Masyarakat kembali dikejutkan dengan rencana pembangunan Gedung MPR/DPR/DPD yang memakan biaya hingga Rp 1,6 Triliun. Rencana ini bocor dan tersebar luas ke masyarakat yang kemudian semakin cepat persebarannya melalui instrumen media massa. Masyarakat sipil terutama mahasiswa kembali memprotes rencana pembangunan gedung yang memakan biaya setara dengan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) untuk 22 juta penduduk miskin (Kompas, 1 September 2010). Bahkan mantan Wakil Presiden Indonesia periode 2004 – 2009 Muhammad Jusuf Kalla ikut memprotes rencana pembangunan gedung yang menelan biaya triliyunan rupiah tersebut.
Sistem perwakilan dalam konteks demokrasi modern yang berasal dari pembentukan House of Lords dan House of Representatives di Inggris memiliki inti pada pembatasan kekuasaan raja yang absolut melahirkan konsep parlemen yang dianut dalam sistem sosial politik negara-negara di dunia. Pemikiran mengenai pembagian kekuasaan ini juga sejalan dengan pemikiranTrias Politica di Prancis. House of Representatives atau MPR/DPR/DPD di Indonesia memiliki fungsi utama, yaitu menyuarakan pendapat rakyat. Tetapi sepertinya terbalik dalam kondisi sekarang. Para wakil rakyat seperti ingin disuarakan suaranya dengan cara duduk di Senayan yang gedungnya akan dibangun tersebut, bukan menyuarakan suara rakyat yang seharusnya mereka lakukan.
Pembangunan gedung baru dengan fasilitas kolam renang, spa, dan segala kelengkapan layaknya hotel mewah tersebut seharusnya dipikirkan ulang oleh para legislator, para wakil rakyat, yang idealnya mampu tahu apa yang rakyat kebanyakan inginkan dari mereka.
Demokrasi perwakilan memang suatu rezim yang bisa dibilang paling adil dalam menginstitusionalisasi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Tetapi, demokrasi perwakilan yang menjelma dalam parliementum (parlemen) juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Gedung parlemen yang dinilai sudah “usang dan kurang besar” menjadi argumen yang melatarbelakangi rencana tersebut. Para wakil rakyat yang mewakili suara rakyat merasa tempat untuk parle (suara) atau menyuarakan pendapatnya sudah tidak kondusif untuk rapat-rapat mereka yang juga kebanyakan dilalui dengan tidur atau tidak hadir karena alasan yang biasa ditiru anak-anak sekolah dasar (SD).
Survei yang dialkukan Charta Politica menunjukkan bahwa performa DPR periode 2009- 2014 lebih buruk dibandingkan dengan DPR periode sebelumnya. Saat ini DPR sibuk dengan hanya berkutat soal isu-isu kontroversial yang dibuatnya sendiri. Dalam survey tersebut, sebanyak 80,5 persen responden menyatakan tidak setuju jika anggota DPR memerlukan ruangan yang baru dan lebih bagus (Kompas, 2 September 2010).
Adalah kinerja DPR 2009-2014 yang belum dapat dinilai bagus oleh kalangan masyarakat dan analis politik menunjukkan citra negatif DPR yang hanya mementingkan egoismenya semata dalam menjalankan amanah dari rakyat. Kita mengaku negara yang demokratis, tetapi sistem untuk mendukung demoktratisasi sepeti parlemen selalu dipelintir oleh orang-orang yang mewakili rakyat miskin di Senayan sana.
Seharusnya pemerintah yang masih memiliki rasa peduli dan peka terhadap keinginan masyarakat ambil suara untuk menolak rencana “gila” tersebut. Pihak eksekutif yang memiliki legitimasi langsung oleh rakyat adalah titik berat harapan yang vital oleh masyarakat kebanyakan. Jangan biarkan sistem yang sudah ada seperti dispersion of power dan check & balances malahan menghambat keputusan yang seharusnya dilakukan pihak eksekutif selaku pemimpin resmi yang legalitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi untuk berbuat. Bukan hanya diam membisu dan monggo wae dengan rencana para legislatornya.
Mana suara-suara partai politik yang memiliki akses untuk menyuarakan suara rakyat kebanyakan itu? Mereka hanya diam? Terlena dengan fasilitas hotel berbintang lima yang akan mereka rasakan nanti sambil memunggungi rakyat? Sungguh sedih apabila John Locke (pemikir Inggris mengenai konsep parlemen) datang dan melihat bahwa orang-orang yang mengaku wakil rakyat duduk dalam gedung parlemen yang masih sangat layak bahkan sekedar untuk walimahan itu hanya diam membisu dan manggut tak karuan dengan rencana pembangunan gedung MPR/DPR/DPD yang menelan rupiah yang tidak sedikit.
Masih banyak rakyat miskin yang tidak memiliki ruangan sekedar untuk berteduh dari derasnya hujan dan teriknya matahari siang yang berdiaspora di seluruh pelosok tanah air. Mereka tidak memiliki rumah yang layak untuk ditinggali oleh sanak keluarga mereka. Dimanakah negara? Dimanakah pemerintah? Jawabanya adalah mereka sedang sibuk merencanakan pembangunan Hotel MPR/DPR/DPD di Jakarta.
Apabila rencana pembangunan gedung tersebut goal untuk segera dilaksanakan pembangunannya, maka saya sarankan bagi yang ingin mengembangkan bisnisnya, pesanlah mulai sekarang tempat untuk kios anda di sana, siapa tahu anda akan mendapat keuntungan yang besar karena membuaka usaha di gedung MPR/DPR/DPD yang baru, serta memperoleh kehormatan karena langganan anda adalah para politisi yang “tuli lagi bisu” disaat rakyat tidak menyetujui pembangunannya.
Demokrasi perwakilan yang tidak pernah mewakili.
Maju terus Indonesia bangsa dan negaraku!
Oleh: Faisal Arief Kamil—Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan 2009 (UGM)