Rabu malam (29/2), komunitas Lingkar Diskusi Interdisipliner Setjangkir Kopi Institute mengadakan diskusi intersisipliner di Pusat Bantuan Hukum Jogja. Komunitas ini adalah wadah bagi para intelektual muda dari berbagai disiplin ilmu untuk mencurahkan pemikiran dan mengimplementasikannyapadamasalah sosial kemasyarakatan. Tema diskusi kali ini adalah “Dampak Globalisasi dalam Kebijakan Pendidikan Indonesia”.
Pukul 20.00 WIB, Azhar Irfansyah memulai diskusi dengan mengungkapkan bahwa globalisasi ibaratnya sebuah proyek menara Babel jilid kedua. Pada kitab kejadian dijelaskan, zaman dahulu manusia berbicara dalam satu bahasa. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah, mereka berubah menjadi tamak dan sombong.
Pada satu masa, disebutkan mereka membuat proyek kolosal dengan membangun menara yang tingginya menembus langit untuk mencapai surga. Singkat cerita, setelah setengah jalan proyek kolosal tersebut dilakukan, Tuhan mengetahuinya dan murka. Karenanya, Tuhan lantas memberikan hukuman kepada manusia, yakni supaya mereka menjadi beragam dan berbeda bahasa satu sama lain. Hukuman itu lantas mengakibatkan bubarnya proyek menara Babel. “Globalisasi adalah upaya menghidupkan kembali proyek menara Babel jilid kedua. Ini bukan proses alami, melainkan proyek yang diusahakan oleh sebagian orang. Globalisasi akan gagal apabila dihadapkan dengan pola pikir manusia yang tidak seragam,” ujar Azhar.
Aryabudi S.IP. melanjutkan dengan pernyataan bahwa ide besar globalisasi bersifat homogen. Ia percaya globalisasi adalah suatu proyek yang berusaha menduniakan segala hal yang lokal. Globalisasi hadir sebagai proyek kapitalisasi pada masa Revolusi Industri Inggris di mana saat itu terdapat kebutuhan yang tinggi untuk menjaring pekerja. Situasi ini menempatkan posisi perempuan yang sebelumnya di bawah derajat laki-laki menjadi setara setelah dipekerjakan. “Inilah bentuk glokalisasi di balik tuntutan globalisasi. Di mana hal-hal yang sebelumnya lokal menjadi suatu hal yang mengglobal dengan dalih kesetaraan,” tambahnya.
Dalam acara ini, pembicara menunjukkan garis merah antara globalisasi dengan dunia pendidikan, di mana terlihat bahwa tuntutan globalisasi juga telah merambah dunia pendidikan. Iqbal Ilhami, moderator diskusi, mengkritisi bahwa terdapatnya peraturan pemerintah yang mewajibkan mahasiswa untuk mempublikasikan karya dalam jurnal ilmiah sebagai syarat lulus kuliah mengindikasikan kebijakan pendidikan Indonesia seolah berusaha menuruti tuntutan globalisasi. “Dengan dalih untuk bersaing dengan Malaysia yang banyak menerbitkan jurnal ilmiah, Indonesia tampaknya tidak mau kalah dengan negeri itu,” ungkapnya.
Menanggapi masalah tersebut, Aryadi mengatakan ada dua kubu yang menyikapi peraturan tersebut. Pertama, apakah dengan dibuatnya peraturan tersebut justru akan melahirkan jurnal instan yang asal-asalan karena tidak memenuhi kaidah ilmiah. Kedua, kubu yang berpikir positif bahwa jurnal tersebut adalah bentuk heterogenisasi ide masyarakat Indonesia. “Sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa jurnal itu sebatas latah untuk merespon Malaysia,” tambah Aryadi.
Azhar juga mengatakan saat ini kekritisan pemikiran tidak lagi menjadi acuan untuk menilai kualitas pendidikan, akan tetapi kini ia dievaluasi berdasarkan sistim ekonomi global. “Sebagai contoh adalah penilaian berdasarkan webometrics. Dasar penilaiannya adalah standar barat yang dipaksakan untuk diaplikasikan secara universal. Padahal kondisi pendidikan Indonesia berbeda dengan Malaysia,” tambahnya.
Di akhir acara disimpulkan globalisasi harus ditangkal. “Negara harus memainkan peran untuk menangkal globalisasi, tidak mungkin rakyat kecil yang melakukan,” ujar Wildan Sena Utama, seorang peserta diskusi. Terkait permasalahan globalisasi itu sendiri, Azhar juga menyimpulkan Asia, yang dipimpin oleh China sebagai promotor, memiliki momentum untuk menyaingi bangsa barat. “Sekarang persoalannya, apakah momentum kebangkitan bangsa Asia—China—akan ditindaklanjuti dengan action? Lalu apa respon bangsa barat terhadap kebangkitan ekonomi China? Dapatkah China menggeser USA?” tutupnya. [Azis R. Pratama, Khairul Arifin]