Di sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, aksi demonstrasi mahasiswa adalah sebuah keniscayaan. Ia menjadi bagian dari kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh hukum. UU Nomor 9 Tahun 1998 bahkan dengan tegas mengatakan setiap elemen masyarakat termasuk mahasiswa berhak untuk melakukan aksi demonstrasi. Maka, menjadi sesuatu yang mengherankan ketika beberapa waktu yang lalu Rektor UGM mengeluarkan surat edaran yang isinya meminta Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM menyerahkan nama-nama mahasiswa yang ikut demonstrasi menolak kebijakan parkir berbayar di dalam kampus.
Surat edaran ini disertai ancaman pembekuan dana dan pelarangan berkegiatan jika BEM UGM tidak mau menyerahkan nama-nama tersebut. Ancaman ini jelas tidak bisa kita pandang main-main.
Pertama, ini menunjukkan indikasi menguatnya rezim anti kritik di dalam kampus. Aksi demonstrasi pada dasarnya adalah upaya untuk mempertanyakan sebuah kebijakan. Ia menjadi bentuk kritik terhadap kebijakan yang menyimpang.
Dalam iklim kebebasan berpendapat, sebuah kritik seharusnya ditanggapi dengan berlapang dada. Apalagi jika kebijakan yang dijalankan memang tidak bermasalah tentu tidak perlu takut dengan kritik. Ia bahkan bisa menjadi masukan yang berharga dalam sebuah kebijakan.
Kritik yang muncul biasanya merupakan sebuah respon karena tidak tercapainya value excpectetion dari mahasiswa. Artinya, kritik juga menjadi bagian untuk memperbaiki kebijakan yang ada apabila dirasa tidak tepat.
Namun, ketika kritik ditanggapi dengan ancaman balik, bukankah itu hanya menunjukkan bahwa ada yang salah dengan kebijakan tersebut? Ancaman tersebut juga menjadi salah sasaran karena hanya menjauhkan diri dari substansi kebijakan.
Kedua, ancaman tersebut menggambarkan sebuah kekuasaan yang ahistoris. Jika kita lihat, sejarah negeri ini adalah sejarah panjang gerakan protes yang dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa selalu berada di garda terdepan dalam setiap perubahan sosial politik yang terjadi di negeri ini.
Tahun 1966, gerakan mahasiswa bersama militer berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Lama Soekarno yang dianggap telah menyengsarakan rakyat. Tahun 1974, mahasiswa melakukan perlawanan terhadap dominasi Jepang atas pasar dalam negeri. Perlawanan yang memicu pecahnya kerusuhan yang sekarang kita kenal dengan peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari).
Sementara yang paling legendaris, tentu saja kegemilangan perlawanan mahasiswa di tahun 1998 yang berhasil menumbangkan rezim otoriter Orde Baru yang sudah menguasai Indonesia selama 32 tahun. Mahasiwa di Yogyakarta bahkan menjadi salah satu pusat aksi perlawanan.
Penggalan episode sejarah tersebut saja sudah cukup untuk membuat kita memahami bahwa salah satu elemen yang memperjuangkan iklim keterbukaan seperti saat ini adalah mahasiswa. Perjuangan yang kadang dilakukan melalui serangkaian aksi demonstrasi yang mengorbankan darah bahkan nyawa. Tak terhitung banyaknya mahasiswa yang hilang dan diculik setelah melakukan aksi demonstrasi.
Ketiga, represi melalui surat edaran tersebut menjelaskan bagaimana kampus telah mengkhianati keberadaanya sendiri. Seperti yang pernah diungkapkan Nugroho Notosusanto, sejak masih menuntut ilmu, mahasiswa sudah diberi beban untuk memberikan sumbangan pemikiran, kepandaian, pengetahuan, serta pertimbangannya terhadap kondisi bangsa.
Dengan demikian, kampus sekaligus menjadi sarana belajar bagi mahasiswa untuk belajar menjadi pemimpin dan dipimpin. Sebagai sarana belajar, ruang untuk menyampaikan pendapat, memberikan kritik, serta mengelola perbedaan pendapat harus dibuka selebar-lebarnya.
Ketika ruang itu dibatasi bahkan ditutup, mahasiswa tidak mempunyai ruang untuk menjadi man of analysis. Ia hanya menjadi objek pendidikan tinggi yang pasif dan tidak memiliki inisiatif, bahkan tidak mampu mempertanyakan sebuah kesalahan yang nampak terlihat di depannya.
Hasilnya, ketika mahasiswa sudah lulus dari perguruan tinggi, ia hanya akan melanggengkan sistem yang berlaku saat ini. Harapan untuk melihat mahasiswa sebagai agent of change pun hanya tinggal terasa sebagai sebuah impian yang jauh panggang daripada api.
Keadaan inilah yang patut menjadi perhatian kita bersama. Kampus sudah sepatutnya membuka ruang lebar bagi kebebasan berpendapat. Selama aksi demonstrasi yang dilakukan tidak menggangu ketertiban umum dan tidak melanggar ketertiban umum, represi tidak perlu dilakukan.
Namun, jika represi tetap saja dilakukan, gerakan mahasiswa perlu menyatukan sikap. Kebebasan yang pernah diperjuangkan bersama tidak boleh kalah oleh rezim anti kritik yang mulai muncul kembali. Tradisi demokrasi di dalam kampus tetap harus dijaga.
Oleh:
Wisnu Prasetya Utomo – Mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM 2007