Enam hari yang lalu, 1 Februari 2011, tiga pemuda bergerak melangkahkan kaki ke dalam sebuah galeri. Kebetulan saja mereka di tempat itu, pikir salah satu tiga serangkai. Karena tak ada kesengajaan pergi ke situ, âMurni spontanitas,â terkanya. Namun, ia ingat kata-kata seorang budiman, âBukankah kebetulan adalah sebuah keniscayaan?â Ia tetap bergerak sembari berpikir, karena bukan kerbau, yang bergerak tanpa berpikir atau pelamun, yang berpikir namun tak lagi bergerak.
Satu cetakan yang juga akronim, JANEFO #1, terbaca selintas oleh sang pemuda. Menurutnya, akronim lebih lihai dibanding singkatan. Sebuah akronim lebih mendesak mata untuk membaca dalam satu kesatuan tanpa perlu mengeja. Jogja New Emerging Force, kumpulan kata pembentuk akronim, tercantum dalam selebaran di meja tamu. Di situ pula JANEFO disebut sebagai permainan kata dari GANEFO,The Games of the New Emerging Forces.
GANEFO ialah sebuah kompetisi bikinan Soekarno pada November 1963. GANEFO dirancang Soekarno sebagai tandingan Olimpiade Tokyo 1964. Ini lantaran Indonesia diskors oleh Komite Olimpiade Internasional tak bisa ikut Olimpiade Tokyo 1964. Sebab-musabab, seperti ditulis Oey Kian Kok, Indonesia tak mengundang Taiwan dan Israel pada Asian Games IV (1962), berkenaan dengan pilihan politik. Djakarta lantas dipenuhi atlet kelas gurem waktu itu, karena semua atlet nasional berprestasi tidak berani mengikuti GANEFO dengan landasan takut diskors.
Serupa tapi tak sama JANEFO, sebuah proyek biannual Langgeng Art Foundation, turut menguarkan aroma kompetisi. Keenam partisipan JANEFO; Andrew Lumban Gaol, Harwan âAchongâ Panuju, Indieguerillas, Ishari Sahida âAri Wuluâ, Pamityang2an, dan The DeoMixBlood berkompetisi membedah satu isu samar; berbagi. Cara mereka berbagi untuk melihat relasi antara tubuh dengan perkembangan media dan teknologi cukup unik. Pembedahan atas relasi itu bukan menghasilkan sesuatu yang menenangkan melainkan sebuah kengerian.
Rasa ngeri di sini tidak ditampilkan dalam objek-objek. Kengerian tidak tampil nyata seperti singa yang siap menerkam. Rasa ngeri tersepuh lembut oleh tata cara orang memperlakukan objek yang cenderung mekanis. Kengerian sangat dekat dalam jarak tapi tersamarkan oleh indra. Kengerian membuat indra menjadi miopia; tak mampu melihat jauh, menangkap cuma yang dekat. Hipotesa ini, paling tidak, diwakili oleh respons dua dari tiga pemuda tadi.
Laiknya pergi ke pusat jajanan, tiga pemuda tadi mulai mengamati satu per satu sajian. Karya REST IN PEACE dari Andrew Lumban Gaol menyambut mereka. Ingatan menjadi narasi utama, sedangkan kotak pos menjadi perantara. Foto-foto kotak pos berhiaskan tulisan RIP berwarna hitam berdasar putih menjadi suguhan. Bagi Andrew, kotak-kotak pos di pinggir jalan sudah berubah menjadi semacam nisan. Seperti halnya yang tertulis pada salah satu foto, âNisan-nisan Merah masih berdiri, diam, dingin, kaku dan berkarat mendiami petak-petak pekuburan pembawa pesan yang dulu sekali pernah kau tunggu sayangâŠâ. Pesan ini seakan menggarisbawahi kenyataan bahwa telepon genggam telah mengubah setiap orang menjadi tukang pos bagi dirinya sendiri.
Foto-foto di pameran ini representasi apa yang sebenarnya Andrew lakukan di dunia nyata. Metode ini pernah ia lakukan untuk proyeknya atas nama Anti-Tank Project, âGerakan Menolak Lupaâ. Bila sidang pembaca pernah melihat poster sederhana dengan figur Munir dipermukaan beserta kata âMenolak Lupaâ, itulah salah satu karya Andrew di jalanan. Peniadaan nama jalan posisi kotak pos berdiri dalam montase foto ini pun menjadi poin unik. Seolah menegaskan bahwa, ingatan laksana burung yang jarang hinggap, butuh usaha lebih untuk menangkapnya. Bahwa hal yang paling menyedihkan di kehidupan manusia adalah dilupakan. Begitu pula dengan karya Andrew, bila beruntung pembaca yang tak melupa bisa menemukannya di jalanan. Salah satu masih berdiri kaku di pinggir Jalan Kaliurang, sejauh belum tergerus oleh waktu.
