(Oleh: Eki Arum Khasanah, juara pertama Lomba Penulisan Cerita Pendek Apresiasi Sastra KMSI UGM 2011) Nilai ulangan sejarahnya menempati posisi teristimewa di kelas. Delapan puluh tujuh. Tidaklah mudah meraih nilai setinggi itu dengan soal yang mungkin cukup klasik bagiku.Apalagi aku mengerjakannya hanya dengan bantuan pulpen hitam mungilku, tanpa adanya bisikan buku-buku usil yang terselip di laci, seperti yang lain. Mereka sudah terlalu sering melakukannya. Bahkan kini sudah mengadopsinya sebagai kebiasaan.Tidak hanya seorang. Hampir semua siswa di kelasku seperti itu. Bukan hal yang sulit. Bahkan mungkin terlalu mudah untuk dilakukan. Apalagi jika guru yang seharusnya bertugas mengawasi adalah seseorang yang lebih suka memanjakan kursinya untuk terus diduduki, daripada menyapalantai kelas dengan hentakan khas sepatu seorang guruyang menggema. Sebelum mendapatkan penghargaan lisan dari Bu Karsinah mengenai nilainya, aku sudah lebih dulu melihat kejujurannya. Benar. Kejujuran dan ketulusan hatinya dalam meminta bantuan pada buku paket sejarah saat ulangan berlangsung. Dan entah kenapa hal itu malah membuatku menjadi teristimewakan. Setidaknya aku mendapat nilai enam puluh empat adalah bersumber dari pikiranku sendiri, yang mungkin sebagian diantaranya merupakan bonus keberuntunganku dari hasil silang indah. Saat itu, ingin rasanya aku berteriak kencang. Atau setidaknya menggebrak meja hingga telapak tanganku memerah panas. Namun tentu saja itu hanyalah keinginanku yang tidak akan mungkin kupenuhi saat ini. Dan sebagai pelampiasan, kubanting pulpenku keras-keras ke lantai, sehingga menimbulkan suara benda kecil terpelanting. Dan sialnya, semua orang mendengar suara itu. Mereka pun dengan kompak menatap heran ke arahku. Begitu juga dengan Bu Karsinah. Seolah aku adalah buronan yang telah tertangkap basah oleh puluhan pasang mata setelah melakukan suatu tindak kriminal. Spontan aku tersenyum sumir. Lalu terkekeh dengan nada yang benar-benar fals. Sesaat kemudian aku berjalan jongkok untuk mengambil pulpenku. Setelah itu berdiri dan kembali duduk. Bu Karsinah menatapku datar, hanya sebentar. Lalu kembali berkutat dengan lembaran kertas di hadapannya. Aku duduk mematung. Belum terlalu minat untuk kembali mengerjakan soal-soal yang terus saja meledekku. Beberapa saat kemudian kepalaku tertarik untuk menoleh, memerhatikan gadis terpandai di kelas XI IPA 3, kelasku. Ia tengah melancarkan aksi bisunya. Amanah Ratri Ash-Shidiq. Namanya memang mengiaskan bahwa ia adalah orang terpercaya. Namun siapa sangka, hal serendah itu pun dilakukannya. Ia telah terlanjur mematahkan kepercayaanku padanya. Kusenggol lengan Ayu, teman sebangkuku. Setelah itu mengedikkan kepala ke arah kiri, dan Ayu segera mengerti maksudku.“Biarin aja. Hasil jelek lebih bermartabat kalau kita tetep jujur.” bisik Ayu menanggapi. “Mau lihat yang lebih keren lagi? Tuh!” Dan Ayu pun gantian mengedikkan kepalanya ke kanan setelah ia sedikit menggeser mundur badannya. Kini aku dapat melihat hampir semua temanku yang duduk di deretan bangku sebelah kanan tengah melakukan sesuatu, persis seperti apa yang dilakukan Ama. Membuka buku paket sejarah. Saat itu juga kembali tergores dalam batinku, bahwa aku adalah siswa termalang yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya mencontek pada saat ulangan. Begitu juga dengan Ayu. Temanku yang satu itu tetap setia menemani perjalananku yang