, emas, dan hitam; merah berarti martir, hijau bermakna kedekatan dengan alam, emas menunjukkan kekayaan Afrika, dan hitam untuk menyampaikan bahwa gerakan tersebut diprakarsai oleh orang kulit hitam. Umumnya, kaum Rasta dekat dengan simbol heksagram yang melambangkan Raja David danLion of Judah yang menjadi perlambang Ketuhanan dalam kitab mereka.
Semua ciri tersebut, ditambah dengan kepercayaan Kaum Rasta terhadap Ras TĂ€fĂ€ri sebagai juru selamat, menunjukkan benih-benih Rastafarian sebagai bentuk agama baru. âBahkan, UNICEF di tahun 1996 menyepakati Rastafarian sebagai suatu gerakan religius,â tambah Rehan.
Di lain pihak, Wobal, yang juga bergiat sebagai pengelola laman situs Nusareggae.or.id, menolak penyebutan Rastafarian sebagai agama. âBahkan ketika saya menghubungi seorang teman, mereka menganggap Rastafarian sebagai livity, dari bahasa Patois, yaitu ringan seperti cahaya,â tuturnya. Namun, tambahnya, tidak semua orang berciri khas Rastafarian menganut jalan hidup itu sepenuhnya.
Karena menurut Wobal, walau masyarakat umum biasa mengasosiasikan musik reggaedengan Rastafarian, kaum Rasta sendiri tidak menggunakan reggae sebagai musik dalam ritualnya. Di perkampungan Bobo Shantiâdi mana sekte Rastafarian terbesar berkumpulâmereka biasa melantunkan lagu-lagu pujian (chants) a la Nyanbinghi. Adalah film The Harder They Come yang banyak berisikan soundtrack bergenre reggae-lah yang awalnya menyebarkan musik reggae ke seluruh dunia. Dari sana kelihatan, tidak semua pemusik regga juga adalah seorang Rastafarian. âTapi, banyak musisi awal reggae yang memang menggunakan spirit Rastafarian dalam karyanya, seperti Bob Marley, Peter Tosh, Bunny Wailers, dan Lee âScratchâ Perry,â tutur Wobal.
Menjelang akhir acara, Babon, seorang peserta diskusi yang menggemari reggae dan berambut gimbal, turut menyampaikan penolakannya. Menurutnya, kaum Rasta tentu akan menolak keras penyebutan Rastafarian sebagai agama. Kaum Rasta mempercayai roots setiap manusia adalah sebagai seorang rasta. Bila ditanyai sejak kapan menjadi Rastaman, mereka cenderung akan menjawab âFrom ever sinceâ. âRastafarian itu filosofi mistik tentang cinta, perdamaian. Sekarang pertanyaannya, kita mau enggak menempuh jalan itu?â tandas Babon. [Dewi Kharisma Michellia]