Di sisi lain ruangan THE MAGIC PAPER PROJECT, dari TheDeoMixBlood, menawarkan cara lain mengulas ingatan. Bagi yang lahir di era â90an tentu mengenal instalasi permainan yang disuguhkan TheDeoMixBlood ini. Sebuah kertas yang bila digosok dengan uang logam kuningan akan memunculkan gambar. Gambar-gambar ini unik lantaran berhubungan dengan benda, persona, aktivitas dan lain-lain yang âhidupâ di masa lalu. Semakin menarik bila ditarik ke zaman sekarang, ketika âgambar-gambarâ itu mulai dilupakan. Seolah menyederhanakan konsep ingatan, proses mengingat tentang masa lalu selalu disertai risiko gesekan-gesekan ingatan, baik kenangan manis maupun kenangan tragis.
Usai menikmati karya Andrew, seorang pemuda berjilbab memisahkan diri dari rombongan, mencoba sebuah instalasi karya Pamityang2an. Dua yang lain mencoba bermain-main denganavatar generator buatan Indeguerillas. KANOMAN karya Indeguerillas, merefleksikan segala hal yang samar atas avatar. Dalam keseharian secara tak sadar para pembuat avatarmenduplikasi dirinya sendiri dalam bentuk yang lain. Sebuah bentuk lain dari tes HTP (House-Tree-Person), di mana gambar rumah-pohon-orang hasil penggambaran dipakai sebagai metode pembacaan perilaku si penggambar. Atau dalam kata-kata Indeguerillas sendiri, âMenyumbang sebuah opsi, untuk kegembiraan kita semua dalam mengarungi âkehidupan keduaâ kita di dunia maya.â Proyek narsisisme sensual ini dapat dinikmati juga dihttp://indieguerillas.com/games/.
Seperti halnya para peseluncur dunia maya, dua pemuda tadi asyik terjebak pada perhatian. Bisa diketahui bahwa perhatian berlebih cenderung menghasilkan âkesunyianâ, menutup fungsi indra selain mata. Terpusat pada layar monitor dalam proyek narsisisme semu tadi, telinga mereka tak mendengar seruan pemuda berjilbab. Dalam waktu yang bersamaan di ruang yang berbeda, pemuda berjilbab tadi sedang berjibaku dengan kesunyian. Kesunyian yang dijadikan topik utama dalam suguhan Pamityang2an, bertajuk âControl Roomâ.
Sang pemuda berjilbab keluar dari ruang âControl Roomâ dengan nafas tersengal-sengal. Berdasar rasa penasaran kedua pemuda yang lain mencoba masuk. Sebuah bentuk kecerobohan, ketika âControl Roomâ mencerminkan proses refleksi seseorang dalam kesendirian, mereka malah masuk bersama-sama. Namun, seperti halnya refleksi, ada perbedaan khusus dalam persepsi personal mereka, yakni informasi. Sebelum masuk salah satu pemuda telah membaca terlebih dahulu secara teliti tentang âControl Roomâ ini. Sehingga saat berada di dalam, sang pemuda dipenuhi kesiaagaan dan kecurigaan, dalam istilah lain; kesadaran.
âControl Roomâ tak lagi menyajikan proses klaustrofobiaâketakutan terhadap tempat sempitâdan monofobiaârasa takut akan kesendirianâsaat mereka masuk, seperti yang sebelumnya dirasakan oleh pemuda berjilbab. Penonjolan kerelativitasan waktu menjadi penekanan baru. Tayangan video yang telah berhenti di tengah jalan dalam âControl Roomâ menjadi penanda dimulainya proses refleksi oleh instalasi ini.
Selagi salah satu pemuda sibuk mencari jalan keluar, seorang yang lain duduk tenang. Informasi yang dia miliki membuatnya berpikir, âdalam refleksi satu-satunya jalan keluar adalah jalan masuk itu sendiri.â Refleksi baginya akan menyajikan kenangan, yang bila diolah menjadi persepsi dan tindakan. Pemuda berjilbab dan pemuda yang sibuk mencari jalan keluar, menurutnya, merefleksikan kenangan mereka yang tak cukup menyenangkan akan proses menunggu.