serba menyakitkan. Mungkin aku terlalu berlebihan mengatakannya. Namun itulah yang kurasakan. Beribu kali aku mencoba untuk sabar, untuk tidak memedulikan, untuk menganggap hal itu hanyalah kibasan angin kosong tiada arti, dan untuk menajamkan pikiran bahwa yang mereka lakukan tidak akan melatih mereka untuk percaya pada diri sendiri. Namun tetap saja, aku merasakannya. Sepercik kebencian yang tak kuharapkan terselip begitu saja. Tidak untuk di lain waktu. Rasa itu menghampiri hanya di saat mereka melakukannya. Sempat terbersit beberapa hal di pikiranku. Apa mereka pernah memikirkan bagaimana aku merasakannya? Bagaimana aku terlukahanya dengan hal semacam ini yang mungkin sepele di mata mereka? Apa mereka tahu bahwa aku begitu terengah-engah mengejar mereka? Apa mereka tahu bahwa aku menginginkannilai biru seperti yang sering mereka genggam dengan mudahnya? Dan apa mereka tahu seberapa besar aku berharap agar mereka dapat berjalan denganku di jalur yang sama? Aku tidak tahu. Karena aku memang belum pernah dan tak akan pernah mencoba untuk mempertanyakannya. “Hari gini masih mikirin soal itu? Basi. Kalimat yang menyatakan kalau ulangan nggak boleh nyontek itu cuma teori. Kenyataannya nggak gitu, kan? Semua orang, nggak di sini, nggak di sekolah lain, semuanya sama aja. Udah biasa. Nggak ada yang namanya saingan di mata kita. Yang ada cuma kebersamaan. Jadi udahlah, biasa aja kali! Nggak usah berlebihan! Hal kecil gitu aja dibikin rumit.” Itulah rentetan kalimat yang keluar dari mulut temanku, yang sampai saat ini masih terukir jelas di benakku. Ini memang hal kecil. Namun berasal dari yang kecillah sesuatu dapat menjadi besar. Dan jika itu terus berlangsung, bibit kejujuran dalam negeri ini akan sangat sulit dicari. Itu adalah pembelaanku yang kurasa sama sekali tidak berlebihan. Karena pada kenyataannya, ucapanku tadi memang dapat dibuktikan, bukan hanya sekadar melebih-lebihkan. Lagipula, yang namanya kebersamaan itu adalah sesuatu yang baik. Jadi jangan sampai sesuatu yang baik itu dicampuradukkan dengan sesuatu yang buruk. *** Suasana cukup sepi. Hanya ada beberapa murid yang masih berada di sekolah siang ini. Kulangkahkan kaki menyusuri koridor tengah. Melewati deretan ruang kelas sepuluh yang berujung pada tempat parkir. Sempat kudengar tawa berat gerombolan anak laki-laki kelas sebelas. Suara itu berasal dari kebun belakang, dekat parkir motor. Kusempatkan melirik mereka sesaat, memastikan bahwa pendengaranku benar. Namun seketika itu juga, aku terperangah. Gerombolan laki-laki itu merokok. Dan yang lebih membuatku terkejut, Deva ada di sana, tengah duduk di lantai sambil menatap kosong ke arah kebun dengan sebatang rokok terselip di bibirnya. Dan hal itu berhasil membuatku berpikir ulang akan sifatnya yang selama ini manis terhadapku. Aku membenci pemandangan saat itu. Tepat ketika seorang teman memberitahunya tentang keberadaanku yang tengah berdiri memerhatikan mereka, seketika itu juga aku segera melangkahkan kaki dengan cepat menuju tempat parkir. “Laras!” seru seseorang dari belakang, dan aku mengenal betul suara itu. Terdengar entakan kaki mendekatiku. “Mau pulang?” Kini Deva sudah ada di depanku dengan sebuah ransel tergantung tak imbang di bahu kanannya. Ia tengah mencoba mengembangkan senyum padaku. “Iya.” jawabku malas. Dapat kulihat senyum itu memudar, seiring dengan raut tak mengerti pada wajahnya yang muncul perlahan. “Sejak