Sejak ditetapkan adanya Ujian Akhir Nasional (UAN) secara terpusat, bermunculan berita yang mencoreng institusi pendidikan. Sekian banyak siswa dari tingkat SD, SMP, sampai SMA sederajat berbondong melakukan aksi mencontek. Parahnya di beberapa sekolah, aksi itu dibiarkan oleh pengawas ruangan. Jadilah, mereka mencontek dengan leluasa tanpa mengkhawatirkan sanksinya.
Saat proses seleksi ujian masuk perguruan tinggi, terungkap kasus jual beli kursi juga joki. Tahun ini, UGM harus menerima kenyataan bahwa 52 calon mahasiswa kedokteran kelas internasional melakukan perjokian. Sebenarnya ini hanya menjadi gong atas kasus ketidakjujuran mendapatkan kursi. Tahun 2008, sudah ada usaha dari elemen mahasiswa membongkar kasus perjokian. Reaksi itu bermula dari pengakuan salah satu calon mahasiswa yang dihubungi joki. Tapi, usaha yang mereka lakukan tidak mendapat cukup bukti untuk mengungkap siapa si joki. Di tahun 2010, dengan cara berbeda, investigasi kembali dilakukan. Kali itu mengenai jual beli kursi. Fakta di lapangan mengungkapkan bahwa calo kursi merupakan orang internal sivitas akademika UGM yang mau ambil untung untuk keperluan pribadi.
Praktik lainnya, sekitar sebulan lalu, di salah satu stasiun televisi swasta nasional, kita disuguhi tontonan mengenai pembuat skripsi bayaran. Dengan muka ditutup topeng, mereka bercerita dengan lancar mengenai harga per-babnya dan siapa saja pemakai jasa mereka, seolah tak ada rasa bersalah. Dari penuturannya, ternyata banyak juga mahasiswa yang menggunakan jasa mereka. Jadilah joki pembuatan skripsi bertambah seiring bertambahnya jumlah permintaan tanpa mau memikirkan apa akibat dari yang mereka lakukan.
Jadilah, dengan sederet kasus itu, altar suci institusi pendidikan dicederai berulang kali. Ruang yang seharusnya dapat membentuk pola pikir dan karakter manusia yang berbasis pada nilai-nilai kejujuran, kebenaran, keadilan, serta originalitas pemikiran dilukai. Kasus-kasus itu juga mengindikasikan bahwa bagi sebagian orang, masuk dan keluar dari jenjang pendidikan hanya tujuan. Bukannya sebuah proses yang perlu dinikmati, apalagi bukti kemampuan diri. Karena itulah, mereka menghalalkan segala cara agar selamat dari setiap ujian pendidikan.
Sayang, meski pencideraan berujung sanksi, namun ternyata belum signifikan untuk memberikan efek jera. Sanksi moral bagi peserta ujian (ujian ulang dan dilarang mengikuti seleksi masuk pada tahun berikutnya) pun demikian. Perhatikan saja, tindak-tindak mencontek saat UAN misalnya, tiap tahunnya masih ada.
Sanksi moral diberlakukan karena tindakan mencontek dan sebagainya dianggap sebagai penyelewengan etika yang lebih kuat ditarik ke moral praksis dibanding moral teleologis. Moral praksis membahas apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, atas dasar pertimbangan manusia. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut tiap individu menjalankan tindakan yang dianggap tepat bagi dirinya atau kelompoknya. Karena itu, nilai dalam moral praksis terhadap suatu persoalan bisa berbeda bagi satu individu dengan individu lainnya, bisa berbeda bagi satu golongan dengan golongan lainnya. Hal inilah yang menjadikan tindak pencideraan pendidikan dari sisi pelaku dunia pendidikan sulit untuk dihilangkan.
Perihal sanksi bagi pelaku perjokian, setelah terbukti adanya pemalsuan identitas, pencurian soal ataupun jawaban, mereka dikenai Pasal 236 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun tak mudah membuktikan praktik semacam ini. Nyatanya, sejauh ini UGM dan pihak kepolisian baru berhasil memperkarakan seorang joki, sedang lainnya masih dalam proses penyelidikan.
Oleh karena itu, permainan posisi moral praksis yang menyulitkan dihilangkannya pencideraan pendidikan dan penerapan hukum yang tak selalu maksimal harus diiringi tindak antisipatif dan reaktif yang memadai dari tiap lembaga pendidikan. Persiapan sistem ujian, mental sumber daya manusia dalam kepanitiaan serta teknologi canggih yang dipergunakan harus dipadukan untuk mengantisipasi tindak yang tak diinginkan. Dan yang paling penting, lembaga pendidikan bersangkutan juga harus menindak tegas siapapun yang terlibat persoalan, pun ketika terbukti pihak internalnya sendiri yang terlibat. Tidak ada tebang pilih, tak ada yang boleh ditutupi.
Menghilangkan tindak pencideraan sampai ke akar memang sulit dilakukan. Namun upaya meminimalisir dengan beragam usaha patut dilakukan. Bukankah menjadi kewajiban bersama untuk menjaga idealisme pendidikan?
Fitria Nurhayati
Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM