Setelah dulu sempat menyangkal, UGM akhirnya akan segera memberlakukan parkir berbayar di kawasan kampus. Setiap kendaraan roda dua yang masuk kampus akan dikenai tarif seribu rupiah, sementara untuk kendaraan roda empat dikenai biaya dua ribu rupiah. Mahasiswa baru yang akan masuk UGM pun diwajibkan membayar dua ratus ribu jika ingin membawa mobil ke kampus. Kebijakan ini seolah mengingkari Surat Edaran Rektor UGM pada bulan Agustus 2009 lalu yang menjelaskan bahwa UGM tidak akan mengadakan parkir berbayar. Surat Edaran tersebut bahkan menyalahkan beberapa media massa yang dianggap telah menyebarkan informasi yang keliru. Namun, kondisi yang ada saat ini justru membuktikan sebaliknya.
Tidak dapat dipungkiri, hal ini semakin membuktikan bahwa institusi pendidikan sedang mengalami proses komersialisasi yang luar biasa. Pencabutan UU BHP pun tidak berarti bahwa komersialisasi kampus sudah berhenti. Bahkan justru semakin bertambah marak. Tidak hanya menjadi objek bagi pasar, perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan bahkan sudah menjadi pasar itu sendiri. Logika yang digunakan dalam pasar tentu saja logika transaksional di mana semua hal diukur dari uang. Tak heran, banyak sarana pendidikan yang dikomersilkan.
Komersialisasi di sektor pendidikan negeri ini tidak berdiri sendiri. Berbagai kebijakan tersebut muncul sebagai bagian dari paket program neoliberal. Paket program yang berupaya mengurangi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga tehadap pendidikan serta hak-hak dasar lainnya.Paket program yang digulirkan Amerika Serikat (termasuk Bank Dunia, WTO, IMF) tercantum dalam Kesepakatan Washington. Kesepakatan yang muncul pada tahun 1989 itu menggulirkan sepuluh rekomendasi, di mana salah satunya menyebutkan bahwa pendidikan menjadi diswastanisasikan. Swastanisasi ini membuat pemerintah tidak ikut campur dalam pendanaan yang dilakukan oleh perguruan tinggi.
Karena negara kemudian melepaskan tanggung jawabnya dari segi pendanaan, perguruan tinggi di berbagai daerah dengan kreativitas dan bermacam cara mencoba menggali dana sendiri. Dari mulai meningkatkan biaya pendidikan, sampai mengomersialisasikan berbagai sarana yang ada di kampus. Para pimpinan perguruan tinggi tiba-tiba menjadi jeli untuk membuka celah bisnis yang bisa dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan. Bisa kita lihat melalui trend yang berkembang saat ini di mana perguruan tinggi membuat mall di dalam kampus. IPB membangun Ekalokasari Plaza atau E-Plaza. Di kampus UI Depok tumbuh berbagai outlet bisnis, seperti restoran Korea, Alfa Mart, sampai kantor bank. ITB bekerja sama dengan PT Niaga Aset Manajemen membentuk reksadana yang merupakan produk jasa keuangan. Yang paling ironis, pembangunan mal di UGM terhambat. Bahkan UGM harus menanggung malu karena harus membayar ganti rugi Rp 44 miliar, setelah dituntut oleh kontraktor mal yang merasa dibohongi.
Sheila Slaughter dan Larry L. Leslie dalam buku Academic Capitalism: Politics, Policies, and the Enterpreneurial University (1997) menjelaskan kondisi di atas sebagai kapitalisme akademik. Istilah ini mengacu pada institusi pendidikan yang kemudian menganut sistem ekonomi pasar di mana setiap keputusan yang dilakukan para pimpinan perguruan tinggi didasarkan pada mekanisme pasar. Satu per satu fasilitas yang ada di kampus kemudian diberi harga, ditawarkan kepada calon konsumen. Siapa yang memiliki uang, boleh mengakses berbagai fasilitas, sementara yang tidak punya uang diminggirkan pelan-pelan. Simak saja. Pembangunan hotel dalam kampus, mall, restoran, penyewaan gedung-gedung untuk acara non-akademik cukup menjadi bukti awal bagaimana mekanisme pasar bekerja.
Perubahan Paradigma
Dengan arah pengembangan perguruan tinggi yang kini diarahkan pada orientasi bisnis, perguruan tinggi kini telah mengalami pergeseran paradigma. Agus Suwignyo (2007), menyebutkan ada empat pergeseran paradigma tersebut. Pertama, penyelenggaraan perguruan tinggi yang semula menaruh perhatian pada pertanyaan reflektif, eksploratif dan humanis kini berubah menjadi utilitarian. Kedua, perguruan tinggi kemudian kehilangan tanggung jawab atas perkembangan dan perubahan masyarakat menyangkut aspek, sosial, politik dan peradaban manusia. Fokus yang diambil saat ini hanya sebatas pada graduate employabilityatau keterserapan lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja. Berbagai program penelitian yang seharusnya memiliki manfaat bagi masyarakat sekitar justru terkadang digunakan untuk mencari keuntungan semata. Dapat kita saksikan beberapa penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi belakangan ini. Beberapa saat yang lalu, dua perguruan tinggi terbesar di tanah air bahkan terlibat dalam penelitian yang didanai oleh pihak yang diduga sebagai pengemplang pajak terbesar di tanah air.
Ketiga, semangat pragmatisme mulai menjiwai praktek penyelenggaraan kegiatan yang dilakukan di kampus. Semua dikerjakan untuk memetik keuntungan. Jurusan-jurusan atau bidang studi tertentu dibuka bahkan kuotanya selalu ditambah karena banyak peminat. Biaya masuk jurusan favorit ini naik setiap tahun. Sementara itu, jurusan-jurusan yang sepi peminat kemudian dianaktirikan, bahkan ditutup. Keempat, pendekatan manajerial perusahaan atauuniversity company approach dalam pengelolaan universitas semakin kuat. University company approach ini bertitik tolak dari anggapan bahwa organisasi perguruan tinggi adalah organisasi perusahaan. Karena itu, pengelolaannya pun harus dijalankan dengan kerangka manajemen perusahaan.
Paulo Freire menyebut model university company approach ini sebagai pendekatan gaya bank yang berdampak langsung pada proses pendidikan yang terjadi di dalam perguruan tinggi. Hasil dipentingkan. Inilah yang kemudian disebut sebagai menara gading. Kebijakan-kebijakan perguruan tinggi tidak pernah benar-benar menghadapkan perguruan tinggi pada masalah yang sebenarnya. Bahkan cenderung menjadi upaya untuk melakukan domestifikasi fungsi perguruan tinggi sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di negeri ini. Tentu saja ini mencederai hakikat keberadaan perguruan tinggi. Alih-alih menjadi benteng bagi perkembangan ilmu pengetahuan, berbagai kebijakan yang dikeluarkan justru ditujukan untuk kepentingan ekonomi segelintir elite kampus.
[Wisnu Prasetya Utomo]