“Setelah (saya) tidak menjabat lagi, saya tidak menjamin mahasiswa tidak membayar,” ujar Sulistyo Mardiatmoko.
Rangkaian kebijakan rektorat yang merupakan turunan visi educopolis kembali dilaksanakan. Sejak dicanangkan melalui Rencana Induk Pengembangan Kampus (RIPK) enam tahun silam, visi ini telah melahirkan beberapa kebijakan tata kelola kampus. Kebijakan tersebut adalah adanya penghilangan batas antarfakultas sesuaicluster, pemasangan portal gate, dan relokasi pedagang kaki lima (PKL) pada bulan Maret setahun silam (Balkon 118). Kemudian, pembangunan beberapa bangunan di UGM berupa asrama mahasiswa, Gadjah Mada Auto Service maupun University Club Hotel (Balkon 123 dan Balkon Khusus 2009).
Berbagai kebijakan yang nampak sebagai upaya merias diri ini tak pernah sepi kontroversi. Puncaknya terjadi ketika kebijakan portal gate diterapkan. Kebijakan yang diimplementasikan rektorat pada masa liburan ini ditanggapi oleh penolakan mahasiswa dan bahkan beberapa dosen. Mahasiswa menilai kebijakan tersebut minim sosialisasi dan dilakukan secara diam-diam. Sebelum muncul penolakan, media massa ramai-ramai memberitakan mengenai parkir berbayar. Menanggapi hal tersebut, Rektor mengeluarkan Surat Edaran bernomor 6087b/P/Set.R/2009 yang ditujukan kepada Kepala Daerah Kabupaten Sleman untuk mengklarifikasi segala wacana tentang parkir berbayar (Balkon Spesial 124). Dalam Surat Edaran tersebut, Rektor bahkan menganggap beberapa media massa menuliskan berita keliru.
Kini, kebijakan portal gate memasuki babak baru dengan adanya Kartu Identitas Kendaraan (KIK). Sulistyo Mardiatmoko, S.T, M. Eng., Kepala Seksi Ketertiban dan Pengelolaan Parkir DPPA menyatakan, KIK merupakan implementasi kampus educopolis yang mengatur kendaraan bermotor di wilayah kampus. Dalam konsep ini, UGM berencana untuk membuat one gate system yang membagi area kampus menjadi delapan cluster. Kedelapannya meliputi Agri-Sosio Yustisia-Kantor Pusat, Ekonomi-Sosio Humaniora, MIPA, Kesehatan, Peternakan-Kedokteran Hewan, Sekolah Vokasi, Fakultas Teknik, dan kawasan Bulevar ke Gelanggang Mahasiswa. “Penerapan sistem ini diharapkan dapat menghilangkan pagar pembatas antarfakultas di satu cluster,” ungkap pria yang turut mengelola manajemen KIK.
Kebijakan KIK ini sendiri sudah memunculkan reaksi dari mahasiswa. Irwan Rizadi, ketua BEM FMIPA menyatakan penolakannya terhadap kebijakan ini. Apalagi berhembus kabar mahasiswa harus membayar untuk memperoleh KIK. “Jika dipungut biaya, teman-teman BEM akan protes,” ungkapnya. Ia pun mempertanyakan pengelolaan uang kampus dari penarikan biaya KIK. Baginya, pengadaan KIK hanya merepotkan civitas academica. “Kita harus berhenti dan menunjukkan KIK ketika masuk dan keluar area kampus,” keluhnya.
Senada dengan Irwan, Giovanni van Empel, ketua BEM FKU pun menolak KIK yang akan diterapkan oleh rektorat mulai 5 Juli 2010. Menurutnya, kebijakan ini tidak tepat diterapkan di FKU yang sudah memiliki sistem pengelolaan parkir sendiri. “Lagi pula, lahan parkir di FKU sudah mencukupi, sehingga kami mempertanyakan keefektifan KIK,” ungkapnya.
Pengelolaan parkir di FKU mewajibkan civitas academica-nya untuk mendaftarkan kendaraannya di Kantor Pusat Tata Usaha (KPTU) FKU. Civitas academica FKU harus melampirkan fotokopi STNK dan KTM bagi mahasiswa, serta kartu pegawai bagi dosen dan karyawan. “Setelah itu, stiker parkir terbit dengan nomor polisi sesuai STNK dan ditempelkan di kendaraan yang bersangkutan,” tutur dr. M. Mansyur Romi, SU, PA(K), Wakil Dekan Administrasi Keuangan dan Sumber Daya FKU. Ia menambahkan, civitas academica yang tidak memiliki stiker parkir FKU diharuskan menunjukkan STNK ketika keluar dari area FKU.
Sistem parkir FKU ini ternyata tidak sejalan dengan harapan rektorat dalam memberlakukan KIK. “Rektorat tidak menginginkan setiap fakultas memiliki sistem parkir sendiri,” tutur Sulistiyo. Menurutnya, model sistem parkir di FKU tidak memungkinkan terjadinya interaksi antarfakultas. “Hal ini dikarenakan lahan parkir didominasi civitas academica dari fakultas yang sama,” tambahnya.
