Sebanyak 350 mahasiswa baru Fakultas Hukum UGM diajak berbincang tentang gerakan mahasiswa pagi tadi, Minggu (22/08) di Auditorium FH. Diskusi panel yang berlangsung dari pkl. 07:30-10.00 WIB itu merupakan rangkaian Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru (PPSMB) FH yang bertema Rekonstruksi Visi dan Orientasi untuk Selamatkan Negeri (REVOLUSI). Berlangsung santai tapi serius, diskusi panel itu menghadirkan tiga aktivis, yakni Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman) Fadjroel Rahman, mantan Presiden BEM UGM Budiyanto, SH, dan Pemimpin Umum Badan Penerbitan Pers Mahasiswa BALAIRUNG UGM Achmad Choirudin.
Renatha Febriyanti, mahasiswa Hukum 2009, selaku moderator membuka diskusi dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana serajah dan ragam strategi garakan mahasiswa. Sebagai aktivis persma, Achmad Choirudin diminta bicara pertama kali untuk memaparkan sejarah dan dinamika pers mahasiswa sebagai unsur gerakan mahasiswa. Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2007 yang juga mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Bojonegoro-Yogyakarta itu mengungkapkan, membincangkan persma tak pernah basi karena sebagai gerbong gerakan gerakan mahasiswa, persma senanitasa melaju di rel idelogi kiri. “Tapi, kirinya dalam tanda kutip. Dan yang kiri itu seksi,” tambahnya.
Selebihnya, Choirudin memaparkan pola dan karakter persma sebagai gerbong gerakan mahasiswa dalam rentang pelbagai zaman, mulai dari pra-kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, awal reformasi, hingga kini. Menurutnya, sebagaimana gerakan mahasiswa, persma tetap relevan dengan berbagai konteks zaman karena kekuasaan cenderung korup. “Dan mahasiswa bukan sekadar peserta kuliah di kampus, tetapi sekaligus elemen civil society yang harus menjalankan fungsi kontrol terhadap penguasa,” tegasnya.
Namun, fungsi itu kini, menurut Budiyanto, sudah tidak begitu terasa dijalankan. “Mahasiswa, termasuk persma, sekarang tak pernah konsisten dalam mengusung isu yang diperjuangkan,” kata alumnus Fakultas Hukum UGM yang baru lulus tahun lalu ini. Menurutnya, gerakan mahasiswa itu dari dulu cenderung reaksioner dan temporal. Ada isu kenaikan BBM, teriak menolak. TDL naik, teriak batalkan. Tetapi, “sekarang teriak saja nggak kedengeran,” katanya.
Budiyanto menilai, menurunnya fungsi gerakan mahasiswa itu dikarenakan pola pikir instan mahasiswa zaman sekarang. Terbukti, saat pemuda yang baru saja mengakhiri masa lajangnya beberapa waktu lalu itu membuka dialog dengan menanyakan kepada mahasiswa berapa lama ingin selesai kuliah, nyaris semua menjawab tiga setengah tahun. “Siapa yang ingin selesai kuliah lebih dari lima tahun?” tanyanya dengan lantang. Tak satupun maba yang mengacungkan tangan.
Padahal, menurut Fadjroel Rahman, sekarang mahasiswa dimudahkan dengan berbagai fasilitas komunikasi dan referensi. “Jaringan juga mudah dibangun,” ujarnya. Fadjroel yang kemarin mengisi acara serupa di FMIPA UGM ini memaparkan bahwa aksi turun ke jalan hanya satu dari miliyaran cara bergerak. “Bisa dengan menulis di media kampus sepertiBalairung atau media umum nasional. Di sana, pemikiran kalian bakal dibaca ratusan ribu orang,” ungkapnya. Fadjroel pun menegaskan, yang terpenting dari gerakan mahasiswa adalah visinya yang berbasis nilai, yakni kemanusiaan, kebebesan, kesejahteraan, keadilan, kerakyatan, kesetaraan, dan solidaritas. [Udin]