Sejarah selalu memiliki romantisme untuk dikenang. Baik ataupun buruk sama-sama memberikan pelajaran dan pengalaman yang tak dapat digantikan. Begitu pula dengan sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Dari Orde Lama sampai kini, gerakan mahasiswa mengalami berbagai dinamika yang berbeda sesuai zamannya. Penggulingan Orde Baru pun dianggap menjadi satu masa yang berhasil menyatukan gerakan mahasiswa secara besar-besaran. Tanpa sekat kepentingan golongan, karena yang ada hanya kepentingan universal.
Tapi, persatuan mahasiswa kala itu tak bertahan lama. Seiring dengan kejatuhan Soeharto, sebagai pemimpin Orde Baru, gerakan mahasiswa juga mengalami perubahan. Polarisasi yang berujung pada sporadisasi gerakan mulai diperlihatkan. Mereka menganggap kepentingan universal itu sudah selesai. Kemudian, masing-masing gerakan memilih jalannya sendiri dalam agenda perjuangan. Idealisme golongan dijadikan alasan. Hampir tidak ada konsolidasi, tidak ada sinkronisasi. Hampir tidak lagi terdengar sebutan kita, yang ada hanya kami, dan mereka. Sebuah kata yang menunjukkan identitas, pembeda satu gerakan dengan gerakan lainnya.
Lantas, sporadisasi itu tak hanya terjadi saat menghadapi isu-isu nasional-kenegaraan, tapi juga isu lokal, bahkan isu yang terjadi di kampus sendiri. Pengawalan pemilihan rektor UGM 2012-2017 menjadi contoh yang baru saja terjadi. Sporadisasi diperlihatkan secara gamblang, transparan. Beberapa gerakan mahasiswa maju mengawal pilrek dengan atribut golongan, dengan tuntutan berlainan. Tercatat, ada BEM KM, DEMA Justicia, GARPU, BEM Faklutas, dan di akhir muncul FORKOM FISIPOL melakukan pengawalan. Tuntutan berbeda muncul selama proses pilrek. BEM KM dan DEMA Justicia, dan gabungan BEM Fakultas memercayakan proses pilrek terhadap MWA dengan desakan agar MWA memilih calon rektor sesuai aspirasi mahasiswa. Sedangkan GARPU menuntut perombakan kepengurusan MWA dan panitia AdHoc. Aksi, diskusi, dan surat rekomendasi menjadi jalan pendesakan yang diambil.
Sporadisasi itu juga diperlihatkan sampai puncak pemilihan rektor. Meski datang bersama-sama dan mengaku melakukan aksi bersama, sekat golongan itu jelas terlihat, minimal sekat dalam bentuk perbedaan atribut. Perbedaan atribut itu seolah menjadi bukti eksistensi organisasi, bahwa organisasi mereka terus ada dan peduli dengan proses yang terjadi.
Hal-hal itu menunjukkan bahwa sporadisasi gerakan sulit untuk dipecahkan. Dahrendorf pernah mengatakan bahwa gerakan mahasiswa telah memosisikan diri sebagai kelompok kepentingan yang secara sadar memilih vis a vis dengan penguasa. Ideologi gerakan menjadi hal penting dalam memosisikan diri sesuai dengan kepentingan. Apabila memihak pada Dahrendorf, memang tidak bisa disalahkan ketika entitas gerakan itu bergerak dengan cara berbeda, sesuai kepentingan yang mereka bawa.
Tapi jangan lupa, mahasiswa, juga gerakan mahasiswa, merupakan agent of change, agent of social control, dan moral force. Ketika fungsi-fungsi yang melekat dalam diri gerakan mahasiswa hanya diikuti dengan kata kepentingan golongan, lalu mau dikemanakan mahasiswa lain yang tak tergabung dalam entitas golongan mereka? Padahal, fungsi-fungsi itu tidak dibatasi hanya untuk kepentingan golongan semata, tapi benar-benar untuk kepentingan bersama, kepentingan publik.
Sekarang, perjuangan dalam proses pemilihan rektor ini belum selesai. Rektor UGM tidak bisa menjalankan dan menjadikan UGM sesuai dengan statuta seorang diri. Rektor akan memilih orang-orang profesional dan dapat dipercaya untuk membantunya untuk menduduki jabatan-jabatan penting sebagai konseptor dan pelaksana teknis pembangunan UGM, baik dalam tataran pembangunan sosial maupun pembangunan fisik.
Mulai dari kamis (22/3) kemarin, saat Pratikno terpilih menjadi rektor sampai beberapa waktu ke depan, ia akan didekati banyak orang dengan banyak kepentingan. Ini tidak boleh luput dari pengamatan dan pengawalan mahasiswa. Orang sebaik apapun, dengan ide sebrilian apapun, konsep sematang apapun, tawaran kebijakan yang berpihak pada publik pun bisa berbelok dikarenakan orang-orang di sekelilingnya.
Oleh karena itu, untuk kepentingan bersama, apa salahnya gerakan mahasiswa duduk bersama. Membangun perspektif dan tujuan bersama. Kesampingkan dulu kepentingan ataupun eksistensi golongan. Bergerak dan berjuang atas nama mahasiswa, bukan sekadar organisasi yang berpura-pura mengatasnamakan mahasiswa.
Fitria Nurhayati
Pemimpin Redaksi BPPM Balairung