Judul : Anarkisme : Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan
Penulis : Sean M. Sheehan
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : 2007
Karena itu seorang anarkis tidak seharusnya membeli ciuman. Ia harus menunjukkan dirinya memang patut dicium – Pamflet Kaum Anarkis Spanyol
Sering kita mendengar dan melihat di masyarakat maupun di media massa, baik televisi, radio, maupun koran menggunakan kata anarkisme. Di media massa, anarkisme sering diidentikkan sebagai sesuatu paham maupun tindakan kriminal, keras, tanpa pandang bulu, dan destruktif. Sedangkan di masyarakat, anarkisme lebih dikenal sebagai paham yang menolak adanya kehadiran negara dan pemerintah. Namun apakah benar gambaran anarkisme yang demikian? Atau adakah yang salah dengan ‘citra’ negatif anarkisme tersebut?
Jika kita menengok sejarahnya, stereotip yang melekat pada anarkisme tersebut merupakan akibat dari adanya aksi-aksi pembunuhan pada abad ke-19. Aksi tersebut berlatar belakang sejarah, dalam hal ini revolusi, pemberontakan, dan kudeta. Sebagai contoh, pembunuhan Tsar Aleksander II, Presiden Perancis Carnot, dan Presiden AS, McKinley. Aksi itu terjadi karena negara dan pemerintah ‘dianggap’ sentralistik dan otoriter dalam melaksanakan tugasnya. Akibatnya, muncullah gerakan bersama untuk melakukan penekanan atau upaya-upaya dalam rangka merubah keadaan yang demikian. Aksi-aksi tersebut digerakkan oleh kaum anarkis (penganut paham anarkisme) dengan cara-cara yang memang represif. Namun, semua itu tidak bisa dijadikan patokan bahwa anarkisme selalu berafiliasi dengan kriminal, keras, tanpa pandang bulu, dan destruktif. Bagaimanapun juga, ada faktor-faktor lain yang memang berperan dalam peristiwa maupun aksi-aksi tersebut.
Lebih lanjut, kata anarki sebenarnya berasal dari bahasa Yunani kuno yakni anarchos/anarchein. Kata tersebut kurang lebih memiliki arti kekosongan pemimpin, tidak adanya pemimpin, dan tidak adanya pemerintahan. Etimologi tersebut dalam anarkisme memiliki corak yang khas yaitu penolakan terhadap kebutuhan akan otoritas tersentral atau negara tunggal. Jadi, sebenarnya anarkis dan anarkisme tidak bisa disamaartikan dengan konsep maupun pengertian tindakan kriminal, tanpa pandang bulu, dan destruktif. Penggunaan kata yang salah atau lebih tepatnya kesalahan memaknai kata anarkisme memang perlu diperbaiki. Penilaian yang subjektif ini sangat merugikan para kaum anarkis, sehingga sampai sekarang banyak orang menggunakan kata anarkis dan anarkisme dengan salah kaprah.
Buku ini ditulis oleh Sean M. Sheehan, seorang peminat sejarah dan sastra Inggris. Buku tersebut berisi hal-hal seperti ragam anarkisme, anarkisme sebagai sebuah gerakan perlawanan, anarkisme sebagai sebuah filsafat pemikiran, hingga melihat anarkisme melalui karya seni, film, dan novel. Oleh sebab itu, untuk mengubah penilaian yang subjektif dan salah kaprah tersebut, buku dengan judul Anarkisme : Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan ini ada.
Anarkisme sebagai sebuah pemikiran atau filsafat pun sering tidak dipahami secara keseluruhan. Banyak pendapat umum yang bias dalam memahami prinsip-prinsip dan konsep anarkisme. Contohnya, hal mengenai ketiadaan negara dan pemerintahan dalam pemikiran anarkisme. Maksudnya, anarkisme tidak serta merta menegasikan kehadiran negara dan pemerintahan, tetapi menolak kehadiran negara dan pemerintahan dalam bentuk yang otoriter dan sentralistik. Anarkisme lebih menekankan pada prinsip otonomi dan swakelola dalam mengelola masyarakat yang ada. Sebagai sebuah paham, ia memberikan solusi dengan menciptakan pemerintahan dengan model asosiasi-asosiasi relawan, bentuk-bentuk federalisme, organisasi-organisasi dengan tugas spesifik dan wakil yang bertanggungjawab secara langsung.