kapan marah sama aku, Ras?” “Seharusnya aku yang tanya kamu, sejak kapan mulai ngerokok?” sahutku cepat, membuatnya segera mengerti dengan perbedaan sikapku saat ini. “Jadi itu?” Ia menatapku. “Aku lagi banyak pikiran. Maafkan aku.” “Kamu tahu aku tidak berhak memaafkanmu. Tapi sebagai teman, aku berhak mengingatkanmu.” ucapku tenang, seraya mendekat, meraba dadanya pelan, lalu menajamkan ujung telunjukku di sana. Aku mengetuk-ngetukkannya beberapa kali. “Kasihani dia. Tuhan nggak nyiptain badan ini buat dirusak.” pesanku seraya menarik tanganku kembali dan berjalan melewatinya. *** “Kalau kamu nggak bisa, terus aku observasinya sama siapa?” tanyaku bingung pada Ayu, tak menyangka keadaan akan berubah seperti ini. “Hari ini aku ada waktu luang.” Suara itu tiba-tiba mampir di telingaku, membuat aku segera menoleh ke kanan. Deva tengah berdiri dengan menyandarkan lengannya di pintu kelasku. Aku segera memalingkan kepala, menatap fokus mata Ayu. “Aku nggak mungkin pergi sama dia.” desisku pelan, berharap lelaki itu tidak mendengarnya. Namun aku salah. Sepertinya Deva mendengar ucapanku. “Kenapa nggak mungkin?” tanyanya serayaberjalan mendekatiku. Kulihat ia mengeluarkan sebungkus rokok yang lalu dipaksakan padaku untuk menggenggamnya. “Aku nggak akan ngerokok lagi.” ungkapnya disertai senyum. Aku menatapnya sangsi. “Gimana aku bisa langsung percaya hanya dengan sebungkus rokok ini sebagai tawanan?” tembakku tegas. “Karena aku yakin, kamu tahu kalau aku bukan seorang pembual.” ujarnya mantap. Dan entah mengapa tatapannya begitu meyakinkanku akan perkataannya itu. *** Aku dan Deva mulai berjalan mencari sosok Bapak Ginaryo, Kepala Dusun Rejomulyo, yang katanya tengah berada di sekelilingmasjid. Kami pun segera menuju masjid. Di sepanjang perjalanan, terlihat banyak sekali warga yang tengah bergotong royong membersihkan lingkungan. Kukeluarkan kamera digital dari tas. Aku harap beberapa gambar yang sempat kuambil dapat menambah nilai dalam laporan penelitianku kali ini. Aku meneruskan berjalan, sambil sesekali menampar lengan Deva setelah mendengar beberapa leluconnya yang membuatku tertawa. Namun aku juga tak lupa untuksetengah membungkuk dan tersenyum saat beberapa warga melihat kami sebagai orang asing di mata mereka. Setidaknya itu yang diajarkan orang-orang di dusunku. Ya, mereka yang mengajariku melakukannya, bukan orang tuaku. Aku yakin, ayah dan ibuku mempercayakan waktu untuk membimbingku dengan sendirinya. Dan dengan apa yang aku lakukan itu, sebagian besar dari mereka membalasnya dengan senyuman pula. Setelah bertemu dengan Bapak Ginaryo guna meminta izin untuk mengadakan penelitian, kami pun segera menemui salah seorang anggota keluarga dari korban meninggal penyakit Leptospirosis yang saat itu juga turut membersihkan halaman masjid. Beberapa pertanyaan kubeberkan padanya. Dan dengan saksama kusimak jawaban demi jawaban yang mengalir dari mulut orang itu. Sementara Deva malah asik dengan kegiatannya sekarang, yaitu membantu warga membersihkan sampah dan turut serta dalam pengasapan tikus masal saat itu. Dan aku, hanya dapat mengulum senyum melihatnya. “Terimakasih ya, Dik. Malah dibantu ini jadinya. Oh iya, tadi namanya siapa?” tanya Pak Ginaryo saat kami hendak berpamitan. “Laras, Pak!” “Iya-iya. Laras.” Lelaki itu seperti mengamatiku setelah mengucapkannya. Seakan wajahku tidak asing baginya. “Kamu mengingatkan saya pada