Aktivis Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Didik Supriyadi, S.IP. menyatakan, terkait UU Pemilu ada beberapa permasalahan yang harus dikaji. UU tersebut harus dapat menciptakan pemerintahan yang efektif. “Selain itu, UU Pemilu juga harus memperkuat derajat keterwakilan antara legislatif dan konstituen,” ungkapnya. Pendapat itu ia paparkan dalam seminar nasional yang digelar di Gedung Kuliah Umum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Senin (12/3). Seminar bertajuk “Reformasi UU Pemilu, Peluang dan Tantangan Elektoral” tersebut bertujuan untuk menanggapi perdebatan revisi UU No. 10 Tahun 2008. UU itu akan menjadi landasan legal Pemilu 2014 mendatang.
Untuk membahas tema tersebut, seminar yang diadakan Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan (KOMAP) itu menghadirkan beberapa narasumber. Selain Didik, hadir pula Arief Wibowo, anggota DPR-RI dari fraksi Partai PDI-P yang kini tengah menjabat sebagai Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Pembicara lainnya adalah Dr.rer.pol Mada Sukmajati, S.IP., M.P.P., dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) UGM. Seminar tersebut dipandu oleh Bayu Dardias, S.IP., M.A., M.Pub.Pol., yang juga merupakan dosen JPP.
Dalam acara yang berlangsung selama tiga setengah jam itu, satu per satu pembicara memaparkan sudut pandangnya terkait revisi UU Pemilu. Mada menyatakan, keterlibatan masyarakat untuk turut membahas RUU Pemilu ini penting. “Jangan sampai setelah ada permasalahan pasca pemilu, kita baru teriak-teriak,” ungkapnya.
Melihat sistem pemilu Indonesia, Mada setuju dengan penggunaan sistem proporsional terbuka yang telah dua periode ini digunakan. Artinya, rakyat tidak hanya mencontreng partai politik, tapi juga kandidat legislatif dari partai tersebut. Namun, menurutnya perlu diadakan suatu perbaikan. “Pencalonan harus transparan, akuntabel, dan mendekatkan pemilih dengan parlemen,” paparnya.
Berbeda dengan pendapat Mada, Arief lebih setuju dengan penerapan sistem proporsional tertutup. Dengan sistem tersebut, rakyat mencontreng partai saja sementara calon legislatif (caleg) yang akan menduduki kursi ditentukan oleh partai. Melalui sistem tersebut, partai akan dapat mengontrol kader-kadernya. Mereka yang memiliki dedikasi dan kompetensi akan lebih terfasilitasi. Ia mengakui, sistem tersebut memang bagaikan memilih kucing dalam karung. “Namun, sistem proporsional terbuka, sama halnya dengan memilih kucing garong,” ungkapnya disambut derai tawa hadirin. Didik membenarkan pendapat Arief. Sistem proporsional terbuka menurutnya hanya menguntungkan caleg yang bermodal dan tenar. “DPR kita akan penuh dengan para ‘bandit’ dan artis,” tegasnya.
Setelah ketiga pembicara memaparkan pendapatnya, moderator membuka sesi diskusi. Beberapa peserta angkat bicara. Salah satunya Rianto, peserta yang berasal dari Pati. Ia mengungkapkan sarannya agar pelanggaran pemilu masuk dalam pidana umum. “Menurut saya, hal itu akan menimbulkan efek jera bagi pihak-pihak yang melakukan kecurangan,” terangnya.
Sebelum menutup acara, moderator menyampaikan kesimpulan seminar. Ia menyatakan, pembahasan mengenai pemilu memang hanya berkisar pada hal-hal teknis seputar sistem. Namun, hal-hal teknis itu semestinya tidak disepelekan. “Dari hal-hal teknis itulah nasib bangsa dan negara Indonesia lima tahun ke depan ditentukan,” pungkasnya. [Khalimatu Nisa]