Sawahlunto, kota kecil di Provinsi Sumatera Barat itu pernah menyimpan sejarah kelam tentang perburuhan. Ribuan tahanan dari penjara di Indonesia, khususnya Jawa didatangkan dengan kapal untuk menjadi buruh paksa. Kaki mereka dirantai, tenaga mereka diperas untuk menghasilkan batu bara atau âemas hitamâ bagi pemerintah Belanda. Para Orang Rantai atau âRang Ranteâ ini tidak bisa menolak bekerja dan melarikan diri karena dapat terkena sanksi hukum (punale sanctie).
Sejumlah tindakan juga dilakukan pemerintah Belanda untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja. âMelalui perdagangan candu, perjudian dan prostitusi terselubung, pemerintah Belanda âmengikatâ para buruh itu,â terang Prof. Dr. Sjafri dalam âSeri Seminar Kebudayaan di Indonesia: Masyarakat dan Kebudayaan Sawahluntoâ , Rabu (25/9) lalu. Guru Besar Antropologi UGM dan UUM Malaysia ini memaparkan, praktek tersebut dilakukan saat hari âgajian besarâ dan âgajian kecilâ. Praktek perburuhan di Sawahlunto memang mengenal sistem dua kali gaji, yaitu di awal dan pertengahan bulan, seperti yang terjadi di perkebunan Sumatera Timur. Pada awal bulan, jumlah gaji yang dibayarkan lebih besar daripada saat pertengahan bulan.Tujuannya, membuat buruh kehabisan uang dan berhutang. Saat kontrak kerja tersebut habis, mereka pun terpaksa membuat kontrak kerja baru.
Praktek perburuhan ini mulai berhenti menjelang abad 21. Menipisnya persediaan batu bara di Sawahlunto menjadi alasan yang mendasari hal ini. Kini, lokasi pertambangan batu bara digunakan pemerintah kota sebagai obyek wisata. âIni sesuai dengan visi kami sejak tahun 2001 yang menjadikan Sawahlunto sebagai âKota Wisata Tambang yang Berbudayaâ,â ujar Ismed, S.H., Wakil Walikota Sawahlunto yang turut hadir dalam seminar itu.
Visi Sawahlunto tersebut bisa dilihat dari masyarakat yang multietnik. Dr. Aprinus Salam, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM mengungkapkan, masuknya buruh pekerja dari berbagai daerah turut menyumbang budaya baru bagi Kota Sawahlunto. Salah satunya bisa dilihat dalam bahasa Tansi yang terbentuk dari 10 bahasa yang saling bercampur (creole). âBahasa itu terbentuk antara lain bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, Bugis, Cina, Batak dan Belanda,â ujarnya.
Tak hanya dalam bidang bahasa, beragamnya etnik di Sawahlunto juga bisa dilihat dari kehidupan sosial masyarakatnya. âHal itu melahirkan ide tentang Indonesia yang beragam dan ikut memengaruhi pemikiran Moh. Yamin,â cetus Dr. Elsa Putri E. Syafril, M.Pd, pembicara lain. Moh. Yamin merupakan seorang pemikir kebangsaan yang berasal dari Sawahlunto. Gagasannya tentang kehidupan berbangsa dinilai muncul sebelum dicetuskan Soekarno.
Munculnya kebudayaan baru menyebabkan identitas kebudayaan tersebut tidak jelas. Namun, masyarakat pembentuknya tetap berusaha mencari korelasi tentang akar pembentuk kebudayaan itu. Dalam penelitian Elsa, korelasi itu turut dicari melalui hubungan antara lubang tambang âMbah Soeroâ dengan Samin Surosentiko, pendiri komunitas Sedulur Sikep di Blora. Lubang tambang itu diberi nama sesuai mandor pertambangan yang dinilai taat beragama dan pekerja keras.
Gunretno, penerus Samin Surosentiko yang hadir dalam seminar itu menyebutkan bahwa leluhurnya pernah dibuang ke beberapa tempat oleh Belanda. âTerakhir kali dibuang ke Sawahlunto,â terangnya. Meski begitu, data tentang nama para buangan yang dijadikan pekerja tetap tidak diketahui karena di nisan pun hanya tertulis nomor saja. âNomor itu menjadi identitas para buruh saat itu yang dicap dengan besi panas di lengan kanan bagian dalam. Untuk mengetahui siapa pemilik nomor identitas itu, perlu melacaknya hingga ke Belanda,â tambah Elsa. Hal itu membuat generasi di bawah Samin Soerosentiko juga tak bisa melacak jejak leluhurnya.
Agus Hernawan selaku ketua panitia mengungkapkan, adanya cara pandang yang salah dalam kebudayaan menjadi alasan terselenggaranya seminar kebudayaan ini. âSelama ini bila kita menyebut tentang kebudayaan, yang muncul kebudayaan Jawa dan sebagainya. Sementara kebudayaan-kebudayaan lain dianggap sebagai kebudayaan âhalaman belakangâ,â ujarnya. Karena itu, kesetaraan posisi antara pemerintah, akademisi, aktivis dan masyarakat dalam seminar ini diharapkan dapat memberi pengayaan tentang kebudayaan. Sawahlunto diharapkan bisa menjadi model bagaimana Indonesia yang terdiri dari beragam etnik itu berlangsung. [Inez Christyastuti Hapsari]