Melalui âControl Roomâ, Pamityang2an dengan piawai menyajikan konvensi di era digital saat ini. Dengan proses menunggu yang disuguhkan, mereka menilik ulang konsep waktu. Di era yang serba cepat ini kata âlamaâ menjadi lebih âsingkatâ. 120 detik saat menunggu video untuk siap putar pun sekarang bisa dibilang lama. Konsep waktu di era digitalisasi secara perlahan berubah karena jarak yang diperpendek, bukan karena waktu yang dipercepat.
Konsep waktu yang disoroti oleh Pamityang2an, menurut si pemuda, cenderung ke arah waktu mekanis, berdasarkan jarum jam. Bukan lagi waktu tubuh, berdasarkan performa biologis. Ini menjadi sentilan bagi para peselancar dunia maya yang kerap mengaku mengalami insomnia. Bisa jadi yang mereka alami bukan insomnia melainkan informasimania, sebuah keadaan ketidaksadaran mengonsumsi informasi berlebihan. Mereka tidak bisa tidur bukan karena tak mengantuk, melainkan karena masih banyak informasi di lini massa media sosial yang menarik bagi mereka.
Penafsiran atas âControl Roomâ oleh si pemuda pun berlanjut. Baginya, ketakutan terhadap tren dan pandangan sinis akan sesuatu yang kuno menjadi titik tolak bagi penderita informasimania. Informasi yang sekian banyaknya datang seperti air bah tentu tak semua layak konsumsi. Proses penyaringan diperlukan, arus informasi tak selaiknya orang konsumsi seluruhnya. Daftar keperluan dan verifikasi atas informasi bisa menjadi langkah awal. Seperti halnya diet, merutinkan sesuatu yang cukup untuk tubuh, seseorang pun perlu diet informasi.
Berjalan ke sisi lain ruang, ketiga pemuda tadi mencicipi dua suguhan lain. Dua instalasi inimenitikberatkan pada persepsi atas pendengaran. Melalui instalasi, Ishari Sahida âAri Wuluâ dan Harwan âAchongâ Panuju mengkritisi ulang kesadaran kita tentang apa yang kita dengar. Bahwa apa yang kita dengar belum tentu benar-benar kita dengar(kan). Bagaimana bisa mengetahui posisi lalat saat mata tertutup menjadi pertanyaan yang diajukan âOUT OF THE BOXâ. Sedang di sisi lain ruangan âFLOATERâ menggugah kita untuk memaknai suara yang mengisi jeda. Sebuah pertanyaan lantas bisa diajukan sebagai konseptualisasi, âApa yang kamu pikirkan saat melihat tulisan âTelat Bulan â beserta nomor telepon di sebuah tiang listrik, bersamaan dengan suara tangis bayi dan seruan âAku Takut!â, oleh seorang wanita dari ujung telepon?â
Keseluruhan suguhan JANEFO #1, menurut si pemuda, menyertakan persepsi indra dalam praktiknya. Menantang kita untuk mengkritisi ulang pengalaman indrawi kita. Bahwa persepsi, apa yang ditangkap oleh indra, tak selalu nyata. Bahwa kesadaran akan tubuh adalah faktor penting untuk mencerna persepsi. Karena pada dasarnya Amigdala, sekelompok saraf yang memproses ingatan dan reaksi atas emosi pada manusia, bersifat miopia. Sejak zaman dahulu kala, nenek moyang kita lebih mudah menangani harimau ganas yang menyerang tiba-tiba, dibanding kanker yang menyerang secara gradual pun samar.
JANEFO #1 menyerukan ajakan untuk mengulas kembali persepsi akan informasi. Lantaran informasi cenderung datang dalam satu paket dengan jebakan. Informasi tidak datang sesuai apa yang kita persepsikan. Informasi datang sesuka hati sang informan. Di tataran ini persepsi informan perlu ditelisik lebih dalam.
Akhirulkalam, si pemuda menantang para pembaca, yang memiliki waktu luang, untuk mencoba instalasi-instalasi tadi. Bertempat di Jalan Suryodiningratan nomor 37, instalasi di JANEFO #1 menunggu hingga 14 Maret 2011. Karena apa yang tertulis di sini adalah persepsi si pemuda sendiri. Barang tentu lebih menenangkan bila sidang pembaca melihat dan merefleksikannya sendiri. Bukankah usaha memverifikasi persepsi menjadi penting untuk melahirkan kesadaran baru dan bukan fobia semata?
Karena seperti dalam âAlegori Gua Platoâ, setiap persepsi selalu saja memiliki cara pandang yang cenderung mengandalkan satu sisi. Apa yang kita ketahui tentang kebenaran sama berbahayanya dengan apa yang tidak kita ketahui tentang kebenaran.
[Rifki Akbar Pratama]