![©khairul. bal](https://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2012/04/diskusi-RUU-pangan-2-1_563x400.jpg)
©khairul. bal
Jaringan Kastrat Agrokompleks (JANGKAR) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Liberalisasi dan Dependensi di Balik RUU Pangan” pada Kamis (5/4) sore. Bertempat di Ruang Sidang 384 Fakultas Teknologi Pertanian (FTP), acara ini menghadirkan Prof. Dr. Ir. Ali Agus, D.A.A, ketua Forum Jihad Pangan UGM, dan Dr. Jur. Any Andjarwati, S.H., M. Jur, pakar hukum pertanian. Diskusi ini diselenggarakan sebagai bentuk pengawalan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.
Mengawali diskusi, Qadaruddin Fajri Adi selaku moderator menjelaskan masalah pangan tidak hanya berurusan dengan jumlah piring yang harus dipenuhi pemerintah untuk masyarakat. Akan tetapi, masalah pangan adalah masalah hidup-mati bangsa. Menurutnya, ini akan erat berkaitan dengan upaya pemerintah untuk membuat bangsa Indonesia berjaya melalui kedaulatan pangan. “Perlu dicari cara untuk membangun sistem pangan yang ideal agar kedaulatan pangan benar-benar didapat. Dalam hal ini UU Pangan menjadi dasar untuk mewujudkannya,” ungkap Qadar.
Indonesia adalah negara agraris yang besar. Walaupun demikian, hukum menyoal pertanian belum terlalu dikenal oleh masyarakat. Hukum tersebut kalah populer dengan hal-hal lain yang diduga lebih menarik perhatian masyarakat. Kendati RUU pangan seharusnya sudah disahkan pada bulan Maret lalu, terkait kendala tertentu, pembahasan RUU akhirnya diundur. “Sudah ada terlalu banyak masalah di Indonesia. Yang paling sulit adalah mencari celah yang tidak ada masalah. Terutama masalah agraria,” ujar Any.
Any menjelaskan, pada intinya, politik hukum agraria nasional bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat tani. Di dalam RUU tersebut terdapat tiga aspek yang mendasar: jaminan kesejahteraan petani, jaminan pangan penduduk dengan harga yang pantas, dan jaminan lingkungan hidup. Namun, definisi petani dan harga yang pantas masih dianggap susah untuk didefinisikan. “Permasalahan-permasalahan itu harus diselesaikan terlebih dulu pada UU Agraria. Bagaimana membuat peraturan jika data yang dimiliki tidak jelas?” tegasnya.
Lain halnya dengan Any yang menjelaskan tentang permasalahan di bidang pertanian, Ali melanjutkan diskusi dengan membahas kedaulatan pangan. Sebagai ketua Forum Jihad Pangan UGM, menurutnya kedaulatan pangan semestinya menjadi hal yang harus diupayakan. “Mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia, maka jihad pangan harus dilakukan. Jihad di sini dimaknai sebagai konsep untuk mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuan secara sungguh-sungguh,” jelasnya.
Ali menambahkan, kedaulatan dalam bidang pangan berarti hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen, bermartabat, dan bebas dari rasa takut. Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Maka dari itu hak-hak petani harus diperhatikan guna menjamin keberlanjutan pangan. “Selama ini petani tidak punya kuasa atas tanah, lebih banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan. Hak-hak petani seringkali terabaikan karena kepentingan perusahaan,” ujarnya.
Menurut Ali, masalah pangan adalah masalah bersama masyarakat Indonesia. Rakyat dan pemerintah harus bersinergi membangun kedaulatan pangan karena hal ini merupakan ruh dari UU Pangan. “Dengan dibahasnya RUU ini, semoga ketersediaan pangan secara berkelanjutan dapat terjamin sehingga dapat mencetak generasi penerus yang tangguh dan berkualitas,” tandas Ali. [Khairul Arifin]