seseorang, Dik.” ucapnya ragu. “Kalau boleh tau, siapa nama bapak kamu?” *** Almarhum bapak kamu bilang, kalau kamu adalah putri yang sangat dibanggakannya. Keinginannya hanya satu, yaitu bisa melihatmu menjadi seseorang yang berguna. Dia tidak mengharapkanmu menjadi pemenang dalam setiap bidang studi. Namun dia sangat berharap, kamu dapat menjadi pemenang dalam mempertahankan setiap kejujuranmu. Juga menjadi pemenang, dalam merangkul sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi lebih baik, termasuk merangkul dirimu sendiri. Semenjak pulang dari observasi kemarin, hanya rangkaian kalimat itu yang terus saja mengusik telingaku, sekaligus menggenangi pikiranku. Sama sekali tak akan menduga bahwa Pak Ginaryo adalah teman dekat ayahku semasa SMA. Ayah meninggal karena kanker paru-paru tiga tahun silam. Rokok sudah begitu meracuninya sejak SMA. Dan karena peristiwa yang terlalu pedih itulah, membuatku terlalu benci pada benda laknat pengadu nafsu itu. Dua bulan sebelum kepergian ayah, Pak Ginaryo sempat bertemu dan berbincang panjang lebar dengannya. Dan salah satu hal yang dibicarakan adalah tentang aku. Tentang kalimat yang terus berkelebat hebat dalam pikiranku. Karena aku belum pernah mendengar langsung kalimat itu dari ayah. Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang? Bodoh! rutukku pada diriku sendiri. Jelas-jelas aku sudah mendengarnya. Jadi sudah seharusnya aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku berjalan pelan mendekatinya. Kurasa ia tengah disibukkan oleh tugas biologi. Setelah aku memanggilnya, segera Ama menoleh padaku. Pelan aku mulai duduk di bangku depannya. “Lagi sibuk, Ma?” tanyaku berbasa-basi. “Iya, nih. Kenapa, Ras?” “Enggak. Cuma pengen duduk sini aja.” jawabku seraya tersenyum, membuat Ama mengangguk-angguk kecil. Sejenak kubiarkan kehadiranku menemani suasana kala itu. Beberapa saat kami berbincang pada kebisuan.“Kamu tau kalau ayahku udah meninggal, kan?” tanyaku tiba-tiba, membuat ekspresi Ama berubah bingung. Serasa tidak nyaman. Namun ia sempat mengangguk ragu. Sesaat kutorehkan senyum padanya. Namun entah mengapa senyum itu terasa pahit. “Ia menginginkanku jadi seseorang yang berguna.”Tiba-tiba saja aku tersentak setelah mengatakannya dengan berkaca-kaca, dan itu benar-benar di luar kesengajaanku. “Menurutmu gimana?” Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya mematung sambil menatapku cemas. “Ayah ingin agar aku bisa jadi pemenang. Yang bisa merangkul orang-orang untuk menatap cahaya. Menurutmu, apa aku sanggup?” Ia tetap tidak menjawab. Sementara aku tetap mencoba tersenyum meski kenyataannya terasa begitu menyakitkan. “Ma, kalau semisal aku mohon sesuatu padamu, dan itu merupakan permohonan terakhirku, apa kamu mau mengabulkannya?” “Kamu ngomong apa sih, Ras? Jangan ngaco!” Kubangkitkan tubuhku. Dan tanpa sadar, sekaligus membangkitkan emosiku. “Aku sangat sayang ayahku, Ma. Kalau kenyataannya kayak gini terus, mana bisa aku mewujudkan harapan ayah. Sekalipun aku mengatakannya berkali-kali. Mereka hanya dapat menganggapnya sebagai teori. Mereka lebih menomorsatukan kebersamaan dalam konteks yang salah, bukan kejujuran. Mereka semua nggak mau peduli dengan apa yang aku bilang. Termasuk kamu. Iya, kan?” “Maksud kamu?” Aku mencoba menekan kembali emosiku. Meredam segala amarah yang menggila dengan tiba-tiba. Kutarik napas yang begitu panjang, lalu menyeka buliran air