Siapa tak kenal Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi yang memiliki beribu pesona ini menjadi salah satu tujuan wisata turis lokal dan mancanegara. Selain tempat-tempat yang menyajikan keindahan alam dan wisata belanja, sebenarnya Jogja memiliki potensi tamasya lain yang belum banyak dikenal. Kondisi itulah yang mendorong diadakannya pameran desain komunikasi visual pariwisata Yogyakarta, di Bentara Budaya Yogyakarta, 21–23 Juni lalu. Dengan tajuk “Mariwisata”, acara yang digelar oleh mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini memajang karya tugas akhir mata kuliah DKV tahap keempat. Sebanyak 18 karya menampilkan desain sarana promosi wisata pada beberapa lokasi wisata alternatif di Jogja. Ketua panitia pameran Rato Tanggela, menjelaskan, pameran ini diadakan untuk mempromosikan potensi wisata di Jogja yang belum banyak diminati masyarakat. Dalam beberapa kelompok, mereka ditentukan untuk membuat desain promosi potensi wisata yang tersebar dalam lima wilayah, yakni Kabupaten Bantul, Sleman, Gunung Kidul, Kulonprogo, dan Kota Yogyakarta. Di sisi lain, pengajar DKV Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, Drs. Wibowo M.Sn., mengungkapkan, dipilihnya pariwisata sebagai tema pameran dilatari kelemahan dunia pelancongan di Jogja yang belum banyak menyentuh aspek wisata budaya. Dibanding Bali, ia menilai, Jogja agak tertinggal. “Di Bali, pemerintah, masyarakat, dan pelaku-pelaku pariwisata bekerjasama memadukan usaha pelayanannya,” ungkapnya. Karena itu, pameran kali ini mencoba mengetengahkan isu yang relevan dengan situasi aktual. Pada tahun-tahun sebelumnya, kegiatan serupa mengangkat isu lain, seperti masalah anak-anak, pendidikan, dan kulinari. Sebagai upaya memperkenalkan daerah rekreasi alternatif, Mariwisata—pilihan nama pameran yang bermakna mengajak berpariwisata—menyajikan oase di tengah hamparan wisata Jogja yang kering kreasi. Jogja bukanlah sekadar kawasan Malioboro atau Keraton. Daerah di selatan DIY, yaitu Kabupaten Bantul, misalnya, menyimpan potensi wisata yang belum banyak diminati. Desa Wukirsari salah satunya. Desa yang terletak di Kecamatan Wukirsari, Bantul, ini menawarkan pesona kerajinan berupa batik klangenan atau bermotif klasik. Dahulu Wukirsari merupakan permukiman para abdi dalem Kerajaan Mataram yang akrab dengan pekerjaan membatik. Tinggalan ini diteruskan oleh warga sekitar dan mulai tahun 2009 desa ini lalu dikenal sebagai Desa Wisata Wukirsari. Melalui pengemasan promosi yang berpola artnouveau, sebuah karya desain mahasiswa mempromosikan Wukirsari sebagai tujuan wisata bernuansa budaya dan edukasi. Bantul pun memiliki beberapa gua yang menawarkan petualangan menantang. Hal ini mampu ditangkap oleh Rato dan teman sekelompoknya untuk mempromosikannya secara masif. Ia menuturkan, awalnya mereka mengunjungi daerah Bantul untuk mengobservasi lokasi yang memiliki kekayaan wisata yang belum berkembang. Berkat pendampingan pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul, mereka lalu menelusuri gua-gua di Bantul yang mencakup Gua Cerme, Gua Selarong, Gua Gajah, Gua Jepang, dan Gua Sunan Mas. Selanjutnya mereka merancang strategi promosi yang cocok. “Wisata Goa Bantul”, demikian nama desain promosi karya mereka. Melalui obrolan dengan Dinas Pariwisata setempat, mereka lalu menyepakati penggunaan kelelawar sebagai ikon promosi. “Ada stalaktit dan stalakmit, tapi yang pasti di gua itu ada kelelawar. Jadi kita pakai kelelawar,” ungkap Rato. Ada beberapa media promosi yang mereka buat, antara lain iklan SMS dan stiker, peta wisata gua, dan papan penunjuk arah. Ada pula baliho yang dibikin menggunakan ilustrasi mulut gua dan dipasang di perempatan lampu merah Jalan Sagan. Baliho itu berlatar rimbunan daun dari pohon yang ada di belakangnya. Tak pelak kesan gua yang menggantung pun tercerap dalam benak orang yang berlalu lalang di situ. Dengan menyertakan alamat halaman laman wisata gua Bantul (www.guabantul.blog.com), strategi ini cukup efektif mengundang minat masyarakat. Beragam penjelasan tentang lokasi gua bisa diperoleh pada situs tersebut. Jogja bukan seluas dan sehijau daun kelor saja. Ada corak yang menunjukkan kekhasannya sebagai daerah wisata budaya. Kawasan Pecinan Yogyakarta dapat menjadi rujukan alternatif untuk menghabiskan waktu berlibur di sini. Kenangan sejarah dan kebudayaan kaum Tionghoa yang dulu tersisih di masa Orde Baru terpelihara hingga kini, antara lain di Kampung Ketandan, Malioboro, serta di sekitar Klenteng Gondomanan dan Poncowinatan. Tak hanya menggali wahana rekreasi di Jogja, Wibowo menekankan bahwa pameran ini ingin memberi solusi pengembangan strategi pariwisata Jogja yang selama ini masih monoton dan insidentil. Hal ini berguna bagi peningkatan potensi pariwisata di daerah yang lantas memacu perekonomian masyarakat. Kecuali itu, Rato menuturkan, Mariwisata dimaksudkan mendukung usaha menarik animo khalayak untuk kembali berkunjung ke Jogja pascaletusan Gunung Merapi. Jadi, mau liburan ke mana kali ini? Mari ke Jogja dan kecaplah berjuta pesona![Robertus Rony Setiawan]