Selain itu, sebagai gerakan perlawanan, anarkisme memang lebih terkenal banyak menggunakan cara-cara yang lebih ‘frontal’, cenderung keras, dan biasanya tanpa adanya pengorganisasian yang jelas. Namun, anarkisme model ini mulai jarang ditemui akibat perubahan di masyarakat yang semakin berkembang ke arah moderat. Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa anarkisme mulai bertransformasi ke arah yang berbeda dengan pada saat terbentuk dan berkembangnya.
Transformasi gerakan anarkisme ‘gaya baru’ ini dapat kita lihat pada gerakan melawan modal yang terjadi di Seattle, bulan November 1999. Peristiwa tersebut merupakan gerakan menolak adanya koferensi dan kedatangan World Trade Organization (WTO) di Seattle yang dianggap sebagai salah satu jantung kapitalisme global. WTO dianggap mampu mendikte kebijakan ekonomi global, tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, dan lingkupnya internasional. Dalam hal ini, kehadirannya dikhawatirkan akan berdampak pada perekomian global yang nantinya hanya akan menguntungkan sebagian kalangan elit (kapitalis).
Perubahan gerakan tersebut tampak pada instrumen-intrumen yang digunakan dalam melakukan aksi-aksi perlawanan. Dalam gerakan yang bersifat tradisional, idiom-idiom kuno seperti bom dan pistol berubah menjadi kemoceng untuk mengelitik polisi dan ketapel abad pertengahan yang melontarkan boneka-boneka kain ke arah polisi. Potret-potret rangkaian aksi tersebut dapat tergambar lewat kutipan di bawah,
“Pada demo-demo macam ini, arus lalu lintas tidak diblokir menggunakan ban-ban bakar dan bentrokan jalanan, namun oleh perangkat aneh-aneh ukuran raksasa, seperti Boneka Pembebasan yang terbukti mampu memacetkan jalan raya utama.” (Hal. 4)
Selain itu, anarkisme nyatanya terbukti banyak dilibatkan dalam karya sastra maupun karya seni, semisal novel dan film. Walaupun tidak secara eksplisit menggunakan anarkisme, namun pesan-pesan yang ingin disampaikan sangat jelas turut memperburuk citra anarkisme. Sebagai contoh, anarkisme dalam novel Joseph Conrad, The Secret Agent (1970) bercerita tentang komunitas anarkis di London, Inggris. Salah satu aktornya digambarkan dengan “caping sombrero berlakan hitam yang dipasang miring untuk melindungi cekung dan ceruk wajahnya yang berantakan”. Selain itu, pada akhir tahun 1960 ada film dengan judul The Siege of SidneyStreet yang mendaur ulang stereotip-stereotip ini. Salah satu adegannya adalah peristiwa tembak-menembak di jantung kawasan East End London antara polisi dan perampok yang digambarkan sebagai seorang anarkis. Para perampok tersebut dikatakan sebagai kaum anarkis karena kebiasaan mereka yang suka nongkrong di klub orang-orang anarkis, ateis, dan vegetarian.
Sebagai suatu kesatuan tulisan, pembahasan anarkisme dalam buku ini tidak terjebak pada pemikiran sempit dan stereotip-stereotip yang ada di masyarakat. Sheehan dengan lihainya mampu mengupas anarkisme secara komprehensif dan objektif sebagai sebuah kajian ilmu. Dengan menyajikan data-data yang valid, buku ini layak dijadikan rujukan bagi siapapun yang ingin mengetahui banyak hal mengenai anarkisme. Selain itu, ditambah dengan gaya bahasa ‘bercerita’ yang mudah dicerna bagi siapapun yang membacanya, itu memberi nilai tambah bagi buku ini.
Namun dibalik kelebihan yang ada, buku ini juga memiliki kekurangan. Pertama, pembahasan mengenai satu kajian tidak diselesaikan secara tuntas. Maksudnya, pembahasan mengenai filsafat yang ada di dalam buku terpecah-pecah pada beberapa bab. Ditambah dalam setiap bab, hampir bisa dipastikan ada bagian awal bab maupun subbab yang membahas mengenai filsafat. Kedua, terkadang bahasa yang digunakan cenderung bertele-tele dalam menyampaikan pesan. Akibatnya, pembaca di buat bingung ketika akan memahami pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. [Dias Prasongko]