Seorang pria berdiri di samping rel kereta. Garis-garis kerutan menghiasi wajahnya. Dengan tatapan kosong ia menatap kejauhan, seakan mengingat masa lalunya. Ketika itu, ia masih bekerja di Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Namun tragedi di tahun 1987 mengubah hidupnya. Kereta yang dikemudikan Slamet Suradio, sang masinis itu menabrak kereta api lain. Ratusan orang meninggal dunia, sementara ia sendiri terluka. Mata Slamet terkena pecahan kaca. Kakinya luka-luka sehingga harus dijahit. Setelah tragedi Bintaro 1987 itu, Slamet diberhentikan dengan tidak hormat oleh perusahaan. Ia tak menerima uang pensiun sepeser pun meski telah mengabdi pada perusahaan selama puluhan tahun. Kini Slamet menghabiskan hari tua dengan berjualan asongan di sekitar Stasiun Kutoarjo.
Bahtiar Kartowirodji memotret kisah Slamet itu melalui lensanya. Data persidangan dan kartu identitas Slamet saat masih bekerja tak lupa ia abadikan pula. Dua benda itu menjadi saksi bisu perjuangan Slamet menuntut keadilan yang tak pernah ia terima. “Saya sampai ditodong pistol oleh polisi supaya mau mengaku sebagai pelaku kejadian itu. Padahal seorang masinis tidak akan berani melalui jalur kereta bila belum mendapat sinyal aman dari pemimpin perjalan kereta api,” kata Slamet yang dikisahkan Bahtiar dalam narasi fotonya.
Sementara itu, di seberang pintu masuk pameran, Anisa Fainaka memajang tiga buah foto bidikannya. Sebuah foto jembatan kayu sederhana disangga besi berwarna hitam-putih terpampang. Tali yang saling mengait menjadi pegangan. Tali itu sekaligus memperkokoh konstruksi jembatan, membuatnya tidak goyang bila dilalui orang. Aliran sungai mengalir di bawahnya. Jembatan dekat Sungai Progo, Magelang ini selalu dilalui warga dalam aktivitas sehari-hari. Seperti yang diabadikan Anisa di foto berikutnya, saat seorang lelaki berpenampilan sederhana melintasi jembatan. Pun ketika seorang ibu berdiri membelakangi, tampak hendak pergi.
Tak jauh dari foto itu, delapan buah foto merekam aktifitas Djaelan, ahli reparasi payung di Pasar Rejowinangun, Magelang. Kotak kayu berisi tang, penjepit, obeng, gunting dan perlengkapan lain menemani lelaki yang pendengarannya mulai berkurang itu. Sebuah gelas berisi teh yang diletakkan di meja meredakan dahaga Djaelan saat bekerja.
Di foto lain, selembar uang dua ribu dan seribu rupiah tergeletak di atas keset warna-warni. Ini semacam gambaran upah yang biasa diterima Djaelan sehari-hari usai mereparasi sebuah payung. “Pak Djaelan tak pernah menawarkan keahliannya,” terang Suharyo Widyatmojo, anggota angkatan XX Unit Fotografi UGM. Djaelan selalu diam menunggu pembeli. Dua buah payung bekas yang semula rusak ia perbaiki dan pasang sebagai penanda profesinya.
Di foto berikutnya, Djaelan tampak tertawa lepas saat bercengkerama dengan istrinya. Kebahagiaan yang tergambar dalam foto itu terutama muncul pada musim penghujan, saat banyak orang menggunakan jasanya. Tanpa lelah ia bekerja, meski kondisinya tak sebaik orang kebanyakan. Saat menjadi pekerja bangunan, ia sempat mengalami kecelakaan. Kaki kirinya diamputasi. Sepasang kruk lalu membantunya beraktivitas sehari-hari.
Human interest menjadi topik yang diangkat dalam pameran foto “Cerita Hari Ini” di Misty Gallery, mulai 28 September-2 Oktober 2013 ini. Foto-foto yang ditampilkan menyimpan kisah yang menggungah nurani. Pencantuman narasi dalam teks penjelas di bawah judul membantu mengungkapkan kisah para obyek foto ini. Meski demikian, tak semua fotografer memberi narasi ini. Salah satunya Anisa, yang memilih fotonya tampil dengan judul saja.
Masing-masing karya mengangkat pesan berbeda dalam pameran foto ini. Salah satunya Annisa yang mengemukakan tentang infrastruktur sebagai sesuatu yang penting untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari. “Seperti jembatan itu, penting bagi orang yang datang, pergi dan beraktifitas di situ,” ungkapnya. Sementara itu, Suharyo mencoba menyampaikan semangat untuk tetap berusaha meski mempunyai kekurangan. “Saya kagum dengan semangat Djaelan,” kata Suharyo tentang obyek fotonya.
Meski demikian, Abraham Mudito, sang kurator menilai sejumlah foto kurang tereksplorasi sehingga nilai estetis foto dan kedalaman konten menjadi kurang. “Namun, pameran ini sudah cukup kalau tujuannya untuk membangun ikatan angkatan antar anggota angkatan XX Unit Fotografi UGM,” komentar Abraham. [Inez Christyastuti Hapsari]