Judul Buku : Paulo Freire: Kehidupan, Karya dan Pemikiran
Penulis : Denis Collins
Penerjemah : Henry Heyneardhi, Anastasia P.
Penerbit : Yogyakarta, Komunitas Apiru dan Pustaka Pelajar
Cetakan : III, Oktober 2011
“Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya.” (Paulo Freire)
Penindasan di dunia pendidikan sulit berakhir sebagaimana terlihat dengan munculnya berbagai problem pendidikan yang tidak terselesaikan. Kebijakan Ujian Nasional, komersialisasi pendidikan yang tersistematis, hingga masalah kekerasan dalam pendidikan adalah bentuk ketertindasan. Sepertinya dunia pendidikan kita menutup mata akan adanya konsep pendidikan Paulo Freire. Dia adalah salah satu tokoh pendidikan Brazil yang diakui dunia karena prestasinya. Melalui karya pemikirannya tetang pendidikan, Freire mampu mengangkat dunia pendidikan Brazil yang sempat terpuruk. Oleh karena itu, sangat relevan jika buku karya Dennis Collins ini menjadi bahan renungan bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Pada bab pertama, penulis banyak mengulas tentang hidup Paulo Freire sebagai seorang pendidik yang selalu optimis akan usahanya meski dalam kemiskinan dan pembuangan. Freire lahir di sebuah kota pelabuhan di timur laut Brazil tanggal 19 September 1921. Walaupun lahir dan besar dari kalangan kelas menengah, Freire sempat mengalami langsung kemiskinan pada masa Depresi Besar 1929. Pada waktu itu, Brazil merupakan negara yang bergejolak akibat krisis politik yang terjadi. Akibatnya, kondisi sosial-ekonomi negara ini menjadi terpuruk dalam kemiskinan. Keadaan yang demikian membentuk keprihatinan Freire terhadap kaum miskin dan ikut membangun dunia pendidikan di Brazil. Oleh karena kondisi tersebut, Freire mendedikasikan diri sebagai kepala lembaga Cultural Extention Service. Lembaga itu bertujuan untuk memberikan bantuan pendidikan, terutama program melek huruf bagi masyarakat buta aksara. Saat itu, penduduk Brazil berjumlah sekitar 34,5 juta jiwa, namun hanya 15,5 juta orang saja yang bisa membaca dan menulis.
Dalam metode pengajarannya, ia menggunakan pendekatan kultural dan proses dialogis. Misalnya dalam penerapan metode baca dan tulis, Freire menggunakan media komunikasi yang generatif. Maksudnya, Freire mengajar dengan menunjukkan realitas kontekstual masyarakat yang menjadi anak didiknya. Selain itu, dalam pengajarannya, ia menemukan bahwa masyarakat buta huruf sangat antusias memahami realitas kehidupan di sekitarnya. Pada tahap ini, Freire percaya bahwa pendidikan yang dialogis dengan rakyat yang tertindas dapat menuntun pada dunia yang lebih manusiawi.
Freire menyebutkan, bahwa sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diibaratkan sebagai sebuah “bank”. Dalam sistem ini, anak didik adalah objek investasi dan sumber deposito peotensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditas ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga kemasyarakatan yang berkuasa, sementara depositonya berupa pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Freire percaya bahwa tugas utama sistem pendidikan itu adalah reproduksi ideologi kelas dominan sebagai alat mempertahankan kekuasaan mereka. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai ”bejana kosong” yang akan diisi sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi, guru adalah subjek aktif, sedang anak didik adalah objek pasif yang penurut. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus diingat dan dihafalkan. Akibatnya, para murid diperlakukan sebagai objek teori pengetahuan yang tidak berkesadaran pada realitas di sekelilingnya.
Sistem yang demikian berdampak pada “dehumanisasi pendidikan”. Oleh Freire, dehumanisasi diartikan sebagai pelanggeng hegemoni kaum dari kelompok sosial tertentu untuk menindas kaum dari kelompok sosial lainnya. Menindas juga dapat diartikan menafikkan ide-ide tentang kemanusiaan. Oleh karena itu, Freire begitu bergairah untuk menggagas ide tentang bagaimana membangun sebuah sistem pendidikan yang progresif terhadap permasalahan kehidupan.
Pada uraian selanjutnya, buku ini banyak membahas filsafat Freire tentang pendidikan sebagai praktik pembebasan. Pendidikan yang ideal, seharusnya berorientasi kepada nilai-nilai humanisme. Humanisme pendidikan yang dimaksud Freire adalah mengembalikan kodrat manusia menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau objek. Freire berharap sistem pendidikan ini menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia dari kondisi ketertindasan.
Selain itu, Freire menginginkan proses belajar sebagai bentuk investigasi kenyataan. Maksudnya, proses pendidikan itu melibatkan indentifikasi permasalahan yang terjadi di masyarakat. Konteks pendidikan negara agraris misalnya, kurikulum pendidikannya juga harus melibatkan realitas permasalahan pertanian di dalamnya. Selain itu, Freire juga mencontohkan sistem pengajaran idealnya antara guru dan murid. Proses ini merupakan investigasi bersama-sama yang terus dilakukan oleh para murid. Para murid diharuskan memahami bahwa kegiatan mengetahui adalah suatu proses yang tidak pernah berakhir. Sedangkan bagi para guru, mereka harus memposisikan diri juga sebagai murid yang tidak pernah berhenti untuk belajar. Dalam tahap ini, Freire percaya bahwa pendidikan yang dialogis dengan rakyat yang tertindas dapat menuntun pada dunia yang lebih manusiawi.
Di akhir tulisan buku ini, melalui karya pemikirannya tentang pendidikan, Freire telah mengingatkan dengan tegas bahwa setiap orang harus berjuang untuk menjadi manusiawi. Maksudnya, mampu membebaskan diri dari kesadaran penindasan yang dikonstruksikan oleh kalangan atas. Pembebasan tersebut dapat tercapai melalui investigasi menyeluruh tentang budaya yang membentuk karakter masyarakat yang apatis terhadap ketertindasan dirinya. Freire berharap konsep pendidikan yang ia tawarkan mampu menjadi roda mobiltas kaum miskin.
Terlepas dari uraian di atas, kualitas penulisan buku terjemahan ini perlu mendapat sorotan bagi pembacanya. Hal itu dikarenakan pada tulisan buku ini sering dijumpai lompatan logika ide tulisan antara paragraf satu dengan yang lainnya. Akibatnya, pembaca awam sulit mencerna ide yang ingin disampaikan. Namun terlepas dari itu, buku terjemahan karya Denis Collins ini sangat menarik untuk dibaca, terutama bagi para praktisi pendidikan. Alasannya, buku ini menyajikan cerita kehidupan, karya, dan pemikiran tokoh pendidikan dunia seperti, Paulo Freire yang disampaikan dalam bentuk rangkuman. Dengan begitu, pembaca lebih cepat memahami teori pendidikan Paulo Freire secara praktis. [Ach Fikri S.M.]
2 komentar
[…] semacam itulah yang dikecam oleh Paulo Freire, seorang pemikir besar dalam aliran pedagogi kritis. Ia memiliki nama lengkap Paulo Reglus Neves […]
Yeah,sy suka sekali pemikirannya Paulo Freire