Anggapan Sulistiyo ditolak Giovanni. Menurutnya, sistem parkir yang tidak dikelola tiap fakultas justru membuat lahan parkir kian terbatas. Civitas academica bisa parkir di sembarang tempat. Penerapan KIK dikhawatirkan dapat membuat pengelolaan parkir tiap fakultas bertambah runyam. Satpam dan petugas parkir juga akan kewalahan menghafal setiap pengguna lahan parkir. “Jangan menggeneralisasi semua fakultas. Masing-masing punya otonomi dalam pengelolaannya,” tuturnya.
Selain FKU, penolakan juga terjadi di Fisipol. Salah satunya muncul dari Ani, salah satu pengelola kantin Fisipol. Sebagai mitra UGM, ia diwajibkan juga untuk memiliki KIK meski tidak memakai kendaraan. Dia keberatan dengan pemberlakuan kartu tersebut. “Apabila KIK jadi diberlakukan, pengeluaran pasti bertambah.”keluhnya.
Komentar lain juga datang dari Varani, mahasiswa D3 Jurusan Bahasa Inggris yang sehari-hari menggunakan kendaraan umum. Ia menilai pemberlakuan KIK kurang efektif. Jalan di UGM merupakan akses umum sehingga setiap orang berhak untuk melewatinya. “Apabila terjadi pengeklusifan kampus tentu saja melanggar pernyataan UGM sebagai universitas kerakyatan” ujarnya. Ia juga mengkhawatirkan adanya kepentingan lain yang mengatasnamakan mahasiswa dalam penerapan KIK tersebut.
Sementara itu, Fauzul Muna, mahasiswa Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan 2008 menyayangkan minimnya sosialisasi pemberlakuan KIK. Tidak semua mahasiswa mengetahui maksud dan manfaat KIK. Ia juga beranggapan KIK merupakan bentuk pemborosan. “KTM sudah cukup. Tidak perlu KIK,” ujarnya. Menurutnya, terealisasinya KIK akan menimbulkan sekat antara UGM dengan masyarakat. “UGM merupakan kampus kerakyatan, sudah seharusnya berbaur dengan masyarakat,” tambahnya.
Prasetyo Arief Wibowo, S.T., anggota tim pengkaji kebijakan KIK dari Pusat Studi Transportasi dan Lalu-lintas (Pustral) membenarkan minimnya sosialisasi. “Sosialisasi dilakukan secara bottom up. DPPA baru datang ketika dimintai fakultas,” kata Arief. Ia beralasan bahwa minimnya sosialisasi dikarenakan rektorat masih menggodok teknis operasional KIK. Serupa dengan Arief, Sulistiyo mengaku pihaknya kurang menyosialisasikan kebijakan KIK ke ranah mahasiswa. Ia berdalih belum berani melakukan sosialisasi karena Surat Keputusan (SK) Rektor terkait KIK urung terbit. Selama SK Rektor tak kunjung turun, pihaknya hanya berani melakukan sosialisasi jika diundang pihak fakultas.
Sosialisasi yang minim itu juga ditengarai oleh berhembusnya wacana bahwa untuk mendapatkan KIK, mahasiswa harus membayar. Namun, Sulistiyo menyanggah dengan pernyataan bahwa mahasiswa tidak perlu membayar untuk mendapatkan KIK. Menurutnya, biaya untuk mengurus KIK hanya dikenakan kepada mahasiswa angkatan 2010 yang membawa mobil. Tidak hanya mahasiswa baru, masyarakat luar yang tidak memiliki KIK pun harus membayar disinsentif ketika masuk kampus. Untuk kendaraan roda dua, dikenakan tarif Rp 1.000,00 sementara mobil Rp 2.000,00. Ia berdalih pengenaan disinsentif ini dilakukan karena selama ini UGM kesulitan mencari lahan parkir mobil.
Adanya penarikan disinsentif ini sepertinya merupakan isu yang cukup sensitif. Buktinya, salah seorang staf Pustral yang lain, Iwan Pudja Riyadi, S.T., secara terang-terangan meminta Balkon untuk berhati-hati dalam menuliskan berita. Menurutnya, pemberitaan di media massa saat ini mengenai KIK yang mengharuskan mahasiswa untuk membayar tidak benar. “KIK dimaksudkan untuk mewujudkan green campus. Ke depannya UGM tidak ingin ada kendaraan bermotor yang lalu-lalang di lingkungan kampus,” tutur Iwan.
Kesimpang-siuran informasi mengenai KIK dan parkir berbayar ini membuktikan ketidakmampuan rektorat dalam melakukan sosialisasi. Bahkan, Sulistiyo tidak berani menjamin perubahan kebijakan yang menyebutkan bahwa mahasiswa tidak perlu membayar parkir kendaraan di kampus. “Selama masih mengemban jabatan ini, saya yakin mahasiswa tidak akan membayar. Namun, setelah tidak menjabat lagi, saya tidak menjamin mahasiswa tidak membayar,” pungkasnya. [Adib, Anggi, Gading, Edwin, Maulana]