mataku. “Maafkan aku, Ma.” ucapku pahit. “Lupakan soal yang tadi. Sekali lagi aku minta maaf.” akhirku seraya meraih tas dan bergerak untuk keluar kelas. Menenangkan pikiran adalah yang terbaik untuk saat ini. Biarlah Ama bergumul dengan ucapanku tadi. Aku tak mau lagi mengungkitnya. Semua ini sudah cukup mericuhkan hatiku. *** Ujian semester dua berlangsung. Aku sudah menyiapkan sekarung mental baja untuk mengantisipasi saat kejadian yang sudah mendarah daging itu mencoba menampar dan memacu emosiku. Namun entah apa yang terjadi. Saat aku telah siap dengan semua yang akan mereka lakukan layaknya tradisi tahun-tahun lalu, aku mulai menyadari suatu perubahan besar tengah menguasai. Mereka semua, di luar dugaanku. Kulihat guru pengawas ruanganku saat itu adalah sosok guru yang berhasil memasuki “Daftar Guru Terfavorit Ketika Ulangan” di kelasku. Bahkan tak jarang kuperhatikan Pak Rubijan keluar ruangan beberapa kali. Sementara guru yang satunya adalah tipe pecinta koran. Di mana pun dan kapan pun, benda itu selalu hinggap di tangannya. Tak terkecuali saat mengawasi ujian. Dan perubahan yang mereka beberkan padaku saat itu, benar-benar membuatku tercengang. Tidak ada satu pun dari mereka yang berdiskusi atau membuka contekan. Semua murni, tengah serius mengerjakan. Seketika aku menyadari, ternyata Ama berhasil menangkap tatapan keheranan dariku. Ia lalu mengedipkan sebelah matanya, dan tersenyum padaku. Aku sama sekali tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi mungkin perasaanku benar, bahwa Ama berada di balik semua perubahan ini. *** Suara mikrofon menyerukan deretan nama siswa kelas X hingga XII dengan nilai terbaik. Dan nama Ama kembali mengukir sejarah di kelas XI pada semester dua ini. Seketika tepuk tangan pun begitu riuh, mengiringi langkahnya menuju panggung untuk menerima piagam penghargaan. Bel istirahat berbunyi. Namun hari ini tidak ada pembelajaran. Yang ada hanyalah beberapa perlombaan antarkelas. Aku berjalan menuju lapangan basket. Dan saat itu aku menyadari seseorang tengah memanggilku. Ia berlari kecil mendekat ke arahku. Ama tersenyum hangat, lalu dengan cepat ia ulurkan piagamnya di tanganku. Aku bergeming, tak mengerti dengan maksudnya. “Ini bukan hasilku. Jadi ambil aja.” ucapnya tenang. “Ama, yang dulu udah lewat. Nggak usah dipikirin lagi. Ini masih penting buat kamu. Jadi jangan gegabah dengan memberikan piagam ini padaku begitu saja. Kalau pun dari dulu kamu udah jujur, belum tentu juga aku yang dapetin ini.” Seketika Ama tergelak dalam senyumnya. “Sekali lagi itu bukan hasilku. Aku sama sekali nggak berhak buat dapetin itu. Lagian, aku emang nggak niat ngasih ke kamu kok. Jadi kalau kamu ngerasa risih, buang aja!” ucapnya begitu ringan, seraya tersenyum dan berlalu. Aku melihat kepergian gadis itu. Selanjutnya aku mulai tertarik untuk mengamati piagam di tanganku. Tertera nama lengkap Ama di sana. Tiba-tiba saja tangan seseorang menarik kecil ujung jilbabku dari belakang. Dengan segera aku menoleh, dan mendapati Deva tengah tersenyum jail padaku. “Mau liat aku basket, kan?” ucapnya dengan begitu percaya diri, seolah tidak ada tontonan lain selain dirinya. “Ayo!” Dengan gesit Deva menggamit lenganku. Membawaku ke lapangan basket. Aku tersenyum tipis. Bukan karena sikap laki-laki ini padaku, melainkan karena aku telah berhasil mewujudkan beberapa dari harapan ayah. Semoga kau bisa tersenyum juga di sana, Ayah. ***