Terhitung mulai 18 Juli 2012, mahasiswa UGM yang tidak memiliki Kartu Identitas Kendaraan (KIK) tidak diperbolehkan parkir dalam kampus kluster Sosio – Yustisia. Kebijakan ini berlaku bagi lima fakultas, yaitu Hukum, Ilmu Sosial dan Politik (Isipol), Pertanian, Kehutanan, dan Teknik Pertanian. Mereka yang tidak ber-KIK diharuskan menempati kantong parkir di luar fakultas seperti lembah UGM.
Pemberitahuan ini ditujukan khususnya kepada mahasiswa 2011 yang memang tidak berhak memiliki KIK. Pada saat registrasi, mahasiswa baru telah diminta menandatangani surat perjanjian di atas materai berisi kesanggupan tidak membawa kendaraan bermotor ke dalam kampus. Meski demikian, selama ini mahasiswa 2011 tetap bisa masuk area fakultas dengan menggunakan karcis kuning yang diberikan di portal kluster. Namun, mendadak muncul informasi pelarangan parkir di dalam fakultas di Facebook sehingga menuai respon kontra dari mahasiswa.
Drs. Supriyanto, MPA selaku Kasub Direktorat Pengelolaan dan Pengembangan Aset (DPPA) UGM membenarkan hal tersebut . Ia menyatakan keluarnya kebijakan ini merupakan penegasan terhadap komitmen mahasiswa 2011. Peraturan ini, lanjut Supriyanto, juga merupakan implementasi dari Rancangan Induk Pengembangan Kampus 2005-2015 untuk menciptakan kampus educopolis. Ia mengatakan, educopolis diartikan sebagai kampus yang nyaman, aman, dan tidak bising. “Untuk itu kami mengantisipasikan pertambahan jumlah kendaraan bermotor di sekitar kampus agar tidak menyebabkan kebisingan.”
Pemberitahuan tersebut dimaksudkan untuk menghimbau mahasiswa yang tidak ber-KIK agar parkir di area lembah. Hal itu adalah sebuah upaya lanjutan setelah sebelumnya, spanduk-spanduk peringatan sudah dipasang di tiap-tiap fakultas. “Proses edukasi dilakukan secara bertahap untuk membentuk kesadaran mahasiswa,” terangnya
Hingga berita ini diturunkan, pihak DPPA masih belum memutuskan teknis pengecekan KIK yang akan digunakan. Kemungkinan karcis kuning akan ditiadakan atau mahasiswa yang tidak ber-KIK diharuskan membayar disinsentif masih belum diketahui. DPPA juga masih akan membahas prosedur pengecekan akan dilakukan di portal kluster atau di masing-masing fakultas. “Kemungkinan, pengecekan akan dilakukan di fakultas, kalau di pintu depan dikhawatirkan macet,” ungkap Supriyanto.
Perihal dikeluarkannya kebijakan ini pada masa liburan, DPPA berdalih hal itu dilakukan agar tidak mengagetkan mahasiswa. Masa liburan dapat digunakan sebagai masa sosialisasi. “Justru apabila dikeluarkan secara mendadak di masa kuliah atau ujian, dikhawatirkan mengganggu kegiatan akademik,” ungkapnya.
Suharko, Wakil Dekan (WD) II Bidang Administrasi dan Sumber Daya Manusia Fisipol juga mengakui adanya informasi tersebut. Menurutnya, kebijakan itu merupakan kebijakan universitas yang diikuti oleh fakultas. Namun di sisi lain, Suharko mengakui kebijakan KIK sangat problematis. Lahan parkir yang terbatas tidak sebanding dengan jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah. Ia mengharapkan solusi yang memadai. “Harapan kita kebijakan ini bisa dievaluasi, walaupun tidak dalam waktu dekat,” imbuhnya. Suharko juga menyarankan mahasiswa yang akan menggelar aksi sebaiknya melakukan dialog dengan pihak universitas.
Kebijakan ini mendapat reaksi negatif khususnya dari mahasiswa Fakultas Hukum (FH) dan Isipol. Heroik Muttaqin Pramana, Ketua Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan (Komap) UGM bersikap kontra terhadap kebijakan ini. “Saya mendapat informasi ini dari surat edaran yang diberikan WD II ke seluruh Badan Organisasi dan Badan Semi Organisasi di Fisipol,” jelasnya. Ia menganggap kebijakan ini merupakan pembodohan terhadap mahasiswa. “ Memang benar kalau kita sudah tanda tangan di atas materai, tapi mahasiswa baru tidak dijelaskan gambaran konsep educopolis,” tambahnya.
Berdasarkan penuturan Mas Muhammad Gibran Sesunan, ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia, kebijakan tersebut sudah diberlakukan di Fakultas Hukum (FH) seminggu sebelum ujian akhir semester. Gibran menuturkan, sejak saat itu, mahasiswa FH diperiksa di area parkir sisi timur dekat Fakultas Filsafat, bagi yang tidak memiliki KIK diarahkan untuk parkir di lembah. “Waktu itu kami sempat melakukan aksi di fakultas,” ungkap Gibran. “Namun Dekanbilang ini kebijakan universitas,” lanjutnya. Dalam aksi tersebut ia menyampaikan keluhan ke pihak dekanat, “Kalau parkir masih cukup, kenapa harus di lembah?” Ia juga menyayangkan pihak universitas yang tidak menyediakan fasilitas yang memadai. Penjagaan di area lembah juga dinilainya masih kurang, “Saat parkir di lembah, jam 6 sore motor kami sudah ditinggalin, padahal teman-teman FH di sini sampai jam 10,” ungkapnya.
Aksi yang dilakukan FH kemudian dikomunikasikan ke DPPA, namun diakui Gibran hal itu belum membuahkan hasil yang memuaskan. “Selalu begitu dan penjelasannya juga selalu sama,” paparnya. Ia meyakini kebijakan ini masih merupakan lanjutan kebijakan lama. “Dalam pertemuan dengan rektor baru, Pratikno, ia berjanji akan mengevaluasi KIK, namun tidak dalam waktu dekat karena sedang disibukkan dengan agenda pemilihan pejabat universitas,” ungkapnya.
Gibran mengaku tengah berupaya menghimpun aksi yang lebih besar bersama fakultas-fakultas lain. “Kami sudah menghubungi Komap, dan mereka bilang siap untuk menggelar aksi,” ungkapnya. Namun ia menyatakan, pembicaraan soal aksi belum mencapai kesepakatan. “Agak sulit juga menghimpun teman-teman di tengah masa liburan,” pungkasnya. [Khalimatu Nisa, Mukhammad Faisol Amir]