Di kejauhan tampak sesosok mungil tengah berlarian kesana kemari. Raut mukanya tampak murung. Wajahnya tampak legam dihantam kepulan asap kendaraan bermotor. Topi coklat yang ia kenakan tak mampu menutupi kesedihan yang ia pancarkan. Hampir setiap saat matanya memandang ke lampu lalu lintas. Saat lampu menunjukkan warna merah, ia dengan segera bergerak menuju tengah jalan. Bermodalkan sehelai kain lap yang sudah usang, ia usap kendaraan bermotor yang sedang berhenti di sana. Sesudah itu, tangannya menengadah. Memohon para dermawan memberi selembar uang. Ia cukup riang saat menerima selembar uang seribu rupiah. Maklum, jasa yang ia tawarkan kurang digemari orang sekitar. Demikian potret Yanto (14), seorang anak jalanan di perempatan Magister Manajemen UGM. Sudah hampir setengah tahun semenjak ia pertama menjadi anak jalanan. Tuti (10), adik tercintanya, kerap menemani sang kakak mengadu nasib di perempatan jalan. Hampir setiap pukul 09.00 WIB pagi mereka berdua berjalan kaki menuju perempatan MM UGM. Meski sering mengaku kelelahan karena jarak MM UGM yang cukup jauh dari rumah mereka di Godean, mereka tetap setia pada profesi ini. Menurut Yanto, keterbatasan keluarga adalah motivasi awalnya untuk menjadi anak jalanan. Gaji ayahnya yang hanya seorang buruh, tak cukup untuk menafkahi keluarga mereka. Keterbatasan ekonomi kemudian memaksanya untuk mencari penghasilan tambahan. Ia tersenyum saat tangan-tangan para pengendara motor memberinya selembar rupiah. Ia juga hanya bisa terdiam saat keringat yang tercucur harus dibayar dengan kata tidak. Meski demikian, ia mengaku cukup senang menjalani aktivitas ini. Sebagaimana nasib anak jalanan lain, ia juga tak luput dari perhatian aparat keamanan. Sekitar dua bulan yang lalu adiknya sempat ditangkap oleh Satuan Polisi Pamong Praja (POL PP). Ia sendiri mengaku sempat ditangkap oleh intel gabungan. Ia bersama para anak-anak jalanan lainnya sempat diperingatkan untuk tidak mengusik ketenangan warga sekitar. Namun apalah daya, beban ekonomi tampaknya menuntutnya untuk terus menjalankan rutinitas ini. Kemunculan para anak-anak jalanan ini sekilas tampak cukup memprihatinkan. Saat dikonfirmasi perihal keberadaan para anak-anak jalanan ini, Polisi Sektor Bulaksumur menolak untuk memberikan jawaban. Mereka menganggap ada pihak yang lebih layak untuk ditanyai mengenai permasalahan ini. Suara penolakan muncul dari berbagai pihak. Salah satunya Lala. Pemilik toko oleh-oleh ini mengaku terusik kehadiran para anak jalanan ini. Raut mukanya tampak geram saat mengingat peristiwa lima tahun lalu saat anak-anak jalanan ini mulai beroperasi. Keributan demi keributan kian menyeruak dari segala penjuru. Amarah Lala kian memuncak. Ia bahkan memecat kedua karyawannya yang kedapatan menjadi anak jalanan. Ketika ditanyai perihal pendapatan Yanto per bulan, Lala mengaku kaget. Maklum saja, para anak-anak jalanan ini kerap membeli Fanta ukuran besar di tokonya. Menurutnya, pendapatan mereka berkisar Rp. 50.000 per harinya. Angka ini cukup mengejutkan, mengingat penuturan Yanto tentang pendapatannya yang hanya Rp. 15.000 setiap harinya. Lebih jauh lagi diungkapkan oleh Lala, kemunculan anak anak jalanan di MM UGM tampaknya didalangi oleh beberapa pihak. “Mereka itu punya rumah singgah, tempat mereka biasa diajarin macam-macam,” ungkap Lala. Pernyataan Lala ini diamini oleh Dumik, tukang parkir di sekitar MM UGM. Pria paruh baya ini kemudian menunjuk pada sesosok pria bertubuh besar di seberang jalan. Ia mengatakan bahwa pria itulah yang telah mendalangi kemunculan anak-anak jalanan di MM UGM. Terpaut dari semua fakta yang ada, menjadi anak jalanan tampaknya menimbulkan dilema bagi setiap anak-anak jalanan. [